Cari Blog Ini

Senin, 30 April 2018

Kyoto, di Kuil Kinkaku-ji



Kinkaku-ji yang berarti Kuil Paviliun Emas adalah sebuah kuil Zen Budhist yang terletak di kaki bukit Kinugasa yang landai, di Utara Kyoto, Jepang.  Kedua lantai atas kuil ini seluruhnya diliputi daun emas. Bayangan kuil yang dihiasi dengan mewah dalam daun emas ini terlefleksi dengan indah di air danau Kyokochi, yang menjadi danau cermin kuil tersebut.


Paviliun itu yang merupakan bagian dari Kinkaku-ji, taman-taman dan bangunan lainnya, dikatakan dirancang untuk merealisasikan surga Buddhist di dunia. Pada mulanya kegunaan Paviliun ini adalah untuk menjadi tempat tinggal Shogun Ashikaga Yoshimitsu pada masa pensiunnya. Yoshimitsu adalah seorang yang paling berkuasa di masa Muromachi di Jepang. Dia menciptakan fundasi politik yang solid bagi Muromachi shougunate dan mengembalikan hubungan baik antara Jepand dan Cina. Paviliun itu kemudian dijadikan sebuah kuil Zen setelah meninggalnya Yoshimitsu di tahun 1408, dan selanjutnya befungsi sebagai kuil tempat menyimpan relik suci.


Lantai pertama paviliun ini dibuat dalam gaya istana Jepang dan dulunya digunakan untuk pertunjukan teater Noh atau drama tari klasik Jepang. Lantai dua dibuat dalam gaya samurai dan dulunya digunakan sebagai tempat untuk menulis puisi. Lantai ini dibuat dalam gaya Bukke yang diterapkan dalam tempat tinggal para samurai. Di dalamnya sekarang diletakkan Kannon Bodhisattva, sebagai dewi pengasih Kannon membantu orang-orang yang tertekan. Lantai tiga dibuat dalam gaya Cina kuno dan dulunya dipakai untuk meditasi.


Atapnya dibuat dari rajutan rumbia berbentuk piramid. Di atas bangunan itu terdapat ornamen burung Phoenix yang terbuat dari tembaga. Dalam mitologi Jepang, burung Phoenix membawa kehendak baik ketika ia turun dari awan-awan dan biasanya diperlihatkan duduk di atas gerbang menuju kuil Shinto. Ornamen ini menghiasi atap kuil Kinkaku, yang merupakan simbol rumah tangga kerajaan.


Dari luar, orang bisa melihat lapisan emas yang meliputi lantai-lantai bagian atas paviliun itu. Lapisan daun emas yang meliputi bangunan lantai atas menandakan apa yang terletak di dalamnya: altar pemujaan. Bagian luar merupakan refleksi bagian dalamnya. Elemen-elemen alamiah, kematian, agama digabung bersama guna menciptakan hubungan antara Paviliun dan pengaruh dari luar.


Kompleks taman merupakan contoh yang amat baik dari rancangan taman di periode Muromachi. Periode ini dianggap sebagai masa klasik dari rancangan taman Jepang. Hubungan antara bangunan dan lingkungannya banyak ditonjolkan di masa itu. Hal itu merupakan cara untuk mengintegrasikan struktur di dalam taman itu secara artistik.  Rancangan taman dicirikan oleh pengurangan ukuran, memiliki kegunaan utama, dan tatanan yang menyolok. Pendekatan minimalis diterapkan dalam rancangan taman, dengan menciptakan lahan yang lebih luas dengan skala lebih kecil di sekeliling sebuah struktur.
Sumber: Wikipedia




Rabu, 25 April 2018

Wawancara dengan Akira



Photo: Wikimedia

“Akira-san”, aku berkata,” Saya harus mengakui bahwa filem anda Throne of Blood dan Ran memperkenalkan saya kepada Shakespeare.  Ceritanya sangat mencengangkan, tragis dan gelap namun anda dengan handal menerjemahkannya ke dalam sinema, dalam hitam putih dan berwarna. Di dalam Ran, yang merupakan adaptasi dari King Lear, dunia yang gelap dan keji digambarkan dengan indah secara sinematis, yang menonjolkan warna-warna kostum Jepang dan warna darah. Apakah ini kurang lebih cara anda memandang dunia?”

Akira-san:
“ Tragedi adalah bagian dari kehidupan Jepang yang sering dilanda gempa, tsunami dan perperangan. Gempa bumi Kanto adalah pengalaman yang sangat mengerikan bagi saya, dan juga yang sangat penting. Dari padanya saya mempelajari bukan saja kekuatan alam yang dahsyat, namun juga hal luar biasa yang mendasari hati manusia.  Dasar sungai Edogawa telah melonjak dan memperlihatkan pula-pulau baru dari lumpur. Seluruh distrik itu diliputi oleh debu yang menari dan berpusar yang dengan keabuannya memberi matahari berkesan seperti masa gerhana. Orang-orang yang berdiri di kiri kanan saya di tempat itu mencari segenap dunia bagaikan pelarian dari neraka, dan segenap pemandangan terlihat aneh dan menakutkan. Saya berdiri memegang ke salah satu pohon sakura yang tertanam di sepanjang sungai itu, dan masih gemetar ketika saya memandang tempat itu dan berpikir, “Ini pastilah kiamatnya dunia.”

Aku berkata:
“Di dalam Throne of Blood, yang merupakan adaptasi dari Macbeth, ada adegan dengan tumpukan tengkorak manusia yang membentuk gundukan-gundukan. Apakah seperti ini pemandangan setelah gempa Kanto berlalu?”

Akira-san:
“Ketika gempa bumi itu berlalu, kakak saya Heigo mengajak saya melihat reruntuhan. Daratan yang terbakar terpampang sepanjang mata melihat memiliki warna merah kecoklatan seperti gurun pasir merah. Kebakaran itu membuat semua yang terbuat dari kayu berubah menjadi debu, yang sekarang terbang ke atas dihembus angin. Di tengah hamparan kemerahan yang memuakkan ini tergeletak segala macam mayat yang bisa terbayangkan. Ketika saya secara tidak sengaja mengalihkan pandangan saya, Heigo menghentak saya. “Akira, lihat dengan seksama sekarang.” Saya tidak bisa mengerti maksud kakak saya dan hanya bisa mendongkol atas paksaannya untuk menatap pandangan yang mengerikan ini. Pemandangan yang paling mengerikan adalah ketika kami berdiri di tepi sungai Sumidagawa yang menjadi merah dan memandang kumpulan mayat yang terbenam ke pinggir sungai itu. Saya merasa lutut saya lemas ketika saya mulai pingsan, namun kakak saya meraih kerah saya dan menegakkan saya kembali.  Dia berkata lagi : “Lihat dengan seksama, Akira.” Saya menyerah dengan menggertakkan gigi dan melihat.
Kemudian hari dia berkata: “Kalau engkau menutup mata terhadap penglihatan yang menakutkan, engkau akhirnya akan menjadi takut. Kalau engkau melihatnya secara langsung, tak ada yang ditakutkan.”  Menoleh kembali ke perjalanan itu, saya menyadari bahwa hal itu pasti menakutkan juga bagi kakak saya. Itu adalah perjalanan untuk mengalahkan rasa takut.”

Aku berkata:
“Anda pernah bilang bahwa kakak anda Heigo banyak mempengaruhi anda akan hasrat anda akan dunia sinema. Bagaiman dia mempengaruhi anda?”

Akira-san:
“Heigo adalah seorang narator profesional untuk filem bisu. Tugas narator bukan hanya menceritakan jalan cerita filem, mereka mempertegas bagian yang emosionil dengan memperdengarkan suara dan efek suara dan memberikan penjelasan yang menggugah akan kejadian dan gambaran di layar – lebih menyerupai narator dari teater boneka Bunraku. Narator yang paling populer adalah seorang bintang tersendiri, mengambil tugas di teater tertentu. Di bawah pimpinan narator terkenal Tokugawa Musei, sebuah pergerakan yang sama sekali baru berlangsung. Dia dan kelompoknya menekankan narasi dengan kualitas tinggi dari filem-filem asing yang disutradarai dengan baik.
Dalam hal filem dan sastra saya banyak bergantung kepada anjuran kakak saya. Dia ketagihan sastra Russia. Namun di saat yang sama dia menulis dengan berbagai nama samaran untuk program-program filem. Khususnya dia menulis tentang seni sinema filem asing, yang banyak dipromosikan setelah Perang Dunia Pertama. Saya mengambil perhatian khusus akan filem-filem yang dianjurkan kakak saya. Sejak sekolah dasar saya berjalan sampai sejauh Asakusa untuk menonton filem yang dia bilang bagus.”

Aku berkata:
“Kemudian apa yang terjadi ketika sinema berganti dari filem bisu ke filem bersuara?”

Akira-san:
 “Ketika filem bisu ditinggalkan, demikian juga kebutuhan akan para narator, dan penghidupan Heigo terpukul amat sangat. Pada mulanya semua seperti berjalan dengan baik karena saat itu kakak saya adalah narator utama di sebuah bioskop filem perdana, Taikatsukan di Asakusa, di mana dia mempunyai penggemar tersendiri.
Lalu menjadi jelas bahwa semua filem asing semenjak saat itu akan menjadi filem bersuara, dan teater-teater yang mempertunjukkannya memutuskan secara menyeluruh bahwa mereka tidak membutuhkan para narator lagi. Para narator diberhentikan secara masal, dan, mendengar hal itu, mereka mogok kerja. Kakak saya, sebagai pemimpin pemogokan, menjalani masa yang sangat sulit.”

Aku berkata:
“Seperti apa yang sudah terjadi, perubahan sinema tidak terelakkan, dari bisu ke suara, dari hitam putih ke warna, dan dari seluloid ke digital.”

Akira-san:
Di tengah segala itu, suatu hari saya dengar kakak saya mencoba bunuh diri. Saya kira penyebabnya adalah pahitnya posisinya sebagai pemimpin pemogokan para narator, yang telah gagal. Kakak saya sepertinya menerima fakta bahwa para narator tidak akan lagi diperlukan ketika teknologi perfileman bergerak ke arah bersuara. Ketika dia menyadari perjuangannya akan kalah, fakta bahwa dia harus menerima penugasan sebagai pemimpin pemogokkan pastilah tak terbayangkan sakitnya baginya.

Aku berkata:
“Bukankah dia pernah bilang ke ibu anda bahwa dia akan mati sebelum mencapai umur tigapuluh tahun?”

Akira-san:
“Kakak saya selalu bilang begitu. Dia menganggap kalau seseorang hidup melewati umur tiga puluh tahun, apa yang terjadi padanya hanyalah menjadi lebih jelek dan jahat, karena itu dia tidak berniat begitu. Saya menganggap enteng kata-kata kakak saya, tapi beberapa bulan setelah saya menepis kerisauan ibu saya akan hal itu, kakak saya meninggal dunia. Seperti yang dia janjikan, dia meninggal sebelum mencapai usia tiga puluh. Di usia dua puluh tujuh dia bunuh diri.”

Aku berkata:
 “Ada orang-orang yang bilang bahwa anda seperti kakak anda. Namun dia adalah negatif dan anda positif. Anda membuat filem bagus baik dalam hitam putih maupun filem berwarna, anda sutradara filem Jepang pertama yang menerima penghargaan internasional.”

Alira-san:
“Pada masa itu filem-filem Jepang cenderung terasa hambar, seperti teh hijau disiram di nasi. Saya melihat seorang wanita membaca buku selama pertunjukan filem produk dalam negeri Jepang. Filem-filem Jepang kehilangan masa belianya, kehilangan semangat dan aspirasi yang tinggi. Filem-filem… seperti hasil karya seorang yang letih, tua, yang membuat penilaian sempit, kering dari rasa, dan yang hatinya tersumbat.”

Aku berkata:
“Penghargaan internasional pertama yang anda terima adalah Rashomon yang menerima Golden Lion di festival filem Venesia di tahun 1951. Diperagakan di Jepang abad ke 11, suatu masa ketika api, gempa, sampar, bandit dan perperangan. Suatu masa ketika pemerintah pusat dirongrong oleh pertumbuhan pergerakan politik dan kekuatan militer.  Ada pemberontakan, kebakaran, gempa, dan tindak kriminal yang kejam di ibu kota. Saat itu adalah perioda yang tampaknya tidak ada hukum, dan negara ini berada di tepi jurang kehancuran.
Filem itu dimulai di Gerbang Rashomon, Gerbang Utama kota Kyoto. Gerbang itu dalam kondisi hancur, demikian pula kotanya. Hujan dalam hitam putih mengucur deras ke Gerbang Rashomon memberi kesan dunia yang buram. Gerbang yang hancur, dengan ukurannya yang kelihatannya megah dan fundasinya yang kokoh yang telah menjadi reruntuhan. Pakaian orang-orang di situ lusuh, gelap, kotor dan basah.”

Akira-san:
“Filem itu mendalami hati manusia bagaikan pisau bedah dokter, memperlihatkan seadanya komplesitas yang gelap dan liku-liku yang penuh keganjilan.  Denyutan hati nurani yang ganjil ini akan diperlihatkan dengan menggunakan permainan cahaya dan bayangan yang dirancang dengan seksama. Cahaya dan bayangan, mewakili bukan saja baik dan jahat, tapi juga rasionalitas dan tindakan impulsif. Terutama bagian awal, yang membawa penonton melalui cahaya dan bayangan dalam hutan ke dunia di mana hati manusia tersesat, benar-benar pekerjaan kamera yang mengagumkan dari Miyagawa Kazuo.”

Aku berkata:
“ Jalan cerita dan karakter-karakternya menarik, mencakupi berbagai jenis karakter yang memberi kesaksian-kesaksian yang subyektif, alternatif, memihak diri sendiri dan  bertentangan tentang suatu pembunuhan. Melalui penggunaan yang cerdik dari kamera dan flashbacks, anda mengungkapkan kompleksitas sifat manusia ketika empat orang menceritakan kesaksian yang berbeda tentang pembunuhan seorang samurai dan pemerkosaan isterinya.”

Akira-san:
“Manusia tidak dapat jujur kepada dirinya sendiri tentang dirinya sendiri. Mereka tidak dapat berbicara tentang dirinya sendiri tanpa menghiasinya. Pergelaran ini memperlihatkan manusia seperti itu yang tidak bisa hidup tanpa berbohong untuk membuat dirinya merasa lebih baik dari sebenarnya. Karakter-karakter tersebut bahkan menipu diri mereka sendiri; mereka menolak untuk menghadapi atau mengakui kebenaran karena mereka takut padanya. Pandangan umum adalah bahwa semua lelaki dan wanita seperti itu, dan menjadi sifat manusia untuk berbohong dan menghiasi realitas bahkan bagi dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan pendeta di filem itu, kalau manusia tidak saling mempercayai, bumi ini lebih baik menjadi neraka.”

Aku berkata:
“Pada akhir filem itu ada adegan seorang bayi yang ditelantarkan yang menangis sangat keras. Mulanya kita tidak dapat mengerti bagaimana bayi ini datang ke Gerbang Rashomon, sekonyong-konyong saja. Kemudian saya menemukan bacaan bahwa tempat itu selain tempat membuang mayat juga menjadi tempat yang diketahui sebagai tempat meninggalkan bayi-bayi yang tak dikehendaki. Kemudian saya dapat memahami adegan ini, bukanlah suatu adegan yang bukan pada tempatnya seperti yang dikira sebagian penonton.”

Akira-san:
“Kita melihat bahwa si penebang pohon itu menerima bayi yang ditelantarkan dan membawanya pulang untuk dipelihara, walaupun dia sendiri sudah punya 6 orang anak. Hal ini melambangkan bahwa manusia memilih melakukan hal-hal yang baik.  Ini penting, karena penebang pohon itu sepanjang adegan sampai saat itu hanyalah berdiam diri, memilih untuk tidak terlibat dengan apa yang dilihatnya, “Aku tidak ingin terlibat”, katanya. Dengan memilih untuk mengambil anak itu dia memberi harapan kepada pendeta itu bahwa manusia adalah baik adanya dan bahwa dunia bukanlah milik orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri.”

Ini adalah wawancara imajiner untuk mengenang Akira Kurosawa.

Sumber: “Something Like an Autobiography” by Akira Kurosawa



Sabtu, 14 April 2018

Gunung Fuji, di Stasiun ke 5



Gunung Fuji tingginya 3,776 meter dan adalah gunung paling tinggi di Jepang. Dengan keagungan yang tak tertandingi dan bentuk kerucut yang indah, Gunung Fuji sering dipilih sebagai bahan lukisan dan sastra. Gunung ini adalah gunung berapi yang sudah lama tidak aftif sejak letusan terakhir kalinya di tahun 1707, namun pada umumnya masih dianggap aktif oleh para geologist. Bentuknya yang kerucut simetris sempurna menjadi simbol terkenal Jepang dan sering digambarkan di dalam karya seni dan fotografi, dan juga banyak dikunjungi turis maupun pendaki gunung.

Gunung Fuji memiliki gambaran sebagai gunung yang ditutupi salju di puncaknya, namun sebenarnya salju itu tidak berada di situ sepanjang tahun. Biasanya, salju itu meleleh di musim panas dan kita bisa melihat permukaannya. Gunung Fuji mulai diliputi salju di akhir bulan September hingga awal Oktober, dan puncak curahan salju terjadi di anatara bulan Maret hingga Mei.

Di Jepang, ada kebudayaan yang menyembah sebuah gunung sebagai lokasi spiritual sejak dulu kala. Gunung Fuji telah menjadi suatu tempat yang suci bagi penganut Shinto sejak abad ke 7.  Shinto adalah kepercayaan asli orang Jepang. Sejak dulu kala, banyak orang yang menyembah dan menjalankan Shintoisme berkunjung ke Kuil Komitake, yang terletak di Stasiun ke 5 dari Gunung Fuji.

Konon Gunung Komitake adalah gunung yang muncul sebelum Gunung Fuji masa kini, dan Kuil Komitake didirikan sebagai tempat untuk sembayang lebih dari 1000 tahun yang lalu. Gunung Komitake dan Ko-Fuji (Fuji yang lama) menjadi suatu dasar dan meletus berkali-kali, yang memberi bentuk pada Gunung Fuji masa kini.Di tahun 937 , Gabungan Gunung Fuji dan Komitake ditemukan dan dibangun Kuil Komitake di puncak gunung Komitake sebagai tempat suci bagi para pemuja gunung.

Di ketinggian 2,400 meter Stasiun ke 5 adalah tempat tertinggi untuk memulai pendakian Gunung Fuji, dan dihubungkan dengan jalur yang paling pendek untuk mendaki ke puncak gunung. Ditempati oleh beberapa toko, café, sembuah kuil, dua buah dek pengamat dan sebuah kantor pos, stasiun ini serasa sebuah kampung kecil. Kita dapat menikmati segenapnya keagungan Gunung Fuji hanya dengan melihat pemandangan indah dan alam sekelilingnya dari dekat di musim kapanpun, tanpa harus mendaki gunung itu sampai ke puncaknya.
                                                   
Source: Wikipedia




Rabu, 11 April 2018

Florence, di Piazza del Duomo


Basilika Santa Maria del Fiore adalah katedral di Florence, Itali. Katedral ini biasanya dinamakan Duomo. Kompleks katedral ini yang berlokasi di Piazza del Duomo, mencakup Baptistery (Gedung Pembaptisan) dan Bell Tower (Menara Lonceng). Ketiga bangunan ini merupakan bagian dari Unesco World Heritage Site yang mencakup pusat sejarah Florence dan merupakan atraksi utama bagi turis yang berkunjung ke Tuscany.
Basilika ini dirancang oleh Arnolfo di Cambio dengan kubah yang dirancang oleh Filippo Brunelleschi. Bell Tower dirancang oleh Giotto.
Bagian luar Duomo dihiasi dengan panel pualam berwarna hijau dan merah jambu dan warna putih di pinggirannya. Pembangunannya dimulai di tahun 1296 dan selesai di tahun 1469, kecuali dekorasinya. Dekorasi bagian depan dikerjakan dari tahun 1876 sampai 1903.
Kubah Duomo yang dirancang oleh Brunelleschi terbuat dari batu bata dengan bentuk oktagonal, adalah kubah batu bata terbesar di dunia. Kubah itu adalah mahakarya yang tahan akan halilintar, gempa dan perjalanan waktu, dan selalu menarik perhatian orang-orang yang melihatnya dari jauh. Inovasi Brinelleschi yang mengagumkan mencakup penopangan ruang kubah tanpa scafolding, dengan menggunakan lapisan ganda yang berongga. Lapisan dalam, dengan ketebalan lebih dari 2 meter, terbuat dari batu bata ringan yang ditata dengan pola tulang ikan herring dan merupakan struktur yang menyangga dirinya sendiri, sedangkan lapisan luar kubah ini bertindak sebagai pelapis yang lebih kuat, dan penahan hempasan angin.
Kubah itu dimahkotai sebuah lentera dengan atap berbentuk kerucut, yang dirancang oleh Brunelleschi namun dibangun setelah kematiannya di tahun 1446, sedangkan lingkup dari campuran emas dan tembaga dan salib di atas lentera, yang berisi relika suci, dirancang oleh Andrea de Verrocchio dan dipasang di tahun 1466.
Fresco dari Pengadilan Terakhir di dinding dalam kubah itu dibuat oleh Giorgio Vasari yang diapit oleh Vincenzo Borghini yang membuat subyek iconografik tersebut dan menambahkan tema-tema yang diambil dari buku Divine Comedy karangan Dante.
Sebagian besar jendela kaca berpatri dibuat di antara tahun 1434 dan 1455 sesuai rancangan dari seniman ternama seperti Donatello, Andrea del Castagno dan Paulo Uccelo. Lapisan kayu bagian dalam lemari sakristi  dirancang oleh Brunellischi dan seniman lainnya, termasuk Antonio del Pollaiolo. 
Gedung Baptistry di komplex Piazza del Duomo, yang dinamai Baptistry Santo Yohanes terkenal dengan ketiga pintu gerbang tembaga yang dihiasi secara artistik dengan relief patung-patung. Pintu Gerbang Selatan diciptakan oleh Andrea Pisano dan yang Utara dan Timur oleh Lorenzo Ghiberti. Pintu Gerbang Timur dinamai oleh Michelangelo sebagai Gerbang Surgawi.
Ghiberti membutuhkan 21 tahun untuk menyelesaikan Gerbang Surgawi tersebut. Pintu tembaga berlapis emas itu mencakup 28 panel, dengan 20 panel menggambarkan kehidupan Kristus dari Perjanjian Baru. Kedelapan panel yang di bawah menunjukkan empat pewarta injil dan bapak-bapak  gereja St Ambrosius, St Jerome, St Gregorius dan St Agustinus.
Di atas Gerbang Surgawi berdiri Pembaptisan Kristus oleh Andrea Sansovini. Dante, penyair Itali dan banyak lagi tokoh terkenal masa Rennaissance, termasuk keluarga Midici, dibaptis di gedung ini.
Bell Tower yang dirancang oleh Giotto, adalah sebuah struktur langsing segi empat dengan sisi 14.45 meter. Tingginya 84.7 meter dan mempunyai sisi berbetuk poligonal di sudut-sudutnya. Ini adalah contoh yang paling jelas dari gaya arsitektur Gothic di abad ke 14. 
Dilapisi marmer merah jambu dan hijau seperti Duomo disebelahnya, menara lonceng segi empat yang agung itu dianggap sebagai menara lonceng yang paling indah di Itali.
Elemen dekorasi kaya yang dibuat dari panel-panel heksagonal dan bentuk berlian merangkum konsep Keteraturan Universal dan menceritakan kisah Pertobatan Manusia.

 
Sumber : www.museumflorence.com dan Wikipedia.org




Tokyo, di Roppongi Hills


Roppongi Hills adalah proyek pengembangan di Tokyo dan merupakan salah satu pengembangan  properti terpadu yang terbesar di Jepang, berlokasi di distrik Roppongi di Minato. Dibangun oleh taipan bangunan Minoru Mohri, mega kompleks ini mencakup perkantoran, apatemen, pertokoan, restoran, café, bioskop, museum, hotel, TV studio besar, amfiteater terbuka dan taman-taman.

Bangunan utamanya adalah Mohri Tower, bangunan berlantai 54. Visi dari Minoru Mohri adalah untuk mengembangan  pembangunan bangunan tinggi yang terpadu bagi komunitas dalam kota yang membuat orang bisa tinggal, bekerja, bermain dan belanja di sekitar sini untuk mengurangi waktu perjalanan. Dia berargumen bahwa dengan demikian akan menambah waktu senggang, kualitas hidup dan menguntungkan daya saing nasional Jepang. Tujuh tahun setelah dibuat rancangan konsep awal, komplels ini dibuka untuk publik pada tanggal 25 April, 2003.

Tingkat-tingkat bawah Mohri Tower mencakup pertokoan retail dan restoran. Roppongi menawarkan lebih dari 200 toko, café dan restoran. Sebagian besar toko-toko menjual pakaian, asesori, disain interior dan alat-alat rumah tangga, sementara restoran-restoran menawarkan berbagai macam jenis makanan Jepang dan internasional.

Ke-enam lantai atas dipakai oleh Mohri Art Museum dan Tokyo City View dengan pemandangan panoramik kota Tokyo. Sebuah jalan keluar dari stasiun Roppongi menuju atrium bergelas yang diisi televisi layar besar dan eskalator, dan beberapa toko dan restoran. Selebihnya bangunan itu dipakai untuk perkantoran.

Banyak ruangan terbuka yang luas dimasukkan  di dalam rancangan Roppongi Hills. Hampir separuh daerahnya diisi oleh taman-taman, paviliun, dan ruang terbuka lainnya.  Sebagai sebuah oasis hijau di antara bangunan-bangunan di Roppongi Hills, Mohri Garden dibuat dengan gaya tradisional pertamanan Jepang tradisional lengkap dengan kolam dan pohon-pohon.  Taman itu mempunyai beberapa pohon sakura yang membuatnya tempat yang menyenangkan untuk menikmati mekarnya sakura di akhir Mei dan awal April. Mohri Garden adalah bagian dari tempat tinggal yang punah dari keluarga feodal Mohri.

Di waktu malam, Roppongi menjadi pusat kehidupan malam bagi orang asing, tempat bersenang hingga larut malam dan bercanda.  Ada banyak bar, pubs dan restoran yang menarik perhatian di sorot  benderangnya lampu-lampu, yang memberi pengunjung berbagai pilihan untuk bersuka-ria sepanjang malam.

Sumber: Wikipedia





Rabu, 04 April 2018

Tokyo, di Kuil Asakusa



Asakusa adalah sebuah distrik di Taito, Tokyo, Jepang, yang terkenal dengan kuil Senjoji, sebuah kuil Buddhis yang didedikasikan kepada bodisatwa Kannon. Ada beberapa kuil lagi di Asakusa, dan berbagai festifal, seperti Sanja Matsuri. 

Selama berabad-abad, Asakusa adalah distrik hiburan terkemuka di Tokyo. Selagi jaman Edo (1603-1867), ketika distrik ini masih berlokasi di luar batas kota, Asakusa adalah lokasi teater-teater kabuki dan daerah lampu merah yang besar. Di akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an, banyak jenis hiburan modern, termasuk bioskop, yang didirikan di Asakusa.

Kompleks Asakusa ini mirip dengan tempat di jaman Edo, dengan beberapa gapura yang menonjol, termasuk Kaminarimon atau Gerbang Halilintar, dengan lampion merah raksasa yang terkenal, dan sebuah pagoda tingkat lima. Lampion merah raksasa itu tingginya 4 meter, kelilingnya 3.4 meter dan beratnya 670 kg.  Bagian depan lampion itu ditulis dengan nama gerbang itu, Kaminarimon. Ditulis di bagian belakang adalah nama resmi gerbang ini, Furanjinmon. Ukiran kayu yang menggambarkan seekor naga menghiasi bagian bawah lampion itu.


Kuil Asakusa didedikasikan kepada bodisatwa Kannon. Menurut legenda, sebuah patung Kannon ditemukan di sungai Sumida di tahun 682 oleh dua orang nelayan bersaudara, Hinokuma Hamanari dan Hinokuma Takenari. Kepala kampung mereka, Hajino Nakamoto, mengenali kesakralan patung itu dan mengubah rumahnya menjadi kuil bagi patung itu di Asakusa sehingga orang-orang kampung itu dapat memuja Kannon.


Setiap tahun di akhir minggu di pertengahan Mei, sebuah festival dirayakan di daerah Asakusa, yang dinamai Sanja Matsuri. Festival ini adalah salah satu festival yang paling populer di Tokyo. Festival itu diselenggarakan untuk merayakan ketiga pendiri Kuil Sensoji, yang dirumahkan di kuil disebelah Kuil Senso-ji di Asakusa. Parade-paradenya yang menarik perhatian berkisar di sekitar ke tiga mikoshi (kuil kecil yang dapat diusung), yang juga diikuti oleh musik dan tari-tarian. Prosesi Sanja Matsuri untuk ketiga mikoshi ini, dimulai dari Nakamise Dori menuju Kamanarimon. Ketiga mikoshi yang dihiasi meriah untuk menghormati dan mewakili ketiga orang yang mendirikan Kuil Senso-ji. Pada hari terakhir festival itu, ketiga mikoshi itu dipisah agar dapat mengunjungi dan memberi berkah kepada ke seluruh 44 distrik di pusat kota dan perumahan Asakusa.


Nakamise Dori adalah jalan perbelanjaan yang menghubungkan Kaminarimon sampai ke Kuil Senso-Ji. Ada sekitar 90 buah toko-toko disepanjang 250 meter jalan panjang ini, yang mengubah jalan ini menjadi pusat perbelanjaan di Asakusa. Nakamise Dori adalah salah satu jalan perbelanjaan yang paling tua di Jepang.


Bebagai macam barang dijual di sini, seperti sumpit Jepang, sisir kayu, kain, boneka, barang seni dan makanan kecil tradisional Jepang.


Lebih lanjut, di antara Asakusa dan Ueno terdapat Kappabashi-dori, yang juga dikenal sebagai Kappabashi saja atau kota Dapur, sebuah jalan yang hampir semua toko-tokonya memasok bisnis restoran. Toko-toko ini menjual berbagai barang dari pisau dan alat-alat dapur lainnya, peralatan masak masal, perabotan restoran, oven, dan dekorasi, sehingga alat pemeraga contoh makanan dari plastik (sampuru) yang dijajakan di muka restoran.


Kalau anda mencari sesuatu barang dengan harga sesuai untuk tembikar, alat-alat dapur, sake atau tea set, sumpit atau pisau, anda tidak akan meninggalkan tempat ini dengan menyesal.


Sumber: Wikipedia




Minggu, 01 April 2018

Florence, sepanjang sungai Arno


Dante berkata tentang sungai Arno:
Dan aku: “Melalui Tuscani ada berkelana
Sebuah sungai kecil yang lahir di Falterona,
Dan tujuannya tidak sampai seratus mil;
Dari situlah aku bawa badan ini.”
Arno adalah sungai di wilayah Tuscany di Itali. Ia adalah sungai yang paling penting di Itali tengah setelah sungai Tiber. Dengan panjang 241 kilometer, ia mengalir dari pegunungan Apennine menuju laut Ligurian, hanya 11 kilometer dari Pisa.  Kebun anggur dan kebun zaitun yang subur berjajar di sepanjang pemandangan indah sungai itu menuju Barat, menuju laut.
Sungai Arno biasanya mengalir paling tinggi di musim semi dan gugur tiap tahun, ketika curah hujan di pegunungan Appenine paling besar. Namun di tahun 1557 dan 1966 sungai yang damai ini meluap dari tanggulnya membanjiri sebagian besar dari Casentino, daratan Pisa dan Empoli, dan sampai ke seluruh pusat bersejarah di Florence, menyebabkan berlusin-lusin kematian dan kerusakan yang tak diberitakan terhadap warisan seni dan monumental kota itu.
Setelah banjir itu tanggul-tanggul sungai ditinggikan, dan di tahun 1984 dibangun dam Bilancino dekat Florence untuk melindungi daerah itu dari banjir.
Sungai Arno melewati Florence, dan lewat dibawah jembatan-jembatan Ponte Vecchio,  Ponte alle Grazie dan Santa Trinita.
Ponte Vecchio (“Jembatan Tua”), adalah jembatan lengkung batu menyeberangi sungai Arno, masih ada toko-toko di dalamnya, seperti masa dulu. Tukang jagal dulunya mengisi toko-toko ini; kini penyewa toko adalah pedagang berlian, penjual senirupa dan cendera mata. Jembatan ini sejak dulu menjadi tuan rumah bagi toko-toko dan pedagang yang menjajakan dagangannya di meja di muka toko-toko mereka. Toko-toko di bagian belakang yang dapat dilihat dari sungai ini, ditambahkan pada abad ke 17.
Di tahun 1900, untuk menghormati dan memperingati 4 abad lahirnya pematung besar dari Florence dan ahli dulang emas Benvenuto Cellini, para ahli dulang emas terkemuka menugaskan  Raffaelo Romanelli, seorang pematung Florence yang paling terkenal saat itu Raffaelo Romanelli, untuk membuat patung tembaga dari Cellini yang diletakkan di atas air mancur di tengah di bagian Timur jembatan itu, yang masih berdiri hingga saat ini.
Beberapa langkah dari Ponte Vecchio, berdiri gereja Santo Stefano, salah satu gereja yang paling tua di Florence. Sebelah bawah dari bagian depan gereja menunjukkan komponen-komponen Romanesque, sedang bagian atas di bangun kembali di masa pembaharuan gaya Gothic. Bagian dalam direnovasi pada waktu jaman Baroque. Gereja itu penuh dengan karya seni dan dekorasi, termasuk tangga indah dari Buontalenti, dengan balustrade dari marmer, dibangun tahun 1574.
Berbagai lukisan juga berasal dari jaman Renaissance. Gereja Santo Stefano sekarang tidak lagi dipakai untuk upcara keagamaan, dan sekarang dipakai sebagai auditorium untuk pertunjukkan musik. Suasana gereja berubah sangat anggun di waktu malam, ketika lampu-lampu digelapkan dan musik mengisi keheningan religius, dan penonton terbenam dengan pengalaman yang tak terlupakan akan kesatuan seni, arsitektur dan music.

Sumber: Wikipedia