Cari Blog Ini

Sabtu, 26 September 2020

Bangkok, di Grand Palace

Apalagi yang bisa dikatakan tentang istana Grand Palace di Bangkok, sebegitu banyaknya hal-hal yang dapat dilihat dan difoto, patung manusia serupa hewan, dinding-dinding dan atap yang cemerlang keemasan, taman-taman, lukisan-lukisan, tiang-tiang menjulang, stupa keemasan, barisan Garuda yang tak berujung, dan tak lupa menyebut Emerald Buddha yang sangat dihormati. Tidak mengherankan bahwa Grand Palace menjadi pusat seni budaya Thailand selama berabad-abad dan dianggap sebagai acuan bagi segala jenis kesenian Thailand. Istana ini dianggap sebagai cermin dari identitas Thailand.


Ketika Raja Rama I memerintahkan pemindahan ibukota ke distrik Phra Nakhon di tahun 1782, dia mendirikan Grand Palace sebagai pusat kerajaan yang baru. Dia mengambil inspirasi dari istana di Ayutthaya, ibukota Siam yang lama, yang dihancurkan tentara Burma di tahun 1767.  Istana Grand Palace diletakkan dengan strategis di tepi sungai Chao Phraya untuk meniru istana di Ayutthaya. Tata ruang Grand Palace, yang merangkum area seluas 213,677 m2, juga meniru istana lama di Ayutthaya dengan lapangan-lapangan, tembok-tembok, gerbang dan benteng yang terpisah. Berbagai zona di kompleks istana ini mencakupi the Outer Court, the Central Court, dan the Inner Court dan juga Kuil Emerald Buddha. Untuk mendapatkan material yang diperlukan untuk membangun Grand palace, Raja Rama I memerintahkan rakyatnya untuk pergi ke Ayutthaya yang sudah hancur, untuk mencabut dan memngambil batu bata dan batuan-batuan lainnya yang dengan susah payah dikirim dengan kapal kearah hulu sungai untuk membangun istana yang baru itu.

Bagian dari kompleks Grand Palace, kuil Wat Phra Kaeo (Kuil Emerald Buddha) adalah kuil yang paling sakral di Thailand dan rumah bagi Emerald Buddha. Chaophraya Chakri, yang kemudian menjadi Raja Rama I, mengambil Emerald Buddha dari Vientiane ketika ia menaklukkan kota ini di tahun 1778. Dia membangun kuil dan mengabadikan Emerald Buddha di situ sebagai simbol kembalinya kebangsaan Siam.

Kisah sejarah dan mitos patung ini menciptakan kepercayaan yang penting mengenai Emerald Buddha. Dipercayai bahwa patung ini melindungi sebuah kerajaan, kota mereka atau ibukota. Jika seorang raja turun tahta dengan paksa atau dikalahkan di suatu peperangan, Emerald Buddha akan dirampas dan diletakkan di ibu kota pemenang peperangan. Patung ini dianggap memiliki kekuatan spiritual dan dijadikan ikon yang sangat penting bagi rakyat Thailand.

Tapi saya tercengang melihat Emerald Buddha yang legendaris ini tampak begitu kecil, tingginya 66 cm, yang bertengger di ketinggian pada sebuah panggung setinggi 9 meter yang hampir mencapai langit-langit kuil itu. Emerald Buddha, yang diukir dari sebuah batu tunggal jade berwarna hijau keabu-abuan, ditinggikan dari kepala pengunjung sebagai tanda penghormatan. Anda juga musti duduk dengan kaki yang mengarah ke belakang sebagai tanda penghormatan.
Bagi saya yang paling mengesankan dari Kuil Emerald Buddha adalah tembok-tembok luarnya yang penuh dekorasi. Tembok-tembok itu dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding dalam pemerintahan Raja Rama I yang menampilkan adegan-adegan dari Ramakien, yang merupakan versi Thailand untuk epic Hindu, Ramayana. Di dalam Ramakien, nama-nama, kebudayaan, alat-alat perang dan bahkan topografinya dihubungkan dengan kerajaan Thailand. Rama yang merupakan inkarnasi dari dewa Hindu Wisnu, di dalam Ramakien dia adalah inkarnasi dari Buddha. Kerajaannya Ayodhya di dalam epic Ramayana digantikan dengan Ayutthaya, ibu kota purba dari Thailand.

TAMAT

Sumber:






Jumat, 04 September 2020

Bangkok, di Siam Paragon


Sepanjang jalanan di Bangkok, kita bisa melihat bahwa kota ini adalah surge konsumerisme. Papan-papan iklan ada dimana-mana, besar dan terang benderang, mengiklankan bisnis-bisnis dari Samsung hingga Toyota. Bahkan bangunan-bangunan tinggi ditempeli dengan papan-papan iklan raksasa. Dalam satu hal iklan-iklan itu tampak mengagumkan.

Juga di stasiun kereta metro, anda tak bisa menjadi bosan menunggu kereta layang karena ada banyak layar-layar iklan warna warni dengan wajah cantik para artis menawarkan kosmetik, jus buah, dan, tentu saja, berbagai pakaian. Kelihatannya para ‘influencers’ ini seperti mengikuti kita kemana saja seperti para pedagang asongan di jalanan menawarkan barang dagangan mereka, dan mengejar anda kala anda tidak memberi perhatian kepada mereka, mulai ketika anda menunggu kereta hingga anda sampai ke tujuan. Dan, iya, bahkan di dalam kereta ada banyak layar televise menampilkan iklan-iklan. Para artis di situ merupakan penjaja dagangan virtual, dengan senyum lebar dan gigi putih, menari dan melompat-lompat dengan dinamis yang mengikuti anda kemana saja, kontras dengan para pedagang asongan jalanan dengan pakaian kusut, muka terbakar matahari, yang menawarkan barang dengan wajah iba seakan mengemis.

Ketika kereta layang tiba di stasiun persimpangan Siam, baiklah kita lupakan para pedagang asongan itu, karena kita tiba di shopping mall Siam Paragon, suri teladan (paragon) segala shopping mall. Menempati salah satu lokasi persimpangan yang paling sibuk di kota ini, shopping mall ini mengambil keuntungan akan lokasinya yang unggul dengan menjadi jalur penting bagi distrik-distrik di sekitarnya. Menurut Arcadis, perusahaan yang merancang bangunan ini, disainnya mencerminkan tingkat kemewahan yang dibayangkan team Arcadis dengan sebuah atrium kaca yang dramatis yang berfungsi sebagai gerbang utama ke mall ini. Mungkin prestasi terbesar arsiteknya – dan tantangannya – adalah bagaimana mereka mengolah segi-segi sirkulasi dan tata letak shopping mall ini.

Di dalam, tempat ini merupakan taman-impian bagi butik-butik kelas atas yang berjejer di lobby, mulai dari Louis Vuitton, Hermes, Chanel, diikuti oleh Fendi, Bottega Venetta. Jendela-jendela toko didekorasi menarik dengan fashion- fashion mutakhir dari butik tersebut, pakaian-pakaian, tas-tas, sepatu-sepatu dll. Yang dijajakan sesuai musim, saat itu temanya adalah ‘Tahun Baru Anjing’. Jadi, anjing-anjing hiasan dipajang bermain dengan tas, sepatu, dompet di dalam kaca jendela toko itu. Kita bisa bilang bahwa jendela-jendela toko di situ tampak dibuat cukup kreatif dengan sendirinya, jendela-jendela itu menghasut selera konsumtif kita. Kita bisa lihat beberapa turis dari Tiongkok mengantri dengan taatnya di muka pintu Louis Vuitton.

Mewah adalah istilah meremehkan bagi shopping mall ini, karena mall ini tidak hanya diisi oleh butik-butik kelas atas, tapi juga diisi oleh showroom bagi mobil-mobil yang sangat mahal dan ekslusif, Rolls Royce, Aston Martin, Bentley, Lamborghini, Maserati, Ducati dan Porsche. Mobil-mobil itu tampak sangat sempurna, namun di dalam showroom kaca tampak seperti mobil mainan berskala besar dalam kotak kaca. Dan para pramuniaga nampak bosan sendiri karena tidak orang yang masuk ke dalam showroom itu.

Tapi itu belum semua….., ada Ocean Aquarium di basement, multiplex cinemas dengan 15 layar besar, Thai Art Gallery, KidZania untuk anak-anak belajar dan bermain, toko buku Jepang Kinokuniya, Paragon department store,  sebuah super market dan tidak lupa menyebutkan restoran-restoran kelas atas. Bahkan ada sebuah Opera Theatre di lantai 5!

Ketika menuruni escalator saya bisa mendengar di latar belakang lagu dari REM ‘Shiny Happy People’:

‘Whoa, here we go…
Everyone around, love them, love them.
Put it in your hands, take it, take it.
There's no time to cry, happy, happy…’

‘Ayo, inilah dia….
Semua orang disekitar kita, cintailah mereka, cintailah mereka.
Taruhlah di dalam tanganmu, ambillah, ambillah.
Tak ada waktu untuk menangis, berbahagia, berbahagia….’

TAMAT