Cari Blog Ini

Sabtu, 07 November 2020

Paris, di Le Marais

 

Saya dan kolega-kolega menggunakan hari bebas kami setelah suatu rapat dinas di Paris untuk pergi ke distrik Le Marais. Keluar dari stasiun metro Hotel de Ville, kami terperangah dengan gedung besar Hotel de Ville langsung dihadapan stasiun metro. Saya bertanya-tanya akan berapa mahalnya tinggal di Hotel semegah ini. Namun sebenarnya bangunan ini bukanlah hotel, bangunan ini adalah kantor Kota Madya. Setelah saya google beberapa kali, saya menemukan bahwa kata ‘hotel’ dalam Bahasa Perancis bisa berarti rumah, bangunan, kediaman, jadi tidak selalu berarti hotel sebagai tempat menyewa kamar untuk tempat tinggal para turis. Kini, selain berfungsinya sebagai administrasi kota, Hotel de Ville juga adalah tempat untuk kesenian dan kebudayaan. Ada banyak pameran-pameran menarik di dalam gedung maupun di halaman di depan gedung ini. 

Hotel de Ville, kantor Walikota terbesar di Eropa. Terletak di pinggiran sungai Seine dan di tepi distrik Le Marais. Jalan-jalan disana menuju ke daerah yang modis, dipenuhi toko-toko yang cantik, cafes dan galeri seni. Masa kini, Le Marais adalah salah satu distrik terbaik di paris, campuran arsitektur abad pertengahan, toko-toko trendy, tempat-tempat kebudayaan dan gaya hidup yang unik. Sebuah distrik dengan jalan-jalan yang sempit di sebelah kanan sungai Seine, dimana anda dapat menikmati tempat bersejarah ini, gedung-gedung yang indah dan kuliner Perancis. 

Delapan ratus tahun yang lalu, Le Marais adalah sebuah rawa. Kata ‘marais’ dalam bahasa Perancis secara harafiah berarti ‘rawa’, sehingga tempat ini dinamai Le Marais karena kondisi tanah di pinggiran sungai Seine itu seperti rawa. Untuk memberi lahan agrikultur yang baru, daerah ini dirubah menjadi pertamanan komersil. Dalam waktu yang Panjang, daerah ini jatuh bangun dari perhatian umum karena perubahan kesuburan tanah dan kesukaran membangun di tanah rawa seperti ini. 

Di abad ke 16, raja Henry IV mengeringkan daerah Le Marais dan tempat ini menjadi lokasi favorit untuk membangun mansion-mansion yang bergengsi, yang ditinggali sebagian besar aristokrat Perancis. Masa ke-emasan Le Marais berlangsung hingga abad ke 17, menjadikannya sebuah pusat kesenian dan kebudayaan. Para aristokrat membangun mansion-mansion (dalam bahasa Perancis: ‘hotel particulier’) seperti  Hotel de Sens, Hotel de Sully, Hotel de Beauvais, Hotel Carnavalet, Hotel de Guenegaud dan Hotel de Soubise. Mansion-mansion itu didekorasi dengan sangat indah, dengan perabotan bermutu tinggi dan perhiasan mewah lainnya dari jaman ke-emasan ini. 

Seiring dengan jatuh bangunnya dinasti Bourbon, depersi ekonomi, revolusi Perancis, restorasi kota Perancis, Le Marais juga jauh bangun. Menanjak di abad ke 16, dirusak ketika revolusi dan peperangan, dipelihara oleh Andre Malraux di tahun 1962, dan diperbaharui oleh badan Kotamadya di tahun 1969. 

Berjalan-jalan memalui Le Marais kali ini kami dapat menghargai keindahan daerah ini karena daerah ini menjadi daerah perbelanjaan yang populer, dan didiami komunitas Yahudi yang utama di Paris. Daerah ini juga menjadi daerah yang modis, kebanyakan mansion-mansion dirubah menjadi museum, perpustakaan dan sekolah, yang dikelilingi toko-toko pakaian terbaik, tempat makan dan galeri seni moderen.

 

TAMAT

 

Sumber:

https://www.parismarais.com/en/discover-the-marais/history-of-the-marais/historical-marais.html

 









Jumat, 16 Oktober 2020

Bangkok, di Malam Hari

 

Bangkok adalah salah satu tempat dimana pada saat siang berganti malam perlahan-lahan, anda tetap bisa melihat banyak hal asal anda tidak lelah. Tempat-tempat yang indah, istana-istana dan kuil-kuil, paling baik dikunjungi di siang hari, namun pada malam hari, wajah Bangkok sangat berbeda. Pesta, pasar malam, klub malam, panganan dan pertunjukan unik mulai hidup menggoda para pengunjung untuk menikmati malam di kota ini.

Berbelanja di jalanan pada siang hari sangat menggairahkan walaupun sinar matahari panas terik di kota ini, namun ketika hari menjadi sejuk di sore hari, pasar malam mulai buka seperti mekarnya kembang malam menawarkan begitu banyak jauh lebih banyak dari pada pasar di siang hari, pakaian, sepatu, kerajinan tangan, barang-barang bermerek tiruan, perhiasan, pakaian pantai, cendera mata dan tentu saja jajanan dan minuman. Di Lorong-lorong sempit yang diterang-benderangi lampu neon portable, anda bisa melihat barisan kedai-kedai yang berjejer di jalanan pasar malam itu. Barang-barang warna warni dipajang dengan menawan di kedai-kedai itu, dan penjaja yang bersemangat  meninggikan suara menawarkan dagangannya. Ketika membeli, jangan lupa menawar, biasanya anda bisa mendapatkan suatu barang antara 25% hingga 50% lebih murah dari penawaran pertama kali dari penjual. Jadi jangan ragu-ragu menawar dan membawa pulang cendera mata untuk kenang-kenangan dari sini.

Banyak pasar malam yang paling sibuk terletak di sepanjang daerah lampu merah yang populer, misalnya pasar malam Silom. Pasar malam ini terletak di tengah distrik Patpong, daerah lampu merah terkenal yang pernah dijadikan lokasi adegan filem Deer Hunter dan filem James Bond Goldfinger. Patpong adalah dua jalan kecil yang sejajar di antara jalan Silom dan Surawongse, yang ditempati strip bars remang-remang yang menawarkan adult shows dan pole dancing. Ketika sore berganti malam bar-bar tersebut mulai hidup dengan dimulainya musik gegap gempita. Anda bisa melihat melalui pintu terbuka gadis-gadis mulai berputar-putar di tiang-tiang panggung dan menari, di bawah redupnya lampu neon ungu. Suara-suara teriakan penjaja barang di jalan digantikan oleh bisikan-bisikan tukang catut menawarkan segala hal  mulai dari “ping pong show” hingga “pijat”.

Tidak diragukan lagi bahwa wajah Patpong memberi kontribusi akan nama “Kota Berdosa’ (“Sin City”) dari Bangkok. Pelacuran dapat terjadi di banyak tempat di Bangkok, panti pijat, restoran, sauna, go-go bar, karaoke atau bar lainnya. Nama-nama bar-bar di sini sangat menyolok, seperti Pussy Collection, Super Pussy, Pink Pussy… sulit untuk tak terlihat. Tampaknya tak ada lagi kehidupan malam yang semula di Patpong yang “sembunyi-sembunyi” atau “di bawah tanah”.  Go-go bars yang melatar-belakangi pasar malam itu bahkan sudah menjadi atraksi bagi para turis.

Lalu, apa yang terjadi dengan wajah Bangkok yang namanya berarti “Kota Para Malaikat” (“City of Angels”), dimana para bikhu dengan jubah oranye berkeliaran di jalanan di pagi subuh dengan mangkok di tangan, dimana ibu-ibu sejak lebih dari 2,500 tahun memasak makanan untuk diberikan kepada para bikhu, dimana ada ribuan kuil-kuil di dalam kota, dan dimana ada altar di setiap pojok kota itu guna menenangkan roh-roh halus?

Apakah Buddhisme Thailand mentolelir pelacuran yang tersebar luas itu dengan tidak memperbaiki sikap terhadap wanita yang dianggap lebih rendah dan bahkan berbahaya bagi lelaki, atau apakah agama ini memberi kontribusi terhadap pandangan bahwa wanita pada dasarnya tidak murni dan karnanya tidak pantas untuk mendapat pencerahan, dan dengan demikian terkurung di dalam posisi yang merendahkan diri mulai dari pekerja seks hingga biarawati sebagai jalan untuk mendapatkan berkah spriritual bagi dirinya dan keluarga?

Walaupun Buddhisme memegang peranan penting dalam membentuk hukum, kerangka kebudayaan dan kehidupan sosial di kerajaan Thailand, saya kira banyak factor-faktor yang memberi kontribusi atas meluasnya pelacuran, katakanlah Perang Dunia 2, Perang Vietnam, kemiskinan di wilayah ini dimana pekerja seks mendapatkan penghasilan 10 kali lebih banyak dari updah minimum, dan tak usah menyebutkan korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan Mafia yang juga terlibat dalam partai-partai politik.

Walaupun pelacuran di sini demikian meluas, sebenarnya hukum Thailand melarang pelacuran. Tapi karaoke, go-go bar dan panti pijat bisa didaftarkan seperti biasa, sebagai bisnis legal. Polisi biasanya memperlakukan pelacuran di tempat-tempat tersebut sebagai transaksi di antara pelacur dengan pelanggannya, yang dalam transaksi ini pemilik bisnis itu tidak terlibat. Jadi, dalam prakteknya hal ini di tolelir, kadang kala karena pejabat-pejabat lokal memiliki kepentingan finansial dalam usaha pelacuran ini. Beberapa pejabat-pejabat Thailand bisa menutup mata terhadap industri USD 6 miliard ini, yang melibatkan sekitar 2 juta wanita-wanita di Thailand.

 

TAMAT

Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution_in_Thailand
https://digitalcommons.fiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2474&context=etd









Sabtu, 26 September 2020

Bangkok, di Grand Palace

Apalagi yang bisa dikatakan tentang istana Grand Palace di Bangkok, sebegitu banyaknya hal-hal yang dapat dilihat dan difoto, patung manusia serupa hewan, dinding-dinding dan atap yang cemerlang keemasan, taman-taman, lukisan-lukisan, tiang-tiang menjulang, stupa keemasan, barisan Garuda yang tak berujung, dan tak lupa menyebut Emerald Buddha yang sangat dihormati. Tidak mengherankan bahwa Grand Palace menjadi pusat seni budaya Thailand selama berabad-abad dan dianggap sebagai acuan bagi segala jenis kesenian Thailand. Istana ini dianggap sebagai cermin dari identitas Thailand.


Ketika Raja Rama I memerintahkan pemindahan ibukota ke distrik Phra Nakhon di tahun 1782, dia mendirikan Grand Palace sebagai pusat kerajaan yang baru. Dia mengambil inspirasi dari istana di Ayutthaya, ibukota Siam yang lama, yang dihancurkan tentara Burma di tahun 1767.  Istana Grand Palace diletakkan dengan strategis di tepi sungai Chao Phraya untuk meniru istana di Ayutthaya. Tata ruang Grand Palace, yang merangkum area seluas 213,677 m2, juga meniru istana lama di Ayutthaya dengan lapangan-lapangan, tembok-tembok, gerbang dan benteng yang terpisah. Berbagai zona di kompleks istana ini mencakupi the Outer Court, the Central Court, dan the Inner Court dan juga Kuil Emerald Buddha. Untuk mendapatkan material yang diperlukan untuk membangun Grand palace, Raja Rama I memerintahkan rakyatnya untuk pergi ke Ayutthaya yang sudah hancur, untuk mencabut dan memngambil batu bata dan batuan-batuan lainnya yang dengan susah payah dikirim dengan kapal kearah hulu sungai untuk membangun istana yang baru itu.

Bagian dari kompleks Grand Palace, kuil Wat Phra Kaeo (Kuil Emerald Buddha) adalah kuil yang paling sakral di Thailand dan rumah bagi Emerald Buddha. Chaophraya Chakri, yang kemudian menjadi Raja Rama I, mengambil Emerald Buddha dari Vientiane ketika ia menaklukkan kota ini di tahun 1778. Dia membangun kuil dan mengabadikan Emerald Buddha di situ sebagai simbol kembalinya kebangsaan Siam.

Kisah sejarah dan mitos patung ini menciptakan kepercayaan yang penting mengenai Emerald Buddha. Dipercayai bahwa patung ini melindungi sebuah kerajaan, kota mereka atau ibukota. Jika seorang raja turun tahta dengan paksa atau dikalahkan di suatu peperangan, Emerald Buddha akan dirampas dan diletakkan di ibu kota pemenang peperangan. Patung ini dianggap memiliki kekuatan spiritual dan dijadikan ikon yang sangat penting bagi rakyat Thailand.

Tapi saya tercengang melihat Emerald Buddha yang legendaris ini tampak begitu kecil, tingginya 66 cm, yang bertengger di ketinggian pada sebuah panggung setinggi 9 meter yang hampir mencapai langit-langit kuil itu. Emerald Buddha, yang diukir dari sebuah batu tunggal jade berwarna hijau keabu-abuan, ditinggikan dari kepala pengunjung sebagai tanda penghormatan. Anda juga musti duduk dengan kaki yang mengarah ke belakang sebagai tanda penghormatan.
Bagi saya yang paling mengesankan dari Kuil Emerald Buddha adalah tembok-tembok luarnya yang penuh dekorasi. Tembok-tembok itu dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding dalam pemerintahan Raja Rama I yang menampilkan adegan-adegan dari Ramakien, yang merupakan versi Thailand untuk epic Hindu, Ramayana. Di dalam Ramakien, nama-nama, kebudayaan, alat-alat perang dan bahkan topografinya dihubungkan dengan kerajaan Thailand. Rama yang merupakan inkarnasi dari dewa Hindu Wisnu, di dalam Ramakien dia adalah inkarnasi dari Buddha. Kerajaannya Ayodhya di dalam epic Ramayana digantikan dengan Ayutthaya, ibu kota purba dari Thailand.

TAMAT

Sumber:






Jumat, 04 September 2020

Bangkok, di Siam Paragon


Sepanjang jalanan di Bangkok, kita bisa melihat bahwa kota ini adalah surge konsumerisme. Papan-papan iklan ada dimana-mana, besar dan terang benderang, mengiklankan bisnis-bisnis dari Samsung hingga Toyota. Bahkan bangunan-bangunan tinggi ditempeli dengan papan-papan iklan raksasa. Dalam satu hal iklan-iklan itu tampak mengagumkan.

Juga di stasiun kereta metro, anda tak bisa menjadi bosan menunggu kereta layang karena ada banyak layar-layar iklan warna warni dengan wajah cantik para artis menawarkan kosmetik, jus buah, dan, tentu saja, berbagai pakaian. Kelihatannya para ‘influencers’ ini seperti mengikuti kita kemana saja seperti para pedagang asongan di jalanan menawarkan barang dagangan mereka, dan mengejar anda kala anda tidak memberi perhatian kepada mereka, mulai ketika anda menunggu kereta hingga anda sampai ke tujuan. Dan, iya, bahkan di dalam kereta ada banyak layar televise menampilkan iklan-iklan. Para artis di situ merupakan penjaja dagangan virtual, dengan senyum lebar dan gigi putih, menari dan melompat-lompat dengan dinamis yang mengikuti anda kemana saja, kontras dengan para pedagang asongan jalanan dengan pakaian kusut, muka terbakar matahari, yang menawarkan barang dengan wajah iba seakan mengemis.

Ketika kereta layang tiba di stasiun persimpangan Siam, baiklah kita lupakan para pedagang asongan itu, karena kita tiba di shopping mall Siam Paragon, suri teladan (paragon) segala shopping mall. Menempati salah satu lokasi persimpangan yang paling sibuk di kota ini, shopping mall ini mengambil keuntungan akan lokasinya yang unggul dengan menjadi jalur penting bagi distrik-distrik di sekitarnya. Menurut Arcadis, perusahaan yang merancang bangunan ini, disainnya mencerminkan tingkat kemewahan yang dibayangkan team Arcadis dengan sebuah atrium kaca yang dramatis yang berfungsi sebagai gerbang utama ke mall ini. Mungkin prestasi terbesar arsiteknya – dan tantangannya – adalah bagaimana mereka mengolah segi-segi sirkulasi dan tata letak shopping mall ini.

Di dalam, tempat ini merupakan taman-impian bagi butik-butik kelas atas yang berjejer di lobby, mulai dari Louis Vuitton, Hermes, Chanel, diikuti oleh Fendi, Bottega Venetta. Jendela-jendela toko didekorasi menarik dengan fashion- fashion mutakhir dari butik tersebut, pakaian-pakaian, tas-tas, sepatu-sepatu dll. Yang dijajakan sesuai musim, saat itu temanya adalah ‘Tahun Baru Anjing’. Jadi, anjing-anjing hiasan dipajang bermain dengan tas, sepatu, dompet di dalam kaca jendela toko itu. Kita bisa bilang bahwa jendela-jendela toko di situ tampak dibuat cukup kreatif dengan sendirinya, jendela-jendela itu menghasut selera konsumtif kita. Kita bisa lihat beberapa turis dari Tiongkok mengantri dengan taatnya di muka pintu Louis Vuitton.

Mewah adalah istilah meremehkan bagi shopping mall ini, karena mall ini tidak hanya diisi oleh butik-butik kelas atas, tapi juga diisi oleh showroom bagi mobil-mobil yang sangat mahal dan ekslusif, Rolls Royce, Aston Martin, Bentley, Lamborghini, Maserati, Ducati dan Porsche. Mobil-mobil itu tampak sangat sempurna, namun di dalam showroom kaca tampak seperti mobil mainan berskala besar dalam kotak kaca. Dan para pramuniaga nampak bosan sendiri karena tidak orang yang masuk ke dalam showroom itu.

Tapi itu belum semua….., ada Ocean Aquarium di basement, multiplex cinemas dengan 15 layar besar, Thai Art Gallery, KidZania untuk anak-anak belajar dan bermain, toko buku Jepang Kinokuniya, Paragon department store,  sebuah super market dan tidak lupa menyebutkan restoran-restoran kelas atas. Bahkan ada sebuah Opera Theatre di lantai 5!

Ketika menuruni escalator saya bisa mendengar di latar belakang lagu dari REM ‘Shiny Happy People’:

‘Whoa, here we go…
Everyone around, love them, love them.
Put it in your hands, take it, take it.
There's no time to cry, happy, happy…’

‘Ayo, inilah dia….
Semua orang disekitar kita, cintailah mereka, cintailah mereka.
Taruhlah di dalam tanganmu, ambillah, ambillah.
Tak ada waktu untuk menangis, berbahagia, berbahagia….’

TAMAT




Sabtu, 08 Agustus 2020

Wawancara dengan Haruki


Photo: pinktentacle.com
Baru-baru ini saya mengikuti drama TV Jepang “Aibou” (Partners) sebuah drama detektif serial di internet. Dramanya cukup menarik, seperti halnya banyak filem detektif Jepang drama serial ini memiliki alur cerita yang kompleks, sebegitu kompleksnya hingga sulit ditelan. Nampaknya penulis drama itu membuat jalur ceritanya kompleks agar makin misterius, membuatnya makin sulit menebak ‘siapakah yang melakukannya’. Selain itu, kisahnya kadang mencerminkan kebudayaan dan tradisi Jepang yang unik, seperti sikap yang menjunjung tinggi kesempurnaan dalam perbuatan, kejujuran, kebanggaan akan profesi, kehormatan dan pengorbanan bagi masyarakat, yang terpilin dengan tindakan kejahatan dalam drama ini.

Namun, ketika saya sampai di episode 9 dan 10 dari Season 11 drama ini, saya terkesiap menontonnya, karena ceritanya didasari tradisi yang sangat aneh dan mengherankan. Saya tak bisa membayangkan seseorang melakukan tindakan ini di dunia nyata. Namun, mengenal bahwa drama serial ini sering memasukkan tradisi Jepang dalam ceritanya, tindakan ini pastilah nyata, bukan fiksi.

Tindakan kejahatannya terjadi di sebuah daerah pegunungan yang terpencil yang diselimuti hutan yang lebat, sebuah tempat yang terasa sangat teduh dan damai hingga sulit membayangkan sebuah kejahatan bisa terjadi di sini. Kejahatan itu terjadi terdorong oleh sebuah praktek dari abad ke 11 yang disebut Sokushinbutsu, sebuah tindakan memumikan diri oleh seorang biksu agar menjadi “seorang Buddha dalam badan ini”. Di dalam praktek Sokushinbutsu sang biksu dengan sengaja mematikan diri agar melestarikan badannya menjadi mummi, dengan kehendak mencari nirwana.

Saya sangat penasaran untuk mengetahui apakah yang melandasi tradisi religious ini, bagaimana sampai bisa terjadi begini? Jadi saya menghubungi Haruki, seorang biksu yang saya kenal, yang berdiam di Kuil Churenji  di Dewa Sanzan, distrik Yamagata. Saya mengambil perjalanan 4 jam dengan Shinkansen dan kereta api express dari Tokyo ke stasiun terdekat di Tsuruoka. Perjalanannya melalui daerah yang paling teduh di Jepang, melihat daerah pedalaman, pegunungan, ditandai dengan kuil-kuil yang tersembunyi di hutan lebat. Setelah sampai di Tsuroka saya mengambil bus ke Kuil Churenji untuk menemui Haruki, namun karena kuil itu tidak terbuka bagi publik hari itu, kami pergi ke sebuah warung teh di dekat situ untuk bercakap-cakap.

Aku membuka percakapan:
“Tempat yang sangat teduh di distrik Yamagata ini dikatakan sebagai salah satu tempat yang paling indah untuk berjalan-jalan di Jepang. Saya beruntung bisa melihat keindahan tempat ini yang dikelilingi pegunungan diselimuti pohon-pohon cedar yang tinggi-tinggi membentuk hutan yang lebat, yang membuat kita merasa pohon-pohon itu menjangkau ke atas untuk memberi penampungan dan perlindungan terhadap badai. Pegunungan yang menjulang tinggi dianggap musuh dan daerah angker bagi manusia untuk menjelajahinya, sementara hutan memberi kita rasa damai yang luar biasa.

Jadi, saya kira kita bisa mengerti bahwa di jaman dulu agama Shinto kuno (Koshinto) menyembah alam, yang dikenal sebagai animisme di dunia Barat. Keindahan dan keteduhan tempat ini sangatlah luar biasa hingga mereka menganggap setiap elemen alam ini adalah ilahi. Gunung, lautan dan sungai semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’ dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara. Angin dan halilintar juga adalah ‘kami’. Singkatnya Koshinto berpegangan bahwa tidak ada di dunia atau di kosmos yang tidak memiliki energi ilahi; ‘kami’ berada di mana saja.
Gunung Yudono di mana Kuil Churenji berada, juga dianggap  sebagai salah satu gunung yang dikeramatkan diantara 3 gunung-gunung Dewa Sanza. Bisakah anda memberi sedikit gambaran.”
Haruki:
“Gunung-gunung memiliki peranan penting di dalam agama di Jepang sejak jaman dulu kala. Gunung yang tinggi dianggap angker dan berbahaya, namun mereka disembah sebagai sumber dari sungai yang memberi kehidupan yang menyuburkan sawah dan desa-desa di bawah. Menjulang ke langit dan seringkali tertutup oleh awan, gunung-gunung seperti itu dianggap sebagai surga dan diperlalukan dengan kekaguman dan hormat. Tanpa harus menjadi Shinto, semua manusia dapat memiliki kesan seperti ini tentang gunung-gunung.

Gunung Yudono adalah salah satu pusat dari penyembahan gunung di Dewa sanzan (“tiga gunung Dewa”) di distrik Yamagata. Ketiga gunung itu adalah Haguro-san, Gas-san dan Yudono-san; Haguro-san mewakili kelahiran, Gas-san mewakili kematian dan Yudono-san mewakili kelahiran kembali, gunung-gunung itu biasanya dikunjungi sesuai urutan itu.

Dewa Sanzan adalah pusat dari Shugendo, suatu agama berdasarkan penyembahan gunung, campuran antara Buddhis dan tradisi Shinto. Para penganut Shugendo, melakukan tindakan pengorbanan diri sebagai jalan untuk mentransedensikan dunia jasmaniah.”

Aku berkata:
“ Lalu bagaimana jadinya penyembahan gunung menjadi pusat dari Sokushinbutsu, sebuah praktek memummikan diri seorang biksu?”

Haruki:
“Sokushinbutsu adalah salah satu praktek bertapa yang berat dari Shugendo, biksu-biksu berusaha memelihara badan mereka menjadi mummi melalui diet yang ekstrem dan meditasi. Para biksu percaya bahwa pencerahan dapat dicapai di dunia kini, dan mereka percaya bahwa dengan meninggalkan suatu jejak Buddha di dunia ini dalam wujud Sokushinbutsu, mereka dapat memberi keselamatan kepada penduduk di sini, bahkan setelah kematian sang biksu.”

Aku berkata:
“Bagaimana mereka melakukan mummifikasi diri itu?”

Haruki:
“Ritus mummifikasi diri ini sangat panjang dan sangat menyakitkan. Hal ini bukanlah pengorbanan yang sederhana dan biksu itu menghabiskan hidupnya setelah proses panjang penistaan yang tahap akhirnya berlangsung sekitar 1000 hari. Makanan para biksu terbatas pada apa yang bisa ditemukan di gunung, sepert kacang-kacangan, tunas tanaman, buah berrie, kulit pohon dan jarum pinus. Bentuk makanan ini disebut mokujikigyo, yang secara harafiah berarti “latihan memakan pohon”. Ketika sang biksu tidak mencari makanan ia menghabiskan waktunya bertapa di gunung. Makanan ini dimaksudkan untuk menguatkan mental, dan dari segi biologis diet yang berat dimaksudkan untuk menghilangkan lemak, otot dan kelembaban. Efek yang diharakan adalah mencegah pembusukan jasad setelah kematian. Sang biksu juga meminum the beracun dari kulit pohon (toxicodendron verniculum)  yang diharapkan akan mempercepat kematian dan membuat badan menjadi lebih tidak ramah terhadap bakteri dan parasite yang akan membusukkan jasad setelah kematian. Kulit pohon itu memiliki kadar racun yang sama tingginya seperti di tanaman poison ivy.

Setelah itu, sang biksu akan berhenti makan semuanya, minum sedit air asin selama 100 hari. Pada akhir periode ini, sang biksu dianggap imannya siap untuk masuk ke ‘nyujo’ atau diam dalam meditasi.  Ketika sang biksu merasa ajalnya mendekat, murid-muridnya akan menurunkannya ke dalam kotak pinus di bawah lubang sedalam 3 meter berdinding batuan, liang kubur yang ukurannya hanya cukup untuk sang biksu duduk dalam posisi lotus, posisi bertapa. Ruangan yang kosong diisi dengan arang untuk menyerap kelembaban.

Setelah liang kubur itu ditutup, dua pipa bambu akan ditanamkan dari atas untuk menyalurkan  air minum dan menyalurkan udara untuk ventilasi. Lonceng- lonceng diikat ke ujung bambu itu untuk sang biksu memberi isyarat bahwa ia masih hidup. Ketika bunyi lonceng tidak lagi terdengar, pipa bambu tersebut akan dicabut dan lubangnya ditutup.

Selama tiga tahun dan tiga bulan, jenazah sang biksu didiamkan di lubang bawah tanah itu. Kemudian pada akhirnya, jenazahnya akan diangkat ke atas. Kalau tidak ditemukan pembusukan, jasad itu ditetapkan sebagai Sokushinbutsu yang sebenarnya dan disemayamkan di altar di kuil.”

Aku berkata:
“Apakah proses ini tidak dianggap sebagai bunuh diri?”

Haruki:
“Walapun pada permukaannya tampak seperti bunuh diri, penganut Buddhis menganggapnya sebagai “peninggalan badan”. Setelah memadamkan hawa nafsu dalam dirinya, sang biksu dapat masuk ke nirwana tanpa halangan melalui proses kematian. Kematian itu adalah pengorbanan dirinya didorong oleh rasa cinta kasih untuk kebaikan semua mahluk hidup, misalnya ketika pandemik ganas mewabah. Namun bagaimanapun praktek ini dilarang oleh Restorasi Meiji, ketika Shinto dipisahkan dari Buddhisme dan ditetapkan sebagai agama resmi Jepang.”

Aku berkata:
“Bagaimana praktek Sokushinbutsu berawal?”

Haruki:
“Praktek ini muncul di Tiongkok diabad ke 4 dan di Jepang di awal abad ke 9. Menurut legenda Jepang, biksu Kukai,  yang juga dikenal sebagai Kobo Daishi setelah kematiannya, memasuki meditasi yang mendalam, atau ‘samadi’ di akhir hidupnya sampai kematiannya, di gunung Koya di Selatan Osaka. Biksu Kukai adalah pendiri Shingon, sekte marjinal Buddhisme. Tujuh puluh tahun setelah kematiannya seorang petinggi biksu berdasarkan perintah kerajaan pergi ke atas gunung Koya untuk membuka kuburannya dan menemukan bahwa tubuhnya masih utuh. Menurut legenda Kukai saat itu belumlah mati melainkan masuk ke dalam meditasi kekal dan masih hidup di gunung Koya, menunggu penampakan Maitreya, Buddha masa depan.”

Aku berkata:
“Lalu dimanakah tubuh Kobo Daishi disimpan? Apakah terbuka bagi publik?”

Haruki:
“Mausoleum dari Kobo Daishi terletak di gunung Koya dan adalah tempat yang paling suci di gunung itu. Pintu mausoleum tidak pernah dibuka kecuali setiap 50 tahun oleh uskup agung gunung Koya untuk memotong kuku dan rambutnya dan menukar pakaiannya yang kemudian dipakai untuk membuat amulet bagi pengikutnya. Kobo Daishi dianggap sedang bertapa di mausoleumnya, tapi jasadnya sama sekali tidak diperlihatkan. Jasadnya haruslah dianggap sebagai peninggalan yang mewakili “Esensi Buddha” yang murni yang menjadi peninggalan suci serupa stupa.”

Aku berkata:
“Tapi di kuil Churenji pengunjung dapat melihat jasad Tetsumonkai, walaupun dilarang pengambil foto.”

Haruki:
“Ya, jasad terkenal Tetsumonkai dipertunjukkan di kuil ini duduk di altar khusus. Telapak tangannya menghadap ke atas, ia diperagakan untuk bermeditasi terus menerus, sesuai dengan kehendaknya ketika ia memasuki ajal 2 abad yang lalu. Jasadnya dengan tengkorak yang seakan menyeringai diberi jubah oranye, syal berwarna ungu dan kecoklatan dan topi keemasan, bak seorang petinggi biksu. Ia memberi bukti akan seseorang yang berhasil dalam usahanya menjadi mummi yang dihormati.”

Aku berkata:
“Siapakah Tetsumonkai itu?”

Haruki:
“Tetsumonkai adalah yang paling terkenal di antara Sokushinbutsu. Dilahirkan sebagai Sunada Tetsu di tahun 1759, dia adalah pegawai sungai yang menggali sumur-sumur dan mengirim kayu dengan sampan, dan dikenal dengan temperamennya yang bagai badai. Suatu hari, menurut salah satu legenda, ia menikam kaki salah seorang petugas yang mengawasi konstruksi sungai karena ia naik pitam akan keangkuhannya. Cerita lainnya menggambarkan ia membunuh seorang samurai ketika berkelahi memperebutkan seorang pelacur favorit. Bagaimanapun, Tetsu melarikan diri dari pengejaran dan bergabung dengan sekolah biarawan di Churenji di umur 20 tahunan akhir menuju kehidupan prihatin dan kemudian ia diberi nama Tetsumonkai.

Selama hidupnya sebagai biksu, catatan menunjukkan bahwa Tetsumonkai banyak melakukan perjalanan dan dihormati sebagai orang suci yang dikaitkan dengan berbagai legenda. Suatu saat ketika mengunjungi Edo, ia menyaksikan mewabahnya penyakit mata yang menimbulkan penderitaan luar biasa. Ia lalu mencolok matanya sendiri dan mencabutnya dan mempersembahkannya ke sungai Sumida sebagai doa bagi penyembuhan. Riset selanjutnya menunjukkan bahwa memang mata kirinya tidak ada di mummi nya, yang dengan suatu hal mengkonfirmasikan cerita tersebut. 

Karya misionaris Tetsumonkai berpusat di daerah Shonai, namun monument-monumennya menunjukkan bahwa karyanya menyebar dari daerah kanto hingga Hokkaido. Dia dikenang mengumpulkan 10,000 pekerja voluntir untuk membangun jalan baru melalui sebuah gunung yang menghubungkan pelabuhan Kamo ke Tsuroka, untuk perdagangan. Ia meninggalkan dampak abadi bagi banyak orang saat itu. Hingga kini, ada festival-festival berdasaran ajaran Tetsumonkai.

Namun, mungkin legenda yang paling menarik adalah kisah lain yang berkaitan dengan mutilasi diri. Pada suatu saat, dikatakan bahwa Tetsumonkai dikunjungi seorang pelacur, mungkin pelacur yang sama yang ia perebutkan dengan sang samurai. Wanita itu berusaha meyakinkan Tetsumonkai untuk kempali ke kota bersamanya, tapi ia menolak. Untuk membuktikan keinsafannya dan dedikasi akan hidup dalam pengorbanan, dia menghilang dan lalu kembali dengan bungkusan kecil buat wanita itu. Di dalam nya adalah testikelnya yang penuh darah. Dia telah memotongnya.

Diceritakan bahwa testikelnya kemudian dianggap para pelacur di sebuah border local sebagai tanda keberungan, dan akhirnya dikirim ke kuil Nangakuji di Tsuruoka, dan kemudian dilestarikan sebagai relik. Seakan menambah bobot kebenaran legenda itu, memang ditemukan bahwa mummi Tetsumonkai tidak mempunyai testikel.

Aku berkata:
“Apakah benar kuil itu menyimpan testikel dari Tetsumonkai?”

Haruki:
“Benar, tapi tidak dipertunjukkan ke public. Golongan darah Tetsumonkai adalah grup B, demikian pula golongan darah yang ditemukan di testikel yang ditemukan di Nangakuji, menurut riset ilmiah masa lalu. Para akademisi saat itu menyimpulkan bahwa sangat besar kemungkinan bahwa testikel yang dikeringkan itu milik seorang yang bertahan akan siksa fisik yang ekstrim karena pelatihan meditasi sebelum dikuburkan pada usia 71.”

Aku berkata:
“Apakah mummi Sokushinbutsu sama dengan mummi di Mesir?”

Haruki:
“Tubuh para Firaun dibalsem di jaman dulu Mesir. Organ tubuh bagian dalam semuanya dikeluarkan dan diganti dengan tanaman yang berkhasiat. Tubuhnya jadinya hanyalah pembungkus daging kering dan tulang.
Sebaliknya, mummi Sokushinbutsu melestarikan organ tubuh bagian dalam karena proses pemummian berjalan ketika ia masih hidup dan organ tubuh bagian dalam dianggap pusat energi vital. Tubuh beberapa mummi di gunung Yudono, untuk melestarikannya dengan sempurna, kadang-kadang juga dilapisi dengan pernis kering. Sehingga pentingnya pemujaan akan Sokushinbutsu menyiratkan bahwa mummi itu bukan sekedar “sisa tubuh”, atau “cangkang kosong”, mummi tersebut dianimasikan, penuh vitalitas; yang berada di bumi dan juga di kelimpahan irwana.”

Haruki:
“Mummi Sokusinbutsu memberi jendela yang menarik ke dalam kebudayaan Jepang kuno melalui praktek-praktek belas kasih, kesulitan hidup, pengorbanan dan semangat religiositas yang intens untuk mendapatkan sukma Buddha dalam daging. Konsep Barat akan kematian fisik adalah suatu proses pemutusan kehidupan yang terjadi dengan cepat dan parah, sedangkan konsep Timur memandang kematian sebagai suatu proses yang bertahap.

Pemujaan Sokushinbutsu memelihara orang-orang suci hidup dan memberikan perspektif yang unik akan perjuangan manusia menggapai Nirwana, sebelum dan sesudah kematian.”


THE END

Wawancara ini adalah wawancara imajiner mengenai Sokushinbutsu

Sumber:







Minggu, 26 Juli 2020

Bangkok, di Wat Arun


Banyak candi-candi dan monumen terkenal di Bangkok  terletak di tepi sungai Chao Phraya yang mengalir melalui kota ini dan jalan terbaik untuk mengunjungi tempat-tempat ini adalah dengan kapal atau sampan bermotor. Kapal-kapal ini menawarkan alternatif yang menyegarkan terhadap lalulintas Bangkok yang terkenal kemacetannya.

Wat Arun, atau Temple of Dawn (Candi Matahari Terbit), adalah sebuah candi Buddhis (wat) yang paling terkenal di sepanjang tepi sungai Chao Phraya. Semula saya mengacaukan nama Temple of Dawn dengan ‘Temple of Doom’ filemnya Indiana Jones. Sebenarnya candi ini dinamai Temple of Dawn karena cahaya matahari yang muncul pertama kali di pagi hari akan mencerminkan candi itu di permukaan sungai Chao Phraya yang memberikan panorama yang indah seperti di filem. Juga, nama Temple of Dawn diambil dari nama dewa Hindu Aruna, penggiring Surya, matahari. ‘Arun’ dalam Bahasa Sansekerta berarti sinar dari matahari terbit, jadi Arun sering kali dipersonafikasi sebagai sinar matahari terbit dan menjadi simbol dari Fajar.

Ketika perperangan dengan tentara Burma dan Tiongkok di tahun 1760-an Kerajaan Ayutthaya hancur berantakan. Salah satu jenderal Siam yang berperang, Phya Taksin, memandang reruntuhan candi Wat Makok di saat matahari terbit dari sungai Chao Phraya dan bersumpah akan membangun kembali candi itu setelah perang berakhir.

Jenderal Phya Taksin memimpin pembebasan Siam dari pendudukan Burma di tahun 1767, dan kemudian menyatukan Siam ketika ia jatuh ke tangan beberapa komandan perang. Sebagai raja Siam, dia lalu menetapkan kota Thonburi sebagai ibu kota baru di dekat candi Wat Makok, karena kota Ayutthaya sudah hancur lebur dirusak oleh penyerbu. Dia membangun kembali Wat Makok dan menamakannya Wat Jaeng, Temple of Dawn. Candi ini sangat dihormati, dan untuk suatu saat menyimpan relik Buddhis yang paling agung,  Emerald Buddha.

Phya Taksin kemudian ditumbangkan dan dibunuh di dalam sebuah pemberontakan oleh seorang sahabat lama Maha Ksatriyaseuk yang kemudian dinobatkan sebagai Raja Pama I, pendiri kerajaan Rattanakosin dan dinasti Chakri, yang sejak saat itu berkuasa di Thailand.

Rama II memperbaiki candi Wat Jaeng yang telah ditinggalkan sejak Phya Taksin ditumbangkan. Dia menjalankan sebuah proyek pembangunan yang ambisius yang meninggikan pagoda utama dan merancang kembali penampilan candi itu.  Dia juga menamakannya Wat Arun, mempertahankan tema Fajar tapi menghubungkannya dengan India, asal muasal Buddisme. Pembangunan yang dimulai oleh Rama II diselesaikan oleh Rama III di sekitar tahun 1857. Ini adalah candi yang kita lihat saat ini, menjulang ke atas langit Bangkok sebagai salah satu bangunan yang paling ikonik di Thailand.

Mempertahankan gaya arsitektur Thai saat itu, Wat Arun penuh dengan ornamen. Pagoda yang besar di tengah, disebut Prang, sebuah pagoda berbentuk stupa, diilhami oleh tradisi arsitektur Khmer. Prang utama itu tingginya sekitar 80 meter, diliputi dengan kulit kerang laut  dan porselen berwarna. Prang ini dianggap sebagai Prang yang paling tinggi di Thailand dan dikelilingi oleh empat Prang kecil. Setiap sudut candi ini memiliki patung-patung dewa pelindung di ke empat arah mata-angin. Pengelompokan ke lima Prang ini mewakili Gunung Meru, gunung utama di dalam kosmologi Buddhis, berdasarkan kosmologi Hindu sebagai tempat tinggal para dewa dan pusat dunia fisik dan spiritual.

TAMAT

Sumber:
Wikipedia






Minggu, 28 Juni 2020

Bangkok, di kuil Wat Pho


Saya sudah beberapa kali berkunjung ke Bangkok, dan ini adalah kedua-kalinya saya berkunjung ke kuil Wat Pho. Walaupun kedua-kali, kunjungan ini menyegarkan kenangan masa lalu tentang kuil yang mengesankan ini. Cuaca panas dan lembab musim panas tidak menghalangi para turis untuk berdatangan ke kuil itu di pagi itu.

Setelah melalui patung rakasasa Penjaga dari Tiongkok, gerbang Tha Tian,  saya langsung menuju ke Kuil Reclining Buddha ( Sang Buddha Berbaring).  Seperti halnya kuil-kuil yang lain, kita harus membuka sepatu untuk masuk, dan semua pengunjung harus mengenakan pakaian yang sopan, artinya pundak tidak terbuka atau rok mini di atas lutut. Lalu, begitu masuk pintu masuk hal pertama yang kami temui adalah sisi kepala Sang Buddha yang ditopang dengan lengan kanannya. Ukuran kepalanya sangat menakjubkan, dan tubuh yang diperpanjang berbaring di sofa membuat patung ini makin mencengangkan. Tinggi patung itu 15 meter dan panjangnya 46 meter, diselimuti daun emas yang bersinar dengan anggun di ruangan yang agak gelap, membuat keberadaan patung itu mendominasi seluruh ruangan itu. Kami tidak pasti berapa berat patung raksasa itu, namun seluruh patung itu dibuat dari batu bata di tengahnya, yang dibentuk dengan semen sebelum disepuh emas.

Mata patung itu yang berbentuk seperti ikan terbuat dari mutiara-mutiara besar, terlihat seperti sedang merenung. Mahkota di kepala, atau Ushnisha, melambangkan Pencerahan sang Buddha, dan titik kecil di antara alis matanya , atau Urna, melambangkan mata ketiga, yang kemudian melambangkan pandangan akan dunia ilahi. Telinganya yang memanjang melambangkan penolakan dengan sadar akan dunia material guna mendapatkan pencerahan spiritual.

Setelah berjalan besama begitu banyaknya turis sepanjang 46 meter tubuhnya yang berbaring kami sampai ke kakinya, yang juga berskala raksasa, tingginya 3 meter dan panjangnya 4.5 meter! Tapak kakinya juga bertatahkan mutiara–mutiara besar, diukir dengan ukiran-ukiran yang menunjukkan simbol-simbol Sang Buddha. Di tapak kakinya, ada 108 tanda-tanda keberuntungan seperti bunga, penari, gajah putih, harimau, dan hiasan altar yang melambangkan Sang Buddha. Di tengah kedua kakinya ada sebuah lingkaran yang melambangkan chakra atau ‘pusat energi’. Banyak pengunjung hanyut dalam keindahan patung emas Buddha ini dan simbolisme yang dilambangkannya.
                                                                                                                                       
Meskipun Sang Buddha Berbaring tampak seperti seseorang yang lagi bersantai di sofa, hal ini sebenarnya mewakili saat-saat terakhir Sang Buddha di dunia ketika sedang sakit. Hal ini mewakili saat ia akan masuk ke parinirvana, nirvana setelah kematian. Ia berbaring di sisi kanannya dengan wajah yang penuh kebahagiaan bersandar di sebuah bantal ketika ia menopang kepalanya dengan tangan.

Guna memperingati perjalanannya ke akhirat, murid-muridnya membangun sebuah patung dengan posisi begitu. Sekarang patung itu adalah patung emas agung yang berada di dalam Wat Pho. Puluhan tahun kemudian, banyak versi patung Sang Buddha Berbaring dibuat di seluruh Asia Tenggara.


TAMAT

Sumber: Wikimedia






Jumat, 29 Mei 2020

Bangkok, di Pagi Hari


Bangkok di pagi hari mungkin lebih mencerminkan Bangkok yang sebenarnya, dan bukannya kesan turistik yang dimilikinya di siang dan malam hari. Hal itu tidaklah mengherankan, sebagian besar turis mencari tempat-tempat yang menarik di siang hari dan hiburan di malam hari. Tak banyak turis yang mau bangun pagi sekali untuk melihat penduduk Bangkok berbenah dan bergegas pergi ke tempat kerja, untuk menghindari kemacetan di jalan.

Lebih sedikit lagi turis yang bangun sebelum jam 6 pagi untuk melihat para biksu turun ke jalanan untuk menerima sedekah makanan untuk hari itu. Saya kebetulan bangun pagi di suatu hari dan pergi dengan kamera saya untuk melihat jalanan di pagi hari dan mengunjungi kuil Wat That Thong di pusat kota Bangkok, daerah Ekkamai, yang tidak termasuk di dalam itinerary kebanyakan turis.

Di jalanan dan di kuil Wat That Thong, saya melihat banyak biksu dengan jubah oranye berjalan-jalan dengan sebuah mangkok besar di tangan. Berdasarkan tradisi Buddhis Theravada, para biksu bangun pagi jam 4, lalu berdoa ke Buddha dan bermeditasi, lalu sarapan pagi yang ringan. Kemudian mereka turun kejalanan untuk mendapatkan sedekah makanan di daerah itu, kembali ke biara dan makan bersama sebelum tengah hari.

Para ibu telah terbiasa memasak makanan buat para biksu dan memberi sedekah sejak awal terbitnya Buddhisme lebih dari 2,500 tahun yang lalu. Khususnya, pemberian makan sedekah ini adalah tradisi Buddhis Theravada, yang merupakan mayoritas di Thailand, Kamboja, Myanmar, Sri Lanka dan Laos. Dengan memberi makan kepada biksu setiap hari, para umatnya akan memperdalam imannya, dan dengan berbuat demikian akan berguna untuk bagi santapan rohani mereka.

Jadi, pada hari itu saya berkenan untuk memberi sedekah makanan buat biksu-biksu, tapi kita harus ingat bahwa sebagian besar biksu-biksu itu adalah vegetarian. Makanannya sebaiknya sederhana saja, karena para biksu pada umumnya harus memakan makanan apa saja yang diberikan kepada mereka. Tapi makanan ini bukanlah ‘sedekah’ dalam pandangan dunia Barat. Hal ini lebih merupakan hubungan simbolis akan realitas spiritual dan untuk menunjukan kerendahan hati dan penghormatan di tengah masyarakat yang sekular. Memang, yang terbaik adalah makanan dari dapur kita, karena tujuannya bukanlah sekedar memberi makan kepada para biksu tapi juga untuk menunjukkan ketanpa-pamrihan pemberi dan komitmen terhadap kepercayaan. Hal ini adalah tugas duniawi para awam, guna memelihara hubungan langsung dengan sang Buddha.

THE END





Jumat, 08 Mei 2020

Hi Seoul Festival, Musik Pop


Musik populer Korea atau K-Pop sudah menjadi fenomena global yang menampilkan campuran melodi-melodi yang menarik, koreografi yang luwes dan efek-efek panggung. Suksesnya K-pop juga ditunjang oleh penyanyi-penyanyi yang menawan yang belajar dan berlatih selama bertahun-tahun di studio yang sangat meletihkan guna menyanyi dan berdansa dengan sinkronisasi yang sempurna. Lagu-lagunya biasanya berisi salah satu atau campuran dari music pop, rock, hip hop, R&B dan music elektronik.

Di bulan Oktober, ‘Hi Seoul Festival berlangsung di Gwanghwamun Square. Festival ini adalah pertunjukan kesenian yang besar untuk mempromosikan kesatuan internasional dengan memungkinkan orang-orang berkomunikasi melalui music dan pertunjukan-pertunjukan non verbal, melampaui batas-batas bahasa, ras dan usia. Ratusan pertunjukan-pertunjukan diperagakan oleh team-team dari seluruh dunia selama festival seminggu ini.

Salah satu pertunjukannya adalah tentulah Pop band. Musik pop Korea sudah berada di Korea untuk beberapa waktu, tapi baru sekitar 10 tahun belakangan ini K-pop memasuki dunia musik mainstream. Muda-mudi Korea menyukai K-Pop bands dan berbangga bahwa K-pop mulai dihargai di taraf internasional.

TAMAT





Jumat, 17 April 2020

Wawancara dengan Sulli


Photo: Wikimedia
Aku datang langsung dari airport Incheon menuju kantor pusat yang baru dari SM Entertainment di daerah Cheongdam-dong di Seoul untuk berjumpa dengan aktris dan penyanyi yang sangat populer, Sulli. Sebenarnya aku tercengang mendapatkan tugas mewawancarai bintang ini, berhubung publikasi kami biasanya tidak mencakup artikel-artikel tabloid seperti ini. Tapi, hei, jaman berganti dan kita musti beradaptasi dengan jaman dong.

Bagaimanapun, akan sangat menggairahkan untuk bisa bertemu dengan para selebritis di episenter industry K-Pop, penggerak “Hallyu” atau “Gelombang Korea”. Kalau untung aku bisa menjenguk BoA, TVXQ, Super Junior, SNSD,  Shinee, f(x), EXO, Girls’ Generation, dll. Ikuti saja suara jeritan para fans dan aku akan dapat menemukannya.

Sulli nampak sebagai seorang gadis yang berperilaku sederhana, terlalu sederhana bagi persona panggungnya. Berpakaian seperti seorang gadis-gadis Korea biasanya, kuning dengan sulaman bunga yang melekat  ke roknya, seakan ia akan pergi ke pesta perkawinan. Senyumannya manis, yang ia tutupi dengan tangan kalau tertawa, seperti gadis ABG pemalu yang betemu dengan cowok keren. Sangat berbeda dengan caranya berpakaian dan bergoyang di panggung, di dalam video klip ataupun sebagai pecandu narkoba yang diperankannya di filem terbarunya.

Kulitnya seputih susu, seperti gadis-gadis Korea pada umumnya, rambutnya dicat pirang kemerahjambuan, seperti selebritis Korea lainnya. Matanya keliatan rada sembab seperti yang bisa kita lihat di banyak foto-fotonya dan di Instagram, kelopak mata bawahnya yang sembab itu agak kehitaman, mungkin karena dipoles kosmetik, aku tidak pasti.

Bagaimanapun, sangat menyenangkan untuk bertemu dengannya, dia sangat bersahabat dan santai, tidak ada tingkah ‘diva’ dalam kelakuannya. Juga tidak tampak seperti Sulli gadis yang kontroversial yang menggemparkan sosial media dengan penampilannya dan pernyataan-pernyataannya, melainkan dia berbicara dengan lemah lembut dan sering tersenyum dan tertawa.

Kemudian, setelah tegur sapa, aku langsung menelusuri check list yang kupersiapkan, dengan tidak membuang waktu:

“Sulli, anda memulai karir anda sebagai trainee di umur sangat muda belia 11 tahun di tahun 2004, dan lalu memerankan Putri Seonhwa dari Silla di filem drama Ballad of Seodong. Selanjutnya, sebagai aktris muda anda bermain di dalam filem drama seperti ‘Vacation’, ‘Punch Lady’, ‘Babo’. Kemudian anda berdebut dengan group gadis penyanyi f(x), sementara itu anda meneruskan karir akting anda dan  mencapai puncaknya di drama televisi serial ‘To the Beautiful You’. Di dalam drama serial ini anda mendapat penghargaan New Star Award di tahun 2012 untuk peran anda sebagai gadis yang menyamar sebagai laki-laki agar bisa bertemu idola atletik, yang diperankan Choi Minho dari Shinee. Apa yang saya bisa katakan, karir yang sangat mengkagumkan, Sulli, anda pastinya mendapat beban yang sangat berat untuk meraih semua itu saat usia muda.”

Sulli:
“Saya kira karena saya aktif semenjak masih muda belia, tak banyak orang yang menganggap saya sebagai anak belia. Ada banyak saat-saat yang menakutkan. Jika mereka menyuruh saya sesuatu, saya turuti saja, saya bahkan tidak mengetahui mengapa saya harus begitu. Pada suatu saat, saya mulai berpikir, ‘Mengapa saya harus melakukan ini?’ Saya tidak merasa hal ini sesuai bagi saya. Saya berada dalam banyak tekanan. Saya sering merasa ketakutan.”

Aku berkata:
“Anda meninggalkan group gadis penyanyi f(x) di tahun 2014, diberitakan karena kelelahan mental dan fisik dan agar anda bisa focus di karir akting anda. Apa yang sebenarnya terjadi…?”

Sulli:
“Waktu itu saya berjuang melawan intimidasi internet, dan berjuang melawan gangguan kepanikan, fobia sosial selama seluruh kehidupan saya….. Saya mengalami gangguan kepanikan sejak usia belia. Ada saat saat ketika orang-orang terdekat saya…. Teman-teman dekat saya meninggalkan saya. Orang-orang melukai saya, jadi segalanya runtuh. Saya tidak merasa sebagai seorang yang memiliki seorangpun yang berpihak di sisi saya atau seorang yang mengerti keadaan saya.  Jadi karena itu saya rubuh. Saya ketakutan dan tak pasti akan masa depan saya, jadi saya rasa saya berusaha melindungi diri saya sejauh mungkin. Saya berusaha melindungi diri saya, jadi ada rasa mendesak. Tidak ada orang yang mendengar saya ketika saya menjalani masa sulit. Saya merasa saya dibiarkan sendiri di dunia.”

Aku berkata:
“Ada juga gossip yang mengatakan bahwa anda menarik diri dari dunia entertainmen karena tekanan gossip mengenai hubungan anda dengan Choiza dari Dynamic Duo. Kalian berdua kemudian mengkonfirmasikan hubungan kalian. Perbedaan usia 14 tahun antara anda yang ketika itu 20 tahun dan juga kesan akan Choiza yang kasar dan berandal menhancurkan image pop idol anda yang imut-imut – yang menimbulkan kemarahan para fans anda. Apakah Choiza adalah tipe ideal anda?”

Sulli:
“Tipe ideal saya adalah seorang yang bisa diandalkan, yang tidak bertingkah manis selalu dan mendengar apa saja yang saya katakan. Akan baik jika ia selalu berada di tempat yang sama.  Dan ia harus berambut lurus, pakaiannya rapi, seksi, dan seorang bermartabat dan berpikiran terbuka.”

Aku berkata:
“Dan Choiza berkata di sebuah wawancara bahwa tipe idealnya bukanlah wanita yang cantik atau muda. Dia tidak pernah tertarik kepada wanita yang cantik dan muda, namun dia berpacaran dengan intim dengan anda, Sulli. Anda berdua banyak persamaan. Dia juga berkata bahwa dia mengambil inspirasi dari hubungannya dengan anda. Dia bilang, adalah benar bahwa beberapa kenangan terpatri di lagu-lagunya. Salah satu lagu yang ditulisnya saat berhubungan dengan anda adalah ‘Eat, Do It, Sleep’ menerima banyak kritikan dari pemirsa Korea karena liriknya yang seksual dan sugestif, dan banyak orang menganggap bahwa lagu itu tentang anda.”

Sulli:
“Waktu itu saya biasanya mengunggah gambar-gambar dari kencan-kencan kami. Namun ketika saya mengunggah salah satu gambar ciuman kami, para haters menyerbu Instagram saya, berkata ‘Apakah anda harus mengunggah gambar ini?’, ‘Cepatlah kawin. Keliatannya kamu harus begitu.’
Tapi saya mengacuhkan apa yang mereka bilang. Saya sedang jatuh cinta dan saya ingin menunjukkannya. Mengapa saya tidak boleh menampilkan foto kami berciuman di Instagram?”

Aku berkata:
“Anda banyak disemprot hujatan untuk unggahan-unggahan anda di Instagram, yang dianggap banyak orang terlalu seronok. Di dalam beberapa foto anda, anda mengenakan pakaian dalam yang tipis, no bra, yang menonjolkan puting anda. Komentar-komentar apa yang anda terima dari para netizens tentang foto-foto ini?”

Sulli:
“ Bunyinya seperti, ‘Apakah kecantikan Sulli itu asli?’, ‘Kecantikan yang tercela’, ‘Aku tak bisa berhenti melihat walaupun aku berusaha untuk tidak melihat’, ‘Dia adalah figur publik. Apakah dia tidak bisa sedikit menahan diri?’ , ‘Kamu sangat ingin bertelanjang, hah?’, ‘Siapa sih yang berbuat begini? Siapa yang mengambil foto begini dan mempostingkannya?’, dan banyak lagi….”

Aku berkata:
“Di dalam Reality TV show Night of Hate Comments, di mana selebritis Korea berkumpul untuk membahas hujatan-hujatan di dunia maya dengan cara membacakan dan mendiskusikan komentar-komentar yang menghujat, anda bisa berbicara dengan tertawa ringan mengatakan bahwa anda duduk di show itu tanpa menggunakan bra. Mengapa anda memilih pakaia tanpa bra?”

Sulli:
“Itu adalah kebebasan individual. Bra tidak baik bagi kesehatan, karena ada kawatnya, bra tidak baik buat organ pencernaan, dan saya ada masalah dengan pencernaan makan. Karena lebih leluasa untuk tidak memakainya, saya tidak memakai bra. Saya rasa dengan begini rasanya lebih bebas dan cantik.  Saya juga menganggap bra sebagai asesori. Bra cocok untuk beberapa jenis pakaian dan kalau ada pakaian yang kelihatan tidak bagus kalau pakai bra, maka saya tidak memakainya.  Ketika pertama kali saya posting foto no bra saya, muncul banyak percakapan tentang hal itu. Saya ketakutan dan ingin bersembunyi, namun saya tidak bersembunyi karena saya ingin merubah pandangan masyarakat tentang hal itu. Dalam hati saya juga ingin berkata ‘Ini bukan masalah besar’. Saya mendengar bahwa kini semakin banyak orang pergi keluar tanpa mengenakan bra.”

Aku berkata:
“Apakah anda mengajukan pengaduan pidana ke pengadilan terhadap orang-orang yang menulis komentar-komentar yang menghujat anda?”

Suli:
“Ada, saya mengadukan seseorang ke pengadilan pidana. Tapi, saya kemudian mengetahui bahwa orang itu akan masuk ke perguruan tinggi terkenal dan usianya sama dengan saya. Kalau saya tidak bertindak lunak terhadap seseorang yang akan masuk perguruan tinggi yang bagus itu, orang itu nantinya akan menjadi bekas narapidana. Orang itu akan mendapatkan masalah ketika mencari pekerjaan. Saya menerima surat yang panjang dari pemberi komentar menghujat itu. Katanya dia menyesal dan tidak menyadari bahwa hal ini menjadi hal yang besar, dan ingin melampiaskan stressnya pada saya. Saya merasa segan menjebloskan sesorang seusia saya yang nantinya menjadi bekas narapidana dan saya memutuskan untuk bersikap lunak kepadanya.  Tapi, kalau saya harus mengajukan pengaduan lagi, saya tidak akan bersikap lunak …… (tertawa, menutupinya dengan tangan).”

Aku berkata:
“Kontroversi lainnya yang anda timbulkan adalah tentang komentar ada mengenai pembatalan undang-undang anti aborsi di Korea Selatan. Pada tanggal 11 April 2019 pemerintah menganggap undang-undang anti aborsi yang telah berumur 66 tahun sebagai tidak konstitusional. Undang-undang anti aborsi ini membikin perbuatan aborsi sebagai kejahatan kiriminal dan dapat dihukum sampai 2 tahun penjara.”

Sulli:
“Pada hari itu, saya mempostingkan sebuah foto bunga-bunga di Instagram dan mengatakan,  ‘Perundangan aborsi sebagai kejahatan telah dibatalkan. Ini adalah hari yang patut dihormati. Berilah pilihan kepada semua wanita.”

Aku berkata:
“Mempertimbangkan bahwa isu aborsi itu selalu kontroversial, ada baiknya bagi para selebritis untuk mungkin lebih menahan diri dalam menunjukan perasaan anda. Walaupun isu ini bukanlah isu yang asing bagi dunia Barat, kepercayaan Korea yang konservatif dan kebudayaannya menyebabkan anda dicaci-maki oleh publik.”

Sulli:
“Maaf, saya tidak ingin memberi komentar lebih lanjut tentang pendirian saya mengenai masalah ini.”

Aku berkata:
“Ada orang-orang yang mencurigai anda menggunakan obat bius setelah melihat foto-foto Instagram anda, dimana pupil mata anda meredup. Apakah betul?”

Sulli:
“Ada orang-orang yang mengunggah foto-foto untuk membandingkan pupil mata saya dengan foto-foto orang-orang yang benar-benar pencandu obat bius. Saya bermain di filem berjudul ‘Real’ dan ada adegan yang menunjukkan penggunaaan obat bius disitu. Saya banyak melakukan riset waktu itu dan menonton 5 filem-filem tentang obat bius dalam satu hari. Lalu, teman saya bilang:’ Apakah kamu Heath Ledger atau sebangsa itu?’ Saya bilang ‘Apakah saya tidak boleh berakting secara metodologis juga? Saya mempelajari ini agar saya bisa berakting dengan baik.’ Saya bisa ambil sehelai rambut saya sekarang untuk ditest apakah saya menggunakan obat bius.”

Aku berkata:
“Benar, pemeriksaan sel rambut adalah satu-satunya test narkoba yang bisa memeriksa pemakaian narkoba 90 hari sebelumnya. Tapi anda telah mencat rambut anda dan alismata…”

Sully:
“Kalau begitu saya ambil bulu kaki saya…. (tertawa, menutupinya dengan tangan). Saya tidak melakukan sesuatu yang illegal, saya bertindak bebas di dalam pagar-pagar hukum.”

Aku berkata:
“Anda menyebut filem ‘Real’, yang anda bintangi dengan aktor papan atas Kim Soo Hyun di tahun 2017, tapi filem itu sebenarnya gagal di box office. Menurut anda mengapa menjadi seperti itu?”

Sulli:
“ Plotnya yang rumit dan liku-likunya sulit dimengerti dan segala usahanya untuk mempesona para penonton gagal. Dalam kata-kata Kim Soo Hyun, filem itu sebenarnya bukanlah jenis filem yang orang-orang akan langsung menyukainya, jadi butuh waktu untuk menyerapinya. Tapi ulasan-ulasan para kritikus sangat melecehkan hingga membuat Kim Soo Hyun berlinang air mata waktu berpidato pada event promosi filem itu. Tapi air matanya tidak lama, dia dengan cepat menguasai dirinya dan menyelesaikan pidatonya.”

Aku berkata:
“Sebetulnya, adegan kematian anda di bak mandi karena overdosis dalam pelukan Kim Soo Hyun cukup menyentuh dan berkesan. Adegan-adegan yang anda mainkan di filem ini tidaklah banyak tapi mendapat komentar-komentar yang baik dari penggemar-penggemar anda. Jadi walaupun ‘Real’ banyak mendapat komentar negatif, anda berhasil memerankan suatu peranan yang tidak konvensional dan penuh risiko, yang telah membuka berbagai pintu-pintu bagi karir akting anda.
Tapi, entah bagaimana adegan yang menjadi viral adalah adegan permainan seks anda dengan Kim Soo Hyun yang eksplisit, buah dada anda yang bugil nampak disana, apakah adegan ini benar-benar perlu untuk cerita filem itu?”

Sulli:
“Ya, adegan-adegan seks yang explisit itu perlu bagi cerita filem itu. Saya pikir adegan itu tidaklah mudah. Adegan itu sangat menantang saya, dari segi akting dan dari segi lain. Adegan itu sukar dan saya membuat saya sangat khawatir, tapi hal itu menyenangkan. Saya rasa saya punya banyak ambisi dalam berakting. Hal itu berkembang ketika saya bermain di filem ini. Saya merasa meraih suatu prestasi ketika bermain di filem itu.”

Aku berkata:
“Setelah anda meninggalkan group gadis penyanyi f(x) di tahun 2014 untuk beristirahat, karena keadaan anda yang lelah mental dan fisik dari komentar-komentar menghujat terus menerus dan gossip-gossip palsu, di tahun 2017 anda memperbaharui kontrak anda dengan SM Entertainment untuk beberapa filem-filem dan program lainnya. Lalu di tahun 2019 anda kembali ke dunia K-Pop idol, berdebut solo dengan single album Music Video berjudul ‘Goblin’. Anda membantu menulis lirik dari tiga lagu-lagu disini.

Lagu ‘Goblin’ bercerita tentang monolog internal seorang wanita, yang anda perankan, bercakap-cakap dengan tiga kepribadian, yang satu baik, yang satu lainnya buruk dan yang ketiga adalah diri anda sendiri yang normal. Mereka bercakap-cakap agar mereka dapat diterima oleh wanita itu karena dia memiliki gangguan mental menghadapi realitas. Dengan segala kontroversi yang menyangkut anda belakangan ini, orang-orang dengan mudah menganggap bahwa lagu ini memang berbicara tentang anda dan pengalaman anda.”

Sulli:
“Ketiga kepribadian itu bukanlah monster atau goblin, dan wanita itu bahkan menghibur mereka dengan berkata ‘janganlah takut, saya hanya ingin bilang: hai.’  (bersenandung lagu itu)…. Janganlah terlalu kejam pada saya, saya bukanlah orang jahat (mencoba tersenyum di dalam kesenduannya). Janganlah salah mengerti.

Tahukah anda, nama saya Sulli, Sul berarti salju, dan Li berarti bunga dari pohon Callery pear yang berasal dari China dan Vietnam, bunganya putih kecil-kecil dengan 5 daun bunga, jadi saya mungkin akan ber-reinkarnasi menjadi bunga yang walaupun kecil, memiliki vitalitas penuh.”

Aku berkata:
“Terima kasih Sulli buat wawancara yang menarik ini, tapi saya ada permintaan terakhir, bolehkah….ehm…. saya memeluk anda…?”

Sulli bilang “Tentu saja” dengan senyum manis dan meraih untuk memeluk. Wanginya  seperti aroma mawar dari parfum ‘Romance’ dari Ralph Lauren……

TAMAT
Ini adalah wawancara imajiner untuk mengenang Sulli.

Sumber: