Cari Blog Ini

Rabu, 25 April 2018

Wawancara dengan Akira



Photo: Wikimedia

“Akira-san”, aku berkata,” Saya harus mengakui bahwa filem anda Throne of Blood dan Ran memperkenalkan saya kepada Shakespeare.  Ceritanya sangat mencengangkan, tragis dan gelap namun anda dengan handal menerjemahkannya ke dalam sinema, dalam hitam putih dan berwarna. Di dalam Ran, yang merupakan adaptasi dari King Lear, dunia yang gelap dan keji digambarkan dengan indah secara sinematis, yang menonjolkan warna-warna kostum Jepang dan warna darah. Apakah ini kurang lebih cara anda memandang dunia?”

Akira-san:
“ Tragedi adalah bagian dari kehidupan Jepang yang sering dilanda gempa, tsunami dan perperangan. Gempa bumi Kanto adalah pengalaman yang sangat mengerikan bagi saya, dan juga yang sangat penting. Dari padanya saya mempelajari bukan saja kekuatan alam yang dahsyat, namun juga hal luar biasa yang mendasari hati manusia.  Dasar sungai Edogawa telah melonjak dan memperlihatkan pula-pulau baru dari lumpur. Seluruh distrik itu diliputi oleh debu yang menari dan berpusar yang dengan keabuannya memberi matahari berkesan seperti masa gerhana. Orang-orang yang berdiri di kiri kanan saya di tempat itu mencari segenap dunia bagaikan pelarian dari neraka, dan segenap pemandangan terlihat aneh dan menakutkan. Saya berdiri memegang ke salah satu pohon sakura yang tertanam di sepanjang sungai itu, dan masih gemetar ketika saya memandang tempat itu dan berpikir, “Ini pastilah kiamatnya dunia.”

Aku berkata:
“Di dalam Throne of Blood, yang merupakan adaptasi dari Macbeth, ada adegan dengan tumpukan tengkorak manusia yang membentuk gundukan-gundukan. Apakah seperti ini pemandangan setelah gempa Kanto berlalu?”

Akira-san:
“Ketika gempa bumi itu berlalu, kakak saya Heigo mengajak saya melihat reruntuhan. Daratan yang terbakar terpampang sepanjang mata melihat memiliki warna merah kecoklatan seperti gurun pasir merah. Kebakaran itu membuat semua yang terbuat dari kayu berubah menjadi debu, yang sekarang terbang ke atas dihembus angin. Di tengah hamparan kemerahan yang memuakkan ini tergeletak segala macam mayat yang bisa terbayangkan. Ketika saya secara tidak sengaja mengalihkan pandangan saya, Heigo menghentak saya. “Akira, lihat dengan seksama sekarang.” Saya tidak bisa mengerti maksud kakak saya dan hanya bisa mendongkol atas paksaannya untuk menatap pandangan yang mengerikan ini. Pemandangan yang paling mengerikan adalah ketika kami berdiri di tepi sungai Sumidagawa yang menjadi merah dan memandang kumpulan mayat yang terbenam ke pinggir sungai itu. Saya merasa lutut saya lemas ketika saya mulai pingsan, namun kakak saya meraih kerah saya dan menegakkan saya kembali.  Dia berkata lagi : “Lihat dengan seksama, Akira.” Saya menyerah dengan menggertakkan gigi dan melihat.
Kemudian hari dia berkata: “Kalau engkau menutup mata terhadap penglihatan yang menakutkan, engkau akhirnya akan menjadi takut. Kalau engkau melihatnya secara langsung, tak ada yang ditakutkan.”  Menoleh kembali ke perjalanan itu, saya menyadari bahwa hal itu pasti menakutkan juga bagi kakak saya. Itu adalah perjalanan untuk mengalahkan rasa takut.”

Aku berkata:
“Anda pernah bilang bahwa kakak anda Heigo banyak mempengaruhi anda akan hasrat anda akan dunia sinema. Bagaiman dia mempengaruhi anda?”

Akira-san:
“Heigo adalah seorang narator profesional untuk filem bisu. Tugas narator bukan hanya menceritakan jalan cerita filem, mereka mempertegas bagian yang emosionil dengan memperdengarkan suara dan efek suara dan memberikan penjelasan yang menggugah akan kejadian dan gambaran di layar – lebih menyerupai narator dari teater boneka Bunraku. Narator yang paling populer adalah seorang bintang tersendiri, mengambil tugas di teater tertentu. Di bawah pimpinan narator terkenal Tokugawa Musei, sebuah pergerakan yang sama sekali baru berlangsung. Dia dan kelompoknya menekankan narasi dengan kualitas tinggi dari filem-filem asing yang disutradarai dengan baik.
Dalam hal filem dan sastra saya banyak bergantung kepada anjuran kakak saya. Dia ketagihan sastra Russia. Namun di saat yang sama dia menulis dengan berbagai nama samaran untuk program-program filem. Khususnya dia menulis tentang seni sinema filem asing, yang banyak dipromosikan setelah Perang Dunia Pertama. Saya mengambil perhatian khusus akan filem-filem yang dianjurkan kakak saya. Sejak sekolah dasar saya berjalan sampai sejauh Asakusa untuk menonton filem yang dia bilang bagus.”

Aku berkata:
“Kemudian apa yang terjadi ketika sinema berganti dari filem bisu ke filem bersuara?”

Akira-san:
 “Ketika filem bisu ditinggalkan, demikian juga kebutuhan akan para narator, dan penghidupan Heigo terpukul amat sangat. Pada mulanya semua seperti berjalan dengan baik karena saat itu kakak saya adalah narator utama di sebuah bioskop filem perdana, Taikatsukan di Asakusa, di mana dia mempunyai penggemar tersendiri.
Lalu menjadi jelas bahwa semua filem asing semenjak saat itu akan menjadi filem bersuara, dan teater-teater yang mempertunjukkannya memutuskan secara menyeluruh bahwa mereka tidak membutuhkan para narator lagi. Para narator diberhentikan secara masal, dan, mendengar hal itu, mereka mogok kerja. Kakak saya, sebagai pemimpin pemogokan, menjalani masa yang sangat sulit.”

Aku berkata:
“Seperti apa yang sudah terjadi, perubahan sinema tidak terelakkan, dari bisu ke suara, dari hitam putih ke warna, dan dari seluloid ke digital.”

Akira-san:
Di tengah segala itu, suatu hari saya dengar kakak saya mencoba bunuh diri. Saya kira penyebabnya adalah pahitnya posisinya sebagai pemimpin pemogokan para narator, yang telah gagal. Kakak saya sepertinya menerima fakta bahwa para narator tidak akan lagi diperlukan ketika teknologi perfileman bergerak ke arah bersuara. Ketika dia menyadari perjuangannya akan kalah, fakta bahwa dia harus menerima penugasan sebagai pemimpin pemogokkan pastilah tak terbayangkan sakitnya baginya.

Aku berkata:
“Bukankah dia pernah bilang ke ibu anda bahwa dia akan mati sebelum mencapai umur tigapuluh tahun?”

Akira-san:
“Kakak saya selalu bilang begitu. Dia menganggap kalau seseorang hidup melewati umur tiga puluh tahun, apa yang terjadi padanya hanyalah menjadi lebih jelek dan jahat, karena itu dia tidak berniat begitu. Saya menganggap enteng kata-kata kakak saya, tapi beberapa bulan setelah saya menepis kerisauan ibu saya akan hal itu, kakak saya meninggal dunia. Seperti yang dia janjikan, dia meninggal sebelum mencapai usia tiga puluh. Di usia dua puluh tujuh dia bunuh diri.”

Aku berkata:
 “Ada orang-orang yang bilang bahwa anda seperti kakak anda. Namun dia adalah negatif dan anda positif. Anda membuat filem bagus baik dalam hitam putih maupun filem berwarna, anda sutradara filem Jepang pertama yang menerima penghargaan internasional.”

Alira-san:
“Pada masa itu filem-filem Jepang cenderung terasa hambar, seperti teh hijau disiram di nasi. Saya melihat seorang wanita membaca buku selama pertunjukan filem produk dalam negeri Jepang. Filem-filem Jepang kehilangan masa belianya, kehilangan semangat dan aspirasi yang tinggi. Filem-filem… seperti hasil karya seorang yang letih, tua, yang membuat penilaian sempit, kering dari rasa, dan yang hatinya tersumbat.”

Aku berkata:
“Penghargaan internasional pertama yang anda terima adalah Rashomon yang menerima Golden Lion di festival filem Venesia di tahun 1951. Diperagakan di Jepang abad ke 11, suatu masa ketika api, gempa, sampar, bandit dan perperangan. Suatu masa ketika pemerintah pusat dirongrong oleh pertumbuhan pergerakan politik dan kekuatan militer.  Ada pemberontakan, kebakaran, gempa, dan tindak kriminal yang kejam di ibu kota. Saat itu adalah perioda yang tampaknya tidak ada hukum, dan negara ini berada di tepi jurang kehancuran.
Filem itu dimulai di Gerbang Rashomon, Gerbang Utama kota Kyoto. Gerbang itu dalam kondisi hancur, demikian pula kotanya. Hujan dalam hitam putih mengucur deras ke Gerbang Rashomon memberi kesan dunia yang buram. Gerbang yang hancur, dengan ukurannya yang kelihatannya megah dan fundasinya yang kokoh yang telah menjadi reruntuhan. Pakaian orang-orang di situ lusuh, gelap, kotor dan basah.”

Akira-san:
“Filem itu mendalami hati manusia bagaikan pisau bedah dokter, memperlihatkan seadanya komplesitas yang gelap dan liku-liku yang penuh keganjilan.  Denyutan hati nurani yang ganjil ini akan diperlihatkan dengan menggunakan permainan cahaya dan bayangan yang dirancang dengan seksama. Cahaya dan bayangan, mewakili bukan saja baik dan jahat, tapi juga rasionalitas dan tindakan impulsif. Terutama bagian awal, yang membawa penonton melalui cahaya dan bayangan dalam hutan ke dunia di mana hati manusia tersesat, benar-benar pekerjaan kamera yang mengagumkan dari Miyagawa Kazuo.”

Aku berkata:
“ Jalan cerita dan karakter-karakternya menarik, mencakupi berbagai jenis karakter yang memberi kesaksian-kesaksian yang subyektif, alternatif, memihak diri sendiri dan  bertentangan tentang suatu pembunuhan. Melalui penggunaan yang cerdik dari kamera dan flashbacks, anda mengungkapkan kompleksitas sifat manusia ketika empat orang menceritakan kesaksian yang berbeda tentang pembunuhan seorang samurai dan pemerkosaan isterinya.”

Akira-san:
“Manusia tidak dapat jujur kepada dirinya sendiri tentang dirinya sendiri. Mereka tidak dapat berbicara tentang dirinya sendiri tanpa menghiasinya. Pergelaran ini memperlihatkan manusia seperti itu yang tidak bisa hidup tanpa berbohong untuk membuat dirinya merasa lebih baik dari sebenarnya. Karakter-karakter tersebut bahkan menipu diri mereka sendiri; mereka menolak untuk menghadapi atau mengakui kebenaran karena mereka takut padanya. Pandangan umum adalah bahwa semua lelaki dan wanita seperti itu, dan menjadi sifat manusia untuk berbohong dan menghiasi realitas bahkan bagi dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan pendeta di filem itu, kalau manusia tidak saling mempercayai, bumi ini lebih baik menjadi neraka.”

Aku berkata:
“Pada akhir filem itu ada adegan seorang bayi yang ditelantarkan yang menangis sangat keras. Mulanya kita tidak dapat mengerti bagaimana bayi ini datang ke Gerbang Rashomon, sekonyong-konyong saja. Kemudian saya menemukan bacaan bahwa tempat itu selain tempat membuang mayat juga menjadi tempat yang diketahui sebagai tempat meninggalkan bayi-bayi yang tak dikehendaki. Kemudian saya dapat memahami adegan ini, bukanlah suatu adegan yang bukan pada tempatnya seperti yang dikira sebagian penonton.”

Akira-san:
“Kita melihat bahwa si penebang pohon itu menerima bayi yang ditelantarkan dan membawanya pulang untuk dipelihara, walaupun dia sendiri sudah punya 6 orang anak. Hal ini melambangkan bahwa manusia memilih melakukan hal-hal yang baik.  Ini penting, karena penebang pohon itu sepanjang adegan sampai saat itu hanyalah berdiam diri, memilih untuk tidak terlibat dengan apa yang dilihatnya, “Aku tidak ingin terlibat”, katanya. Dengan memilih untuk mengambil anak itu dia memberi harapan kepada pendeta itu bahwa manusia adalah baik adanya dan bahwa dunia bukanlah milik orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri.”

Ini adalah wawancara imajiner untuk mengenang Akira Kurosawa.

Sumber: “Something Like an Autobiography” by Akira Kurosawa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar