Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Mei 2018

Wawancara dengan Katsushika



Photo: Wikimedia

Aku menemukan karya Katsushika ketika menengok-nengok suvenir di depan sebuah toko suvenir di gunung Fuji di stasion nomor 5, tampak gambar- gambar dari sebuah ombak besar menggulung dengan latar belakang gunung Fuji yang tertempel di gelas, kipas, gantungan kunci dan tee shirts. 

Entah bagaimana keunikan gambar itu berkesan di ingatan sebagai suatu gaya lukisan Jepang, dengan kata lain gambar itu memperlambangkan sebagai sesuatu yang Jepang, gambar itu menjadi ikonik. Bukan main kuatnya pengaruh gambar itu.

Kemudian, ketika membaca internet kuketemukan bahwa gambar itu adalah “The Great Wave off Kanagawa” (“Ombak Dahsyat Dekat Kanagawa”), karya ukir cetak kayu yang dicptakan oleh Katsushika Hokusai, yang merupakan bagian dari karya ukir cetak kayunya Thirty-six Views of Mount Fuji (Tigapulu- enam Pemandangan Gunung Fuji). 


Lalu aku berusaha menghubungi Katsushika-san untuk sebuah wawancara, dan berhasil bertemu dengannya di suatu pagi yang cerah di kediamannya. 


Aku berkata:

“Katsushika-san, karya anda yang terkenal “The Great Wave off Kanagawa” dan karya-karya lain yang paling penting dari serial Gunung Fuji dibuat di awal “fase akhir” hidup anda. Anda sudah memiliki karir yang panjang dengan ukiyo-e – seni dunia melambung- dengan karya cetak indah tentang pedagang kelontong yang bergegas, wanita penghibur dalam kimono dan peziarah yang terpesona akan bulan di atas Edo (Tokyo jaman dulu) kota tempat tinggal anda. Namun, keandalan kreatifitas anda sepertinya berkembang di fase akhir hidup anda, di usia tujuhpuluhan. Mengapa anda “melambung” begitu terlambat?" 


Katsushika-san:

“Tahun 1820-an adalah masa sulit bagi saya, saya disambar petir di umur 50, dapat serangan jantung di umur 60 tahunan yang membutuhkan saya beradaptasi kembali dengan pekerjaan seni saya. Jadi saya hanya berbuat sedikit di umur 60 tahunan; isteri saya menjadi sakit dan salah satu puteri saya meninggal. Saya bisa mengatasi situasi ini karena saat itu saya kaya dari hasil pekerjaan saya.

Tapi selanjutnya saya dihadapi nasib sial cucu saya yang punya banyak hutang dari kebiassan judinya dan saya harus membayar semua hutangnya. Namun di sekitar tahun 1828, saya kirim cucu saya ke tempat jauh di Utara Jepang di mana dia tidak bisa berjudi. Lalu saya bebas untuk bekonsentrasi pada kreatifitas saya berkarya. Walaupun, bahkan ketika menggambar The Thirty-six Views, saya jarang cukup makan. Edo diserang oleh cacar dan banjir, dan kebakaran di tahun 1839 menghancurkan seluruh karya studio saya.

Salah satu faktor bagi melambungnya karya saya adalah munculnya warna cat biru Prussian di pasar, yang diimport dari dunia Barat. Sebagai pigmen sintetis, warna ini lebih bertahan lama dan menurunkan harga sedemikian rupa sehingga bisa digunakan sebagai bayangan warna dalam cetakan untuk pertama kalinya.

Sebuah gambar yang dicetak sepenuhnya dalam nada warna Prussian melukiskan  pemandangan dengan suasana seperti pada saat sebelum senja. Gambaran ombak dahsyat yang dimasukkan di bagian tengah, dengan gunung Fuji nun jauh di latar belakang, membuat ombak biru membuih di bagian muka memberi dimensi yang lebih dalam bagi gambar ini.”


Aku berkata:

“ Periode ukiyo-e – seni dunia melambung – menggambarkan Jepang yang melambung, atau Jepang yang makmur, yang biasanya menggambarkan segi riang gembira kehidupan kota – termasuk wanita penghibur dan pemain kabuki. Itu adalah masa hedonis dunia Jepang, yakni hidup untuk saat ini, berpesta, dansa, mabuk-mabukan, diiringi membengkaknya perekonomian Edo (Jepang tempo dulu). Seni dunia melambung, ukiyou-e, menanjak dengan permintaan pasar, gambar-gambar kabuki, wanita cantik, geisha, wanita penghibur menjadi populer dan dipajang di rumah-rumah.Sehingga anda juga melambung, karya cetak kayu anda laris terjual saat itu.

Lalu munculah karya cetak kayu anda The Great Wave yang menggambarkan ombak besar yang akan menelan kedua perahu nelayan. Apakah itu merupakan suatu “peringatan tsunami” terhadap dunia melambung yang akan datang dalam beberapa menit?”



Katsushika-san:

“tu bukan tsunami, ombak besar, tapi bukan tsunami. Gambar itu untuk dekorasi, yang memperlihatkan salah satu dari berbagai pandangan terhadap Gunung Fuji yang agung, dalam warna biru Prussian. Bagi saya, dunia lebihlah panoramik, dan kesenangan terletak dalam membuat representasi grafis yang baru bagi setiap fenomena visual. Sehingga, lebih dari 5000 cetakan dari the Great Wave dibuat dan terjual di masa itu.”


Aku berkata:

“Memang anda dikenal sebagai seorang bisnisman yang andal, anda memiliki intuisi yang baik tentang minat populer.  Anda juga pandai mempromosikan diri sendiri, menciptakan lukisan-lukisan sangat besar dengan bantuan murid-murid anda. Di suatu festival di Edo di tahun 1804, anda membuat lukisan potret sepanjang 180 meter dari seorang biarawan Budhis dengan mengunakan sapu sebagai kuas.  Beberapa tahun kemudian, anda mempublikasikan serial buku sketsa yang paling laris dengan lukisan setinggi bangunan 3 lantai menggambarkan pelopor Zen Buddisme.”


Katsushika-san:

“Dari sejak umur 6 tahun, saya punya kecenderungan untuk menggambar segala macam bentuk, dan dari umur 50 gambar-gambar saya sering dipublikasikan; namun sampai umur 70 tahun, tidak satupun yang saya gambar layak diperhatikan…. Jadi ketika saya mencapai 80 tahun, saya berharap untuk dapat meningkatkan mutu, dan di 90 tahun untuk dapat melihat lebih lanjut prinsip-prinsip mendasar dari segala hal, sehingga pada umur 100 tahun saya akan mencapai tingkat ilahi dalam karya seni saya, dan pada umur 110, setiap titik dan setiap sapuan akan nampak hidup.” 


Aku berkata:

“Anda melukis berbagai naga, mahluk yang berumur panjang, lusinan jumlahnya.  Anda  juga melukis burung phoenix, burung kebangkitan, dan gunung Fuji; berganti-ganti, dengan tangguh, bertahan lebih lama dari semua pelukis sejawat anda, penulis kaligrafi, pembuat ukiran cetak kayu, dan penjual buku berwarna yang banting tulang agar bisa hidup di Edo, Tokyo lama.

Anda mengganti nama anda begitu seringnya, sekitar 30 kali, seringkali sehubungan dengan pergantian gaya seni dan prodcuksi anda, yang dipakai untuk membelah-belah hidup anda dalam perioda-perioda.”


Katsushika-san berkata sambil tersenyum:

“Di usia tujuhpuluha-an, saya bernama Manji, yang berarti “hal hal kesepuluhribuan” atau “segalanya”.  Itulah yang ingin saya lukiskan - segalanya. Batu nisan saya akan bertuliskan nama saya yang terakhir, Gakyo Rojin Manji, yang berarti “Orang tua yang Gila akan Lukisan.”


Aku berkata:

“Anda juga membuat gambar-gambar manga.  Ada 15 jilid gambar-gambar manga yang merupakan esiklopedia gambar untuk segala hal di muka bumi ini: kodok, ular, samurai, pegulat sumo, payung, pasar ikan, pembajak sawah, lautan dan teko teh. Anda juga membuat ‘shunga’, atau gambar-gambar ‘musim semi ‘erotis Jepang’, yang cukup gamblang secara seksual seperti “the Dream of Fisherman’s Wife” (Mimpi Isteri Nelayan) yang menjadi salah satu gambar cetak erotis Jepang yang paling tersohor.”  




Katsushika-san:

“Shunga adalah karya seni seksual yang gamblang, yang dibuat dengan kesempurnaan teknik yang persis sama dengan karya seni dalam format lain oleh seniman yang sama. The Dream of Fisherman’s Wife adalah berdasarkan kisah Puteri Tamatori, yang populer di masa Edo.

Dalam cerita ini, Tamori adalah seorang wanita penyelam pencari kerang yang sederhana yang menikah dengan Fujiwara no Fuhito dari klan Fujiwara, dan lalu yang mengejar Ryujin, naga dewa laut, yang mencuri mutiara keluarga suaminya. Bersumpah untuk membantu, Tamatori menyelam menuju dasar laut mencari istana bawah laut Ryugo-jo tempat tinggal Ryujin, namun ia kemudian dikejar oleh dewa itu dan pasukan mahluk bawah lautnya, termasuk para gurita.

Ia membelah buah dadanya untuk menyembunyikan perhiasan itu di dalamnya; hal ini membuatnya bisa berenang lebih cepat dan melarikan diri, namun dia mati karena lukanya sesaat setelah muncul kepermukaan.

Kisah Tamatori adalah bahan populer untuk seni ukiyo-e. Seniman Utagawa Kuniyoshi menciptakan karyanya berdasarkan kisah ini, yang sering menampilkan gurita-gurita, di antara mahluk-mahluk yang  mengejar penyelam yang bertelanjang dada itu.

The Dream of the Fisherman's Wife bukanlah satu-satunya karya seni yang menggambarkan hubungan erotis antara seorang wanita dan gurita. Beberapa ukiran-ukiran netsuke periode awal menunjukan gurita menggumul tubuh wanita telanjang.”


Aku berkata:

“Lalu siapakah pelanggan seni Shunga ini?”


Katsushika-san:

“Di masa Edo bukan hanya lelaki yang menghargai Shunga, namun juga wanita menjadi pelanggannya. Kemudian, jelas ada minat dari yang muda dan tua akan Shunga, tanpa peduli status atau lokasi, dan termasuk orang-orang kota, petani, dan juga intelek kelas satu dan penguasa Shogun.  Kita juga bisa melihat bahwa Shunga bukan sekedar pemuas nafsu seksual, tapi ditujukan untuk menggambarkan berbagai aspek dari seksualitas.”


Aku berkata:

“Terima kasih Katsushika-san atas obrolan yang menarik ini, semoga anda panjang umur dan sukses selalu dengan karya anda….”                                       



Ini adalah wawancara imajiner mengenang Katsushika Hokusai.


Sumber: Wkipedia




1 komentar:

  1. Arigatou...taihen benkyou ni narimashita...

    Saya baru tahu loh sejarah gambar ombak itu..karya yg luar biasa dan penuh makna sejarah..

    BalasHapus