Cari Blog Ini

Minggu, 24 November 2019

Seoul, di Myeongdong Malam Hari



Di sore hari ketika jalanan di Myeongdong ditutup bagi lalu-lintas, gerobak-gerobak jajanan mulai berdatangan menyajikan berbagai panganan Korea. Ketika lampu-lampu neon dihidupkan asap dari panggangan menyerbak ke udara memancing air liur.  Anda dapat menelusuri gerobak demi gerobak memilih panganan berdasarkan bentuk dan aromanya.

Namun, tidak seperti Bangkok di mana anda dapat makan makanan besar di pinggir jalan, di Seoul jenis makanan piggir jalan lebih menjurus ke jajanan yang bisa dimakan sambil berdiri atau jalan, melayani pendusuk Seoul yang berjalan dari subway ke subway.

Di tengah padatnya ruas-ruas jalan di Myeongdong, gerobak-gerobak makanan berbaris di antara hotel-hotel, toko-toko kecantikan, restoran , café dan kelab malam. Myeongdong adalah tempat tujuan utama bagi wisatawan di Seoul. Dari gerobak ke gerobak anda bisa mencari panganan, namun anda harus mencicipi dulu Tteokbokki, yang merupakan adonan nasi dengan ikan, telur, bawang dan saus merah asam manis. Padatnya adonan nasi itu dikombinasikan dengan aroma bawang dan biji-biji wijen membuatnya panganan sedap di malam yang sejuk. Harga satu porsi Tteokbokki antara 2000 ke 4000 KRW.

Photo by 709 K, Wikimedia
Bersama Tteokbokki yang agak pedas, anda bisa memakannya dengan Gimbap, nasi gulung seperti lemper atau sushi, yang berisi nasi ketan – ‘bap’ yang digulung dalam lembaran rumput laut – ‘Gim’, diisi dengan berbagai bahan seperti sayuran, ikan tuna, stick kepiting, acar dan berbagai variasi. Seporsi hidangan dari 3 atau 4 potongan Gimbap berharga sekitar 1500 KRW.

Photo by cutekirin, Wikimedia

Lalu anda bisa mencoba Hweori Gamja atau kentang tornado yang merupakan panganan jalanan yang sangat populer di Korea. Kentang Tornado merupakan kentang goring yang dipotong spiral seperti tornado, yang kemudian dicelup kedalam berbagi macam saus. Sausnya bisa keju, sambal merah, madu atau gula merah. Kentang Tornado ini panganan yang sedap, mudah dimakan sambil jalan-jalan di pasar malam Myeongdong.

Photo by tragrpx, Wikimedia
Setelah makan berbagai panganan anda lalu dapat makan menu utama, Sundae. Jangan salah ini bukan ice cream, ini adalah sosis darah ala Korea. Walaupun keliatannya tidak merangsang selera, warnanya hitam, ternyata rasanya enak. Sundae ini berasal dari periode Goryeo, yang dicatat dalam buku masakan abad 19, dan dimaksudkan untuk dihidangkan untuk acara- acara khusus. Tergantung penjualnya, sosis darah ini dapat diisi dengan daging, bihun dan berbagai sayuran. Seporsi harganya sekitar 6000 KRW.


Photo by SauceSupreme, Wikimedia

Nah, sekarang anda pasti sudah kenyang, kalau belum cobalah Ppopgi. Ini adalah gula-gula jaman dulu, biasanya dijual dan dibuat oleh generasi tua Korea. Ppopgi ini terbuat hanya dari dua bahan yakni baking soda dan gula, namun teknik dan timing adalah factor-faktor penting untuk pembuatan ppopgi yang benar. Setiap ppopgi memiliki berbagai pola cetakan, dulu ketika anak-anak dapat memakan ppopgi di sekitar pola cetakan tanpa mematahkannya, mereka akan mendapat ppopgi gratis dari penjualnya. Cobalah, ppopgi itu lebih keras dari pada penampilannya.

Photo by도자놀자 , Wikimedia

TAMAT



Sabtu, 02 November 2019

Seoul, di Myeongdong Pagi Hari


Kita bisa katakan bahwa jalanan Myeongdong, pusat perbelanjaan di Seoul, adalah wajah Korea modern yang dikendalikan oleh “Hallyu” atau “Gelombang Korea” yang merupakan istilah kolektif bagi perkembangan yang fenomenal dari kebudayaan pop Korea yang mencakup segalanya mulai dari musik, filem, drama samapai ke pakaian dan makanan.  Gelombang Korea mulanya menyebar ke Tiongkok dan Jepang sekitar tahun 2000, dan kemudian ke Asia Tenggara dan beberapa Negara di dunia di mana ia terus memiliki pengaruh yang kuat dan menjadi salah satu fenomena kebudayaan terbesar di Asia.


Saat kita berjalan di Myeongdong kita bisa melihat berbagai tanda mata dari K-pop dan K-drama di toko-toko, mulai dari calendar, cangkir kopi, ke T-shirts, kaus kaki dan bahkan keripik kentang, hampir segalanya menampilkan wajah selebritis terkemuka negara ini. Kita bisa melihat wajah dari group K-pop Girl’s Generation, Blackpink, atau boy group Exo , Super Junior  di baju dan alat tulis menulis, dan kita bisa melihat jejak-jejak dari  Winter Sonata, Autumn in My Heart, atau My Sassy Girl dipajangan untuk mengingatkan kita akan filem drama TV Korea yang terkenal.
                      
Masa kini kebudayaan pop Korea juga mempengaruhi baik wanita maupun pria di Asia untuk menyukai produk pemeliharaan kulit dan make-up buatan Korea.  Yoona dari group Girls’ Generation yang terpilih sebagai model bagi Innisfree, dan Taeyeon yang juga dari Girls’ Generation mewakili Nature Republic , dengan image bersih mereka berhasil meluncurkan kosmetik-kosmetik buatan Korea menjadi merek yang dikenal secara global. Maka di tahun-tahun ini kosmetik Korea mendobrak Asia di hampir semua penjuru. Dari face masks dan body cream sampai ke cairan pembersih dan hand lotions, Korea memiliki produk-produk kecantikan yang merupakan salah satu yang terbaik dan yang paling terjangkau di pasar. Oleh karena itu baik toko kosmetik kecil maupun departments store di Myeongdong selalu dipenuhi pembelanja yang mencari produk-produk dari The Faceshop, Innisfree, Missha, Nature, Tony Moly, Etude House dsb.

Myeongdong yang dalam bahasa Korea berarti “terowongan terang” atau “gua terang” barangkali  image-nya telah dibentuk oleh kesan terang, mengkilat dan terpoles dari tempat ini dan idola-idola pop  Korea. Anda bisa melihat dimana-mana iklan-iklan di “terowongan terang” ini menampilkan wajah-wajah cantik mempromosikan pakaian dengan merek mewah, kosmetik yang memuluskan dan aneka asesori pakaian.   Baik di billboard yang gemerkap maupun di layar TV, jaket, topi dan baju bisa menjadi ikonik ketika dipakai oleh Chanyeoul dari Exo, Nayeon dari Twice atau Suga dari BTS. Department Store yang bertingkat-tingkat dan toko-toko kecil tumbuh menjamur bertindak sebagai panggung yang mengajak anda untuk membeli pakaian-pakaian bergaya mutakhir, dengan seorang K-pop idol dari karton berdiri  menyambut anda di muka pintu.

TAMAT








Sabtu, 19 Oktober 2019

Tokyo, di Disney Parade


Melihat rombongan orang yang datang ke Disneyland di Tokyo, kita bisa mengerti mengapa Disneyland mengklaim dirinya sebagai “The Happiest Place on Earth”, tempat yang paling berbahagia di dunia. Semenjak sebelum jam buka, banyak pengunjung yang dengan bersemangat bergegas keluar dari kereta metro untuk melihat bagaimana tempat ini sesungguhnya. Mengharapkan bisa masuk lebih awal melalui pintu selamat datang, semangat mereka punah dengan cepat setelah melihat panjangnya antrian besar-besaran di pintu masuk.  

Semua harus berbaris di antrian panjang, anak-anak, remaja, orang tua dan kakek nenek, sementara mereka mulai merasakan suasana Disney selagi mengantri.  Mickey Mouse yang riang dalam tuxedo hitamnya menyambut anak-anak di taman depan, dan senyuman mereka terrekam dalam foto-foto yang mereka buat. Jadi pengalaman mengantri yang panjang tidaklah begitu buruk, terimakasih atas keramahan dan efisiensi Disneyland, dan juga atas sifat orang-orang Jepang yang santun. Antrian panjang bahkan terlupakan ketika para pengunjung masuk gardu utama Disneyland menuju dunia yang berbeda, dunia kecil di mata anak-anak seperti yang diceritakan buku cerita dan filem-filem.

Tapi kita bisa melihat bahwa sebenarnya jumlah anak kecil jauh lebih rendah dari jumlah pengunjung remaja dan dewasa, mungkin karena para remaja memiliki mobilitas yang lebih tinggi untuk jalan-jalan sedangkan anak-anak harus ditemani orang tua mereka. Tentunya Disneyland menyadari angka-angka ini dan menyediakan berbagai macam jenis atraksi untuk para remaja yang memfokuskan pada aktivitas, menunggang, pertualangan, dan musikal yang romantis. Selanjutnya para pengunjung dewasa dapat menikmati nostalgia masa kecil dengan bertemu dengan Winnie the Pooh, Donald Duck, Sleeping Beauty setelah menunggangi perjalanan di Pirates of the Caribbean,  Indiana Jones  dan Jurassic Park.

Salah satu atraksi yang paling popular di Disneyland adalah parade siang hari yang menampilkan kereta raksasa dengan tokoh-tokoh Disney menari mengikuti irama musik.  Tema parade saat itu adalah “Happiness is Here”, kebahagian hadir di sini, yang menegaskan klaim Disneyland sebagai “The Happiest Place on Earth”. Demikian dikatakan, siapa yang tidak bisa gembira menonton parade yang diawali oleh Goofi di atas kuda, diikuti ketiga babi kecil yang menarik mainan drum Mickey Mouse, dan Pinocchio yang memimpin sebuah kereta magis dengan Sleepy dan Grumpy sebagai penumpang. Donald Duck, Daisy Duck, Pluto, Chip 'n' Dale menunggangi sebuah kereta besar yang mempunyai carousel, canopies, dan Minnie Mouse melambai di belakangnya.  Lalu kereta terakhir menampilkan Mickey Mouse dan Minnie Mouse di atas sebuah balon udara raksasa yang terbuat dari balon-balon Mickey Mouse. Balon-balon itu dipegang oleh Goofy, dan Mickey dan Donald melambaikan sampai jumpa lagi kepada para pengunjung.

Parade itu pastilah penuh kenangan, tokoh-tokoh yang riang menari mengikuti irama musik yang berulang-ulang sesuai dengan apa yang Walt Disney pernah katakan:” Tertawa adalah abadi, imajinasi tidak pilih umur, dan impian-impian adalah untuk selamanya.”

TAMAT


Sabtu, 10 Agustus 2019

Dubai, di Dubai Mall


Mendarat di Dubai jam enam pagi, selagi masih sejuk, di bandara kelas dunia, membuat kita serasa sampai di sebuah oase modern di tengah gurun pasir.  Debu- debu pasir tidaklah terlihat, tak seorangpun nampak berkeringat, dan bau parfum yang dipakai oran-orang local berpakaian jubah tradisional menyerbak di udara,  seperti bau asap hio.

Ketika keluar dari bandara, saya menyadari bahwa bandara itu terletak di dalam kota, mobil-mobil mulai mengisi jalanan dengan cepat karna orang-orang ingin menhindari macet yang akan datang beberapa jam lagi, dengan teriknya hari.

Tak lama kemudian saya bisa melihat mengapa Dubai dikatakan pusat bisnis Timur Tengah, Hongkong nya Timur Tengah.  Penghasilan dari minyak membantu mempercepat pertumbuhan kota ini, yang sudah menjadi pusat perdagangan, namun sumber minyak dari Dubai terbatas dan tingkat produksinya rendah: saat ini kurang dari 5% penghasilan emirat ini berasal dari minyak.  Perekonomian Dubai sekarang bergantung pada penghasilan perdagnagan, pariwisata, penerbangan, real estate dan jasa keuangan. Hotel-hotel , restoran-restoran, taman rekreasi dan tempat tamasya pantai yang paling ekstravagan semua dibuat agar kita dapat menikmati hidup yang terbaik yang bisa ditawarkan.

Salah satu tujuan untuk plesiran dan berbelanja adalah Dubai Mall yang menarik pembeli kaya dari seluruh penjuru dunia.  Menampilkan lebih dari 1,200 toko retail, termasuk jaringan Bloomingdale dan Galeries Lafayette, ratusan tempat makan dan minum, yang mencakup area lebih dari 1 juta m2.  Dubai Mall adalah shopping mall terbesar kedua di dunia, kompleks raksasa dilengkapi dengan akuarium,   virtual-reality theme park, ice skating berukuran olimpiade, pertokoan emas dan ratusan boutique dan restoran mewah.

Dubai Mall dirancang seperti sebuah kota, dengan jalan-jalan pedestrian internal, simpang-simpang dan bangunan penting, yang terintegrasi dengan disainnya dan di atur dengan boulevard yang lebar dan lurus yang berujung ke persimpangan yang dihias dengan indah menghubungkan banyak toko-toko.  Anda bisa berjalan di bawah sejuknya udara dari Sega ke Kidzania ke bioskop, dari Versace ke Gucci di Fashion Avenue ke toko-toko elektronik dan minum, makan di banyak restoran dan kafe di antaranya. Setelah capek belanja dan kenyang makan anda bisa nonton filem di bioskop-bioskopyang nyaman. Rasanya benar-benar berjalan di tengah kota di oase di tengah gurun pasir, di mana anda tak melihat seorangpun haus atau berkeringat walaupun udara di luar mall di atas 40 derajat C.

TAMAT






Minggu, 21 Juli 2019

Malam Ave Maria di Lourdes



Penulis Perancis yang terkenal, Emile Zola, mengunjungi Lourdes pertama kalinya di September 1891 dan terkesima oleh banyaknya pejiarah yang mengunjungi Lourdes. Dia kembali di bulan Agustus tahun berikutnya yang merupakan saat yang paling sibuk bagi pejiarah, dan meluangkan waktu dengan pejiarah, melakukan wawancara dan pengamatan yang menjadi basis bagi novelnya ‘Lourdes’ yang terbit di tahun 1894.

Dalam kunjungannya Zola menyaksikan prosesi Ave Maria di malam hari dan menggambarkannya di novelnya: “Tigapuluh ribuan cahaya lilin membakar di sana, tegar dan senantiasa berkeliling, mempergegas kilauannya di bawah keheningan mega di mana planet-planet telah pucat. Kilauan cahaya menanjak bergandengan dalam kekangan lagu yang tak henti-henti. Dan gaung nyanyian yang tak henti-henti mengulangi refrain ‘Ave, Ave, Ave Maria’ itu seakan suara percikan api lilin-lilin dalam doa-doa agar jiwa-jiwa dapat diselamatkan.”

Setiap hari di antara bulan April dan Oktober di jam 5 sore pejiarah Lourdes menjawab permintaan Santa Maria dengan berkumpul untul Prosesi Ekaristi. Prosesi itu bermula dari altar udara terbuka di lapangan rumput di seberang sungai dari gua (grotto) dan diawali oleh pejiarah-pejiarah yang sakit dan diikuti oleh pastor, uskup atau kardinal yang memanggul Ekaristi Suci.

Lalu pada jam 9 malam para pejiarah dari berbagai tempat di dunia berkumpul untuk prosesi Ave Maria Lourdes. Prosesi itu bermula dari dekat gua dan berlanjut disekitar boulevard sampai di Rosary Square.
Prosesi ini diawali oleh para pejiarah yang sakit yang diikuti oleh para voluntir yang memanggul replica patung Santa Maria. Fokus dari prosesi dengan cahaya lilin ini adalah doa rosario.  Kelima dari sepuluh butiran rosario didoakan, diasanya dalam berbagai bahasa. Lagu Lourdes Hymn juga dinyanyikan, dalam bait-bait dengan berbagai bahasa. Mungkin ada doa-doa permohonan yang diikuti dengan lagu Laudate Mariam.

Dalam keheningan malam, setiap pejiarah membawa permohonan pribadinya ketika lagu Ave Maria dinyanyikan ber-ulang-ulang selama prosesi yang disinari cahaya lilin. Seperti yang ditulis Elie Zola di novelnya: “Gaung suara yang tak henti-henti mengulangi refrain 'Ave, Ave, Ave Maria’ itu menembus kulit seseorang sungguh-sungguh. Saya merasa seperti seluruh tubuh saya pada akhirnya ikut menyanyikannya.”

TAMAT




Kamis, 11 Juli 2019

Ave Maria di Pagi Hari di Lourdes


Lourdes adalah sebuah kota dagang kecil yang terletak di kaki pegunungan Pyreness di Perancis. Berada pada ketinggian 420 meter dan di lokasi sentral yang dilalui sungai Gave de Pau yang mengalir deras. Setiap tahun, Lourdes didatangi jutaan pejiarah, mereka datang untuk melihat lokasi dimana peristiwa penampakkan  yang tersohor dialami seorang gadis kecil bernama Bernadette Soubirous.


Para pejiarah bisa berkunjung untuk dibersihkan dari dosa-dosa dan disembuhkan dari penyakit mereka. Dipercayai bahwa air dari muara air dari gua itu bisa menyembuhkan orang-orang yang sakit.  Jutaan pengunjung dating ke Lourdes setiap tahunnya dengan harapan agar disembuhkan. Salah satu alas an bagi pejiarah untuk berkunjung ke Lourdes adalah untuk mandi di mata air, untuk berendam sepenuhnya dan minum untuk pembersihan dan penyembuhan. Permandian itu adalah symbol pembaptisan dan juga penguatan iman para pejiarah.

Sejarahnya berawal di tanggal 11 Februari 1858, ketika Bernadette Soubrious, gadis local berumur 14 tahun, pergi keluar dengan saudarinya Toinette, dan seorang kawan Jeanne, untuk mencari kayu api dekat gua di lokasi itu. Sekonyong-konyong, seorang wanita menampakkan diri mengenakan jubah putih cemerlang yang diikat dengan pita biru; tubuhnya diselebungi kerudung putih panjang sampai ke kakinya. Wanita itu kemudian memperkenalkan diri sebagai “the Immaculate Conception” yang merupakan salah satu gelar Santa Maria.

Santa Maria kemudian menampakkan diri 18 kali ke Bernadette, dan pada tanggal 25 Febuari Santa Maria meminta gadis itu untuk menggali sebuah mata air di tempat yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Santa Maria menyuruhnya “Pegilah dan minum dari mata air dan cucilah dirimu di sana.”  Walaupun tempat itu berlumpur, keesokan harinya, dari tanah itu mengalir air yang jernih. Tak lama kemudian dilaporkan adanya penyembuhan dari air yang diminum darinya, dan sejak saat itu banyak orang disembuhkan dari pembasuhan dan minum air itu.  Mata air Lourdes menjadi terkenal karena mujizat-mujizat yang dihubungkan dengannya.

Hal yang amat menonjol di mata para pengunjung awam adalah banyaknya orang-orang sakit dan cacat yang hadir di Lourdes. Semua yang didera oleh hidup dapat menemukan sekadar penghiburan di Lourdes.  Resminya, 80,000 an orang sakit dan cacat dari berbagai negeri dating ke Lourdes setiap tahun. Walaupun menderita penyakit atau cacat, mereka merasa berada di surga kedamaian dan suka cita.


TAMAT




Sabtu, 29 Juni 2019

Wawancara dengan Giuseppe


Photo: Wikimedia
Aku beruntung “dianugrahi” wawancara dengan Giuseppe, dia terkenal sebagai seorang yang sangat tertutup, yang menganggap para wartawan, biografer, dan juga tetangganya di Busseto, sebagai orang-orang yang suka mencampuri urusan orang, yang terhadap rasa ingin tahu  mereka ia harus melindungi diri. Jadi, aku menerka bahwa aku dapat mewawancarai dia karena dia menganggap aku sebagai wartawan yang tidak terlalu terkenal, bukanlah seorang yang suka mengendus-endus dan bukan pula tipe tukang gosip, makanya dia kira aku tidaklah akan menimbulkan kesulitan baginya. Tapi, kupikir bagaimanapun aku musti hati-hati untuk tidak bertanya terlalu mendalam tentang ikhwal pribadinya.

Jadi sesuai perjanjian, aku bertemu dengannya sehabis pertunjukan opera Un Ballo in Maschera (Sebuah Pesta Dansa Bertopeng) di Bolshoi theatre di Moscow. Kami duduk disebuah café dekat Karl Marx square  di malam yang dingin di bulan April.

Aku membuka percakapan:
“Saya terheran-heran bahwa anda mau datang ke Moscow untuk menyaksikan salah satu opera anda, apa yang mendorong anda sekonyong-konyong datang ke sini?”

Giuseppe:
“Bolshoi theatre di Moscow memiliki sejarah yang panjang sebagai penyelenggara berbagai opera perdana yang bersejarah. Sayangnya kebakaran besar terjadi di tahun 1853 yang menghancurkan seluruh bangunan, teater itu harus ditutup selama tiga tahun untuk perbaikan, dan membuka pintunya lagi setelah renovasi pada saat yang tepat untuk upacara pengangkatan Tsar Alexander II.  Lalu teater ini kena bom di tahun 1941,  lalu direnovasi beberapa kali karena berbagai kerusakan. Rekonstruksi terakhir berlangsung selama 6 tahun dan di tahun 2011 teater yang telah diperbaiki itu membuka pintu kembali. Jadi saya gembira datang ke sini untuk menyaksikan Bolshoi yang baru yang menjadi ajang pertunjukan opera Un Ballo in Maschera.”

Aku berkata:
“Saya melihat bahwa Alessandra Premoli  dan Davide Livermore mengarahkan pertunjukan opera ini dengan sangat baik, dengan panggung yang diperkaya oleh layar digital yang impresif  oleh Gio Forma dan video desain oleh D-wok.  Tertampak burung-burung gagak yang berterbangan dan hinggap menunggu mangsa sebagai latar belakang digital yang didominasi hitam dan putih itu, yang menghantui para warga dengan ramalan buruk dari sang dukun Ulrica.

Pertunjukan malam ini membuka mata saya akan pengalaman baru. Hal itu membuat opera semakin menarik, yang dapat membawa penonton yang muda belia, member alternatif-alternatif  bagi seniman kreatif dan para teknisi, dan mungkin juga mengurangi biaya.”

Giuseppe:
“ Saya hanya bisa berharap lebih banyak. Layar digital itu bisa sangat indah, tapi bisa juga mengalihkan perhatian penonton.  Sebenarnya tergantung pada produksi macam apakah pertunjukan itu. Tentunya sangat cocok untuk pertunjukan tertentu tapi secara keseluruhan saya memilih pertunjukan opera yang tradisional. Tapi produksi- produksi modern tertentu bisa  mendapatkan manfaat dari  layar digital ini. Yang jelas tidak seorangpun bisa bilang layar digital itu selalu harus dipakai, atau jangan pernah dipakai.”

Aku berkata:
“Anda terkenal dengan kebesaran anda, mencari jalan untuk berbicara kepada penonton yang tak terbatas, dan metoda anda untuk meresapkan diri anda seluruhnya ke dalam karakter-karakter  lakon anda. Anda tidak pernah menggubah musik hanya demi music, setiap nada memiliki implikasi dramatis yang sesuai. Adegan-adegan yang paling luar biasa dalam karya anda adalah adegan di mana suara-suara yang bersatu bersama menjadi suatu paduan yang terpendam seperti suara-suara di akhir “Un Ballo”, yang terlambungkan oleh kebesaran spiritual seorang yang sedang sekarat.”

Giuseppe:
“Adegan itu terjadi ketika Riccardo mendekati ajalnya, ia mengaku kepada Renato: ‘Engkau harus mendengar saya, isterimu masih suci: dalam pelukan kematian, ketika Tuhan mendengar kata-kata aku, aku bersumpah tentang itu (Ella è pura: in braccio a morte Te lo giuro, Iddio m’ascolta)’.  Riccardo yang sedang sekarat itu mengakui, bahwa walaupun ia jatuh cinta kepada Amelia , isteri Renato, Amelia tidak pernah melanggar sumpah perkawinannya. Lalu ia memperlihatkan kepada Renato surat perintahnya agar kedua suami isteri itu dipindah ke Inggeris, sebagai tanda Riccardo mengampuni Renato dan para pemberontak. Para kerumunan meratapi kehilangan akan gubernur yang baik hati itu sementara Renato dirundung penyesalan.”

Aku berkata:
“Salah satu opera anda yang paling sukses adalah La Traviata, yang berarti “wanita yang terjatuh” atau “seorang yang salah jalan”  dan dalam konteksnya memberi konotasi hilangnya kemurnian seksual. Hal ini mewakili keadaan jamannya ketika hubungan seksual di luar perkwainan dianggap tak bermoral dan kumpul kebo menjadi bahan skandal.

Saat itu Paris, di dalam dunia orang kaya dan berkuasa aturan sosial mengikat semua orang untuk memiliki gaya hidup yang benar pada permukaan, namun di bawahnya terdapat dunia lain di mana para bangsawan bisa menikmati melimpahnya kekayaan mereka termasuk berteman dengan berbagai wanita,  para wanita penghibur yang diharapkan juga menemaninya pergi ke teater dan opera.”

Giuseppe:
“Cerita opera ini adalah sebuah subyek masa kini. Saya telah bertekad untuk menggunakan opera untuk meraih simpati bagi yang terbuang, jenis-jenis orang yang kita hindari ketika berpapasan di jalanan. Seperti kisah “The Lady of the Camellias” karya Alexandre Dumas yang novelnya dan dramanya menjadi dasar opera ini,  saya ingin memprotes eksploitasi wanita, dan membuatnya  dalam bingkai kontemporer.”

Aku berkata:
“Memang, di dalam La Traviata anda bukan hanya memanggungkan kisah yang penuh tangisan, tapi anda juga menempatkanya dalam musik kontemporer; waltz dan polka yang waktu itu merupakan music-musik yang mengiringi kenikmatan pelampiasan nafsu dari minuman keras dan sensualitas. Yang paling termasyur adalah Brindisi drinking song di babak pertama, Alfredo bernyanyi waltz “Libiamo” – “marilah mabuk”, pada dasarnya.  Lagu itu adalah sebuah duet yang terkenal dengan paduan suara, salah satu melodi opera yang paling terkenal dan pilihan popular bagi pertunjukan penyanyi-penyanyi tenor termasyur.

Giuseppe, menirukan Alfredo dalam Brindisi, the drinking song :

“Libiamo, libiamo ne’lieti calici                    Marilah minum dari cawan-cawan kegembiraan
che la belleza infiora.                                      dihiasi kecantikan,
E la fuggevol ora s’inebrii                              dan waktu yang berkilas hendaknya dihiasi
                a voluttà.                                                             dengan kenikmatan.”


Aku berkata:
“Dibutuhkan kepribadian yang sangat kokoh untuk hidup seperti yang anda jalani; untuk memelihara pada saat usia senja minat yang segar, tekad yang demikian kuat untuk mencapai hasil. Memproduksi opera berarti negosiasi dengan seorang impresario, mendapatkan hak cipta dan mengedit naskahnya, mencari dan memilih penyanyi-pnyanyi, menggubah musiknya, mengawasi latihan-latihan,  memimpin beberapa pertunjukannya, menangani para penerbit, dan banyak lagi.  Apakah yang mendorong anda untuk begitu bersemangat memproduksi opera-opera?

Giuseppe:
“Jawabannya sebagian mungkin dapat diketemukan di latar belakang saya yang sederhana, asuhan orang tua yang sederhana. Ayah saya mempunyai sebuah losmen kecil dan toko kelontong di desa Roncole. Dia tidaklah kaya, tapi mampu untuk memberikan putranya pendidikan musik yang komplit.  Ayah mengatur saya belajar musik ketika saya berumur empat tahun. Ketika berumur baru sebelas tahun, saya menggantikan kedudukan guru saya, dengan gaji tigapuluh enam franc per tahun! Saya memiliki seratus franc ketika saya pergi 6 tahun kemudian, tapi selama itu saya jalan kaki setiap hari Minggu dan liburan dari Busseto, berjarak 3 mil, untuk pendidikan umum saya.”

Aku berkata:
“Di Busseto waktu itu ada seorang musikus amatir, bernama Barezzi. Dia menerima anda  di rumahnya di gudang, dan membolehkan anda untuk latihan piano. Barezzi mempunyai putri yang juga main piano. Dapat ditebak dalam situasi ini anda saling jatuh cinta dan menikah di tahun 1835.”

Giuseppe:
“Waktu itu saya miskin sampai-sampai saya harus menggadaikan perhiasan isteri saya untuk sewa rumah.  Margherita melahirkan dua anak, Virginia dan Icilio. Keduanya meninggal ketika masih kanak-kanak ketika saya mengerjakan opera saya yang pertama Oberto pada umur 26 tahun.

Malam perdana yang dipanggungkan di La Scala Milan di November 1839, Oberto cukup sukses dan teater impresario Bartolomuo Merelli cukup berminat untuk menawarkan kontrak untuk dua opera lagi.”

 Aku berkata:
“Anda menjalani kehidupan dengan lebih banyak saat-saat tragedy dibandingkan dengan yang bisa dihadapi kebanyakan orang . Sebagai seroang pemuda anda kehilangan kedua anak anda pada usia balita, dan isteri anda meninggal tidak lama kemudian di tahun 1840 karena encaphilitis. Hal itu terjadi ketika anda baru saja menerima permintaan untuk menulis sebuah opera komik, Un giorno di regno (Raja dalam Sehari) dan anda meneruskannya ketika hati anda terluka. Opera itu gagal dan kami tidaklah heran mengapa opera itu gagal.

Dengan kehidupan pribadi anda berantakan dan karya professional anda terhalang karena duka cita, anda terpuruk duduk dengan kegusaran dan terdiam untuk setahun atau lebih, tidak bertemu dengan siapapun, seakan mendeklarasikan bahwa hidup tak berguna untuk dijalani.”

Giuseppe:
“Saat itu saya sendirian!  Sendirian yang tak tergantikan!.... Keluarga saya telah musnah!... Dan untuk memmenuhi janji yang telah saya buat, pada saat yang paling keruh dalam kehidupan saya, saya harus menulis Un giorno di regno  yang kemudian tidak disukai penonton…. Tersiksa dengan kesengsaraan keluarga saya, yang diperberat dengan kegagalan karya saya, saya yakin bahwa seni tidak akan membawa penghiburan, dan saya memutuskan untuk berhenti menulis music!.....”

Aku berkata:
“Lalu di suatu hari di musim dingin yang suram di tahun 1841 setelah pertemuan kebetulan dengan Bartolomeo Merelli, impresario dari La Scala, dia member ada sebuah manuskrip untuk Nabucco karya Temistocle Solera.”

Giuseppe:
“Saya bawa pulang manuskrip itu, dan melemparkannya ke atas meja dengan agak kasar…. Ketika jatuh, buku itu terbuka dengan sendirinya; tanpa saya sadari mata saya tersorot ke halaman yang terbuka dan sebuah kalimat tertentu: 'Va pensiero, sull' ali dorate' yang berarti ‘Pergilah, kenangan, dengan sayap keemasan’.
  
Saya membaca kalimat-kalimat berikutnya dan sangat terhanyut, apalagi karena tulisan itu seperti sebuah kutipan dari Alkitab, bacaan yang selalu menghibur saya. Saya membaca dengan antusias bagian demi bagian tulisan itu. Lalu, dengan tekad untuk tidak akan menulis opera lagi, saya memaksa diri untuk menutp manuskrip itu dan pergi tidur. Tapi tidak ada gunanya – saya tidak bisa menghapus Nabucco dari kepala saya. Tidak bisa tidur, saya bangun dan membaca manuskrip itu, bukan sekali, tapi dua atau tiga kali, sehingga di pagi hari, saya hampir hafal manuskrip Solera itu. Namun saya tetap menolak untuk menggubah musiknya dan mengembalikan manuskrip itu ke sang impresario di keesokan harinya. Tapi Merelli tidak mau menerima sebuah penolakan  dan langsung memasukan tulisan itu ke kantong saya kembali dan, bukan hanya mengusir saya dari kantornya, tapi membanting pintu di hadapan saya dan mengunci dirinya di dalam.
Lalu lambat laun saya bekerja menulis musiknya, syair ini hari ini, besoknya yang itu, di sini sebuah nada, di sana seluruh bagian, dan sedikit demi sedikit opera itu tertuliskan, dan di musim gugur tahun 1841 tulisan itu selesai.”

Aku berkata:
“Kemudian tidak perlu dibilang apa yang terjadi kemudian, malam perdana Nabucco pada tanggal 9 Maret sukses besar, dan karya ini menjadi karya abadi anda yang pertama. Bagi anda opera ini menjadi titik balik dari keputusasaan menuju “Viva Verdi, Viva Verdi…….”.

Seakan lirik dari 'Va pensiero, sull' ali dorate' yang diilhami Mazmur 137:

‘atau biarkan Tuhan mengilhami konsert
Yang mungkin dapat menanggung kesengsaraan kita.’ “


TAMAT
Ini adalah wawancara imajiner mengenang Giuseppe Verdi.






Sabtu, 06 April 2019

Verona, di Aida



Di lakon kedua, pasukan Mesir di bawah pimpinan Radames,  berbaris dengan  kejayaan menuju gapura agung kota Thebes,  pulang setelah mengalahkan orang-orang Etiopia.  Pemain musik meniup terompet-terompet panjang mendahului pasukan Mesir menuju kota. Diikuti oleh para penari, melambaikan daun palem dan umbul-umbul, dan kelompok wanita Mesir berpadu menyanyikan :



 “Menarilah, para putra Mesir, berkitarlah,
Dan nyanyikan pujian kudus kalian,
Seakan putaran matahari di jalurnya
Menarilah bintang-bintang cemerlang malam hari.”

Makin banyak pasukan masuk, menyertakan para budak yang memikul persembahan bagi para dewa, lalu Radames muncul di atas kereta kencana keemasan.  Pada puncak perayaan, dia bertemu dengan Firaun, yang turun dari singgasananya untuk merangkulnya.

Aida adalah salah satu opera ciptaan Verdi yang paling masyur dan digemari.  Opera ini mencakup semua ciri khas Verdi – drama manusia; dilemma-dilema; musik yang sublim namun efektif; dan tentu saja lakon akhir yang dramatis. Opera ini berdasarkan kisah cinta yang terjadi di masa Firaun Mesir yang ditemukan di kertas papyrus dan ditulis kembali oleh Egiptologis berkebangsaan Perancis Augusto Mariette.

Aida, sebuah nama perempuan Arab yang berarti “pengunjung” atau “kembali”, mempertunjukkan bagaimana cinta dapat menjadi terlarang ketika ia dihapadi benturan dilema antara cintanya kepada pemimpin Mesir atau cintanya akan ayahnya dan tanah-airnya, Etiopia.  Melalui penggambaran pergolakan dilema yang  ganas antara cinta dan kewajiban ini, Verdi menjelajahi aspek berbeda dalam sebuah karya di mana perjalanan hidup perorangan ditakdirkan. Dengan mempelajari sejarah Mesir, musik dan geografi-nya, Verdi menggubah berbagai melodi Mesir secara harmonis.  Sang komponis mengembangkan  telinga yang tajam luar biasa akan efek-efek orkestra dan suasana teaterikal.

Opera ini berkisar tentang tokoh utama, Aida, seorang puteri raja Etiopia yang tertangkap dan dijadikan budak di mesir ketika terjadi perperangan antara kedua negara itu. Namun Aida dan pemimpin militer Mesir Radames keduanya berjumpa dan saling  jatuh cinta.

Radames, juga ditaksir oleh Amneris, puteri raja Mesir. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan, dan Amneris bahkan curiga bahwa memang begitulah keadaannya. Dia lalu mencurigai Aida, dia menjebak puteri raja Etopia itu untuk mempertunjukkan isi hatinya setelah Amneris mengatakan kabar palsu bahwa Radames telah mati dalam pertempuran.

Setelah Radames berhasil kembali dari perperangan sebagai pahlawan, sang raja berkata bahwa Radames bisa mendapatkan apa saja yang dia minta. Namun, permintaanya untuk  membebaskan Aida dan ayahnya, raja Etiopia Amonasro, yang menjadi tawanan perang, tidak dikabulkan.  Alih-alih, sang raja Mesir mengumumkan bahwa Radames akan menikahi puterinya Amneris dan Radames akan mewairisi tahta kerajaan.

Lalu Aida dan Radames berencana untuk melarikan diri bersama supaya mereka bisa kawin dengan bahagia tanpa tekanan dari kedua negara mereka, namun mereka tertangkap bersama. Sejak terpisah, Radames mengira Aida sudah lari menggalkan negeri itu, sementara ia dipenjara sebagai pengkhianat negerinya.

Setelah melaporkan rencana Radames yang ingin melarikan diri dengan Aida, Amneris sekarang merasa menyesal akan perbuatannya yang menyebabkan Radames dipenjara. Namun penyesalan ini tercampur kebenciannya terhadap Aida dan akan kenyataan bahwa Radames rela berkorban segalanya demi Aida. Amneris memanggil Radames untuk menghadap dan berkata bahwa jika ia bersedia menyangkal Aida, dia akan menyelamatkannya dari pengadilan para pendeta dan ancaman hukuman mati. Radames berkata bahwa sukmanya cerah dan ia tidak akan menyangkal cintanya kepada Aida. Ini membuat Amneris murka dan berkata bahwa tidak ada orang lain yang dapat menyelamatkannya selain dia. Tetaplah, Radames menolak untuk tunduk kepada permintaanya dan bersedia menghadapi kematiannya.

Lakon akhir opera ini  melikupi keaslian yang luar biasa. Radames berada di dalam gua pemakaman di mana ia akan dikubur hidup-hidup. Ketika dia berpikir bahwa dia tidak akan melihat Aida lagi, Aida tiba-tiba muncul. Mengetahui bahwa Radames akan dihukum mati di sini, Aida bersembunyi di gua makam itu  dan menunggunya agar mereka bisa mati bersama-sama. Radames sangat terperanjat pada mulanya namun kemudian bersama-sama keduanya mengucapkan selamat tinggal kepada dunia fana.

Ketika keduanya mengucapkan selamat tinggal kepada dunia fana, musiknya mengalun bak nirwana namun juga dengan penuh kejayaan, menyarankan bahwa keduanya akan bertemu lagi di nirwana. Musik nya kemudian menjadi trio di saat-saat akhir ketika Amneris bergabung dengan doa-doanya. Lagu Amneris memiliki nuansa damai saat ia berdoa bagi Radames, ia memohonkan “pace” (damai) baginya, dan mengulang-ulangi kata itu ketika opera ini berakhir dengan gumaman, “pace”….

TAMAT





Minggu, 10 Maret 2019

Verona di Il trovatore

Il trovatore (Sang Penyanyi) adalah sebuah opera dalam empat lakon dari composer Itali tersohor Giuseppe Verdi. Tema- tema mengenai obsesi, balas dendam, perang, cinta dan keluarga disampaikan melalui karakter-karakter yang menyajikan  peranan-peranan dramatis. Opera ini didasarkan pada drama  El trovador (1836) oleh Antonio García Gutiérrez, seorang remaja tujuhbelasan. Remaja ini membawa naskah dramanya ke sebuah teater, dimana latihan langsung diselenggarakan untuk drama itu. Untunglah, drama El trovador mendapatkan sukses yang fenomenal.

Operanya juga berhasil dari malam perdana, keberhasilan berkat kerja Verdi selama tiga tahun. Malam perdananya diselenggarakan di Teatro Apollo di Roma pada tanggal 19 Januari 1853. Keinginan penduduk Roma untuk mendengarkannya luar biasa. Pada malam sebelum pementasan, sungai Tiber meluap dan membanjiri seluruh lingkungan dekat teater itu. Walaupun demikian- dingin, lumpur dan ketidak nyamanan- sejak jam 9 pagi pintu Apollo dikepung oleh banyak penonton, dengan kaki mereka yang terendam air hingga mata kaki, dijepit, didorong, dan perebutan tempat untuk malam itu. Keberhasilannya tersebar cepat, bukan hanya di Itali, namun juga seluruh Eropa. Berbagai teater mementaskannya, untuk menjawab riuhnya permintaan para langganan dan anggota teater itu. Di Napoli ada tiga gedung pertunjukan mementaskannya pada saat yang sama. Jarang ada opera yang lebih beruntung dari itu.

Sekarang Il trovatore adalah salah satu dari opera-opera yang terkenal yang dipentaskan di Arena di Verona, yang setiap musim panas menjadi tuan rumah Verona Opera Festival. Akustiknya yang bagus membuat Arena di Verona panggung ideal bagi opera berskala raksasa seperti itu.  Pastilah ada sesuatu yang mempesonakan mendengar lagu-lagu aria yang melambung ke langit dari panggung dengan rakitan yang megah dan spektakuler.

Jalan cerita Il trovatore bermula dengan adegan pembakaran seorang ibu gypsy yang dicurigai menjalankan ilmu sihir, dan dibalas dendamnya oleh puterinya Azucena, yang melemparkan anak dari a orang yang menyuruh membakar ibunya ke dalam api yang sama. Dirasuki kekuatan gelap saat itu, dia salah melemparkan anaknya sendiri. Azucena teringat kejadian ini berulang setiap saat ia terbangun, ketika melihat lidah api, dan dalam bayang-bayangan. Namun hanya dia yang tahu kejadian sebenarnya.  Dia memelihara anak itu sebagai anaknya sendiri, dan menamakannya Manrico. Terus menerus dihantui permintaan ibunya pada saat sekarat untuk membalas dendamnya, Azucena menjalankan beberapa kejadian yang menjurus kepada kematian Manrico.

Ayah dari anak yang dibakar mencari pembalasan dan memaksa anaknya yang satu lagi, Count di Luna, untuk mengabdikan hidupnya untuk membalas kematian saudaranya. Tanpa mengenal satu sama lainnya kedua saudara itu, Manrico dan di Luna, bersaing untuk mendapatkan cinta dari Leonora, puteri raja. Namun Leonora telah jatuh cinta kepada Sang Penyanyi, yang tidak lain ialah Manrico, yang sering bernyanyi di muka jendelanya, sehingga ia menolak pendekatan-pendekatan dari Count di Luna.

Manrico dan di Luna tertakdirkan untuk bertentangan satu sama lainnnya, pertama sebagai pemimpin dari pihak yang bertentangan dalam perang, dan sekarang dalam usaha merebut hati Leonora.  Azucena tidak membuka identitas Manrico sampai ketika tusukan terakhir menghujam dan Manrico mati atas perintah di Luna. Azucena kemudian membuka rahasia bahwa lawannya adalah saudaranya sendiri, dan berseru bahwa ibunya akhirnya terbalas dendamnya.

TAMAT






Minggu, 03 Maret 2019

Verona, di Opera Arena


Baik sebagai pencinta opera, pencinta music atau hanya turis biasa di Verona, kalua anda punya kesempatan menyaksikan opera di Arena di Verona, janganlah lewatkan kesempatan ini. Pastilah ada sesuatu yang menakjubkan ketika mendengar aria-aria dari opera Aida membumbung ke langit dari panggung yang mewah dan spektakuler.

Menyaksikan sebuah opera di Opera festival di Arena di Verona adalah pengalaman yang luar biasa, menyaksikan pertunjukan yang kaya panggungnya , ansambelnya, orkestranya, lirik-liriknya, group penarinya, dan kostumnya yang membuat jutaan penonton dari berbagai bagian dunia terpesona selama lebih dari seratus tahun.

Festival Opera Verona berlangsung setiap tahun dari bulan Juni hingga Agustus. Hampir setiap hari dipertunjukan opera yang berbeda, sehingga anda bisa menikmati opera yang berbeda setiap malamnya. Dari “Aida” ke “Carmen”, “Nabucco”, “Turandot”dan “Madame Butterfly” kita bisa menyaksikan opera-opera yang paling terkenal di dunia.

Festival ini diadakan di amphitheatre Romawi yang berumur lebih dari 2000 tahun yang dikenal sebagai Arena di Verona yang teletak di jantung kota ini. Setelah koloseum di Roma  dan amphitheatre di Capua, arena Romawi di Verona adalah amphitheatre terbesar ketiga. Dengan ukuran raksasa 140 meter Panjang dan 110 meter lebarnya arena ini mendominasi Piazza Bra di bagian Utara.

Arena ini dibangun di tahun 30 masehi dan dibagun untuk pertandingan-pertandingan untuk menghibur pemerintah Romawi, seperti gladiator, perkelahian berdarah, balapan kereta kencana, hukuman mati publik, atau adu banteng.  Di jaman Romawi itu 20,000 penonton bersorak sorai dengan haus darah di arena raksasa ini. Masa kini masih sama, tidak banyak berubah semenjak 2000 tahun yang lampau. Di mana dulunya para gladiator bertempur hingga mati, sekarang para tenor dan soprano tangguh menghidupkan panggung dengan munculnya setiap penderitaan di dalam opera.  Opera tragis menyampaikan rasa kekejaman, belas kasih, ketakutan dan kesedihan. Mati demi cinta diperbolehkan, bahkan disanjung, namun pembunuhan karena dendam akan membawa balasan karma.

Festival Opera Arena yang kita kenal sekarang berawal dengan digelarnya opera besar “Aida” di tahun 1913 untuk memperingati seabad kelahiran Giuseppe Verdi. Sejak saat itu sebuah fenomena lahir: pertunjukan tahunan yang menggelar empat sampai enam opera skala besar selama tiga bulan. Arena ini dapat menampung sampai 15,000 penonton setiap pertunjukan, baik dengan tempat duduk yang nyaman  di tengah Arena, atau di banyak anak tangga batu yang mengelilingi panggung.

Ketika anda masuk ke Arena melalui salah satu dari banyak pintu masuknya dan menaiki tangga, anda akan merasa seakan berada di perbatasan dengan dunia lain. Opera adalah gabungan dari seni, drama musical, dipenuhi oleh lahu-lagu yang agung, kostum, orchestra music dan arak-arakan. Opera adalah media yang melaluinya cerita dan mitos disimak kembali, sejarah diceriterakan kembali dan imajinasi dirangsang.

Jadi, baik duduk di kelas bawah maupun di anak tangga batu bagian atas, anda bisa melihat panggung raksasa, menikmati pertunjukan, dan berseru: “Bravo!”

TAMAT





Sabtu, 23 Februari 2019

Verona, di rumah Juliet


 “Tidak ada dunia di luar tembok Verona,
Hanya api pencucian, siksaan, dan neraka itu sendiri.
Sehingga- dikucilkan adalaha dikucilkan dari dunia,
Dan pengucilan dunia adalah kematian.”

Begitulah kata-kata Romeo tentang Verona, di dalam drama Romeo dan Juliet dari Shakespeare.
Dia memilih mati daripada dikucilkan dan meninggalkan Verona. Karena di dalam tembok Verona tinggallah Juliet, kekasih hidupnya, bagi Romeo  hidup tanpa Juliet adalah seperti kematian. Begitulah tema drama ini, tentang cinta dan kematian.

Masa sekarang, kota ini masih dianggap sebagai kota tempat tinggal Romeo dan Juliet, Verona adalah panggung drama tragedi yang terkenal itu. Lokasi yang paling terkenal di kota ini adalah Casa di Giulietta, atau Rumah Juliet, yang terletak di Via Capello. Alkisah, inilah rumah keluarga Capulet, keluarganya Juliet. Di sinilah konon Juliet tinggal, dan sekarang menjadi museum yang didedikasikan buat Juliet. Di dalamnya terdapat perabotan yang khas keluarga ningrat abad ke 14, yang juga dilengkapi dengan bermacam benda keramik abad pertengahan.

Dari halaman tengah, kita dapat melihat balkoni yang terkenal di dunia- balkoninya Juliet.  Di balkoni kecil ini lah Juliet berdiri ketika Romeo menyatakan cintanya. Balkoni ini juga tempat Romeo dan Juliet merencanakan kejadian-kejadian yang berujung kepada kematian tragis keduanya. Di halaman tengah ini, tembok-tembok diseliputi surat-surat cinta, ditulis dalam berbagai bahasa oleh pengunjung dari berbagai jurusan di dunia. Mereka percaya bahwa jika mereka menulis di sini, hal itu akan membawa keberuntungan dan cinta mereka akan kekal.

Namun, hidup Romeo dan Juliet sendiri dimendungi oleh nasib buruk. Dari pembukaan drama itu telah dikatakan bahwa mereka akan mati, Romeo dan Juliet telah terjebak dalam nasib. Seandainya Romeo tidak ketemu Benvolio pada hari pesta dansa keluarga Capulet, Romeo tidak akan bertemu dengan Juliet.  Seandanya suruhan biarawan Lawrence ke Romeo tidak ditangkap, orang ini yang akan menjelaskan rencana Juliet pura-pura mati, Romeo  bisa menerima pesan ini. Dan seandainya Romeo sampai beberapa saat sebelum Juliet bangun, Romeo tak akan mengakhiri hidupnya sendiri.  Adalah nasib buruk yang membimbing ke akhir drama menuju tragedi dan kemuraman.  Akan tetapi, adalah gairah cinta mereka yang berapi-api yang mebuat cinta mereka kekal.

Di tengah halaman tengah berdiri sebuang patung tembaga dari Juliet yang jelita dan setia, dari Nereo Constatini. Menurut legenda, menyentuh buah dada Juliet yang sebelah kanan akan membawa nasib baik dalam percintaan. Namun, elusan sayang itu membawa nasib buruk bagi patung itu.  Elusan yang berulang-ulang oleh para turis, pengantin baru, anak-anak sekolah,  pasangan, menyebabkan lubang besar di buah dada kanan patung itu, pergelangan dan lengan, dan lubang itu makin melebar. Banyak orang yang penasaran menyelipkan surat –surat cinta dan kunci gembok melalui celah-celah di lengan dan buah dada patung tersebut, dengan harapan akan nasib baik dalam percintaan. Patung asli sekarang sudah di pindahkan, diperbaiki dan diletakan di dalam rumah Juliet di tahun 2014, untuk melindunginya dari kerusakan. Sekarang sebuah replika ditempatkan kembali di halaman tengah rumah Juliet.

Demikianlah Verona, sebuah kota di pinggir sungai Adige di Veneto, menjadi Kota Cinta, yang mengabadikan sebuah mitos dan lambat laun hidup kembali di tengah lapangan-lapangan abad pertengahan, melalui gang-gang dan hlaman tengah yang kelam. Di sini mudahlah berfantasi tentang cinta, peranan, karakter dan kejadian dari drama tersebut.  Mitos Romeo dan Juliet adalah jejak dari sebuah mimpi. Cinta adalah tema utama drama ini. Bedasarkan tema ini Verona Tourist Office menulis: ‘Se Ami Qualcuno Portarlo a Verona’ yang berarti : ‘Kalau anda mencintai seseorang maka bawalah mereka ke Verona.’

TAMAT







Senin, 07 Januari 2019

Wawancara dengan Pearl


Photo: Wikimedia
Ada satu restoran di Qingdao, kota di Utara Tiongkok, yang konon katanya sering dikunjungi Pearl ketika mampir di kota ini. Letaknya menghadap ke laut yang berombak teluk Qingdao, yang pantainya berpasir kerikil.
Aku berjanjian bertemu dengan wanita elegan ini di restoran itu. Pearl datang memakai baju kuning muda berbintik-bintik bunga kecil, rambutnya diikat rapi ke belakang dan ke atas. Senyumnya bersemai hangat, menghangatkan dinginnya Qingdao hari tu. 

Aku tidak membuang-buang waktu langsung bertanya:
“Terus terang saja, pada awal mula saya tidak terlalu berminat membaca ‘The Good Earth’ setelah membaca ringkasannnya. Selain itu Tiongkok masa kini bukan lagi negara yang asing kebudayaannya, dan banyak sifat-sifat mereka yang sudah umum diketahui masyarakat dunia, bahkan sifat-sifat demikian sudah menjadi gambaran stereotype masyarakat Tiongkok. Misalnya mengenai peran isteri yang harus tunduk kepada suami, pandangan bahwa wanita yang cantik kakinya harus kecil sehingga kakinya diikat sejak kanak-kanak, dan mengenai kehendak untuk memiliki anak lelaki untuk penerus marga keluarga dan perusahaannya, konsep banyak anak banyak rejeki, tradisi menghargai dan menghormati orangtua, mengenai perkawinan yang diatur orangtua,  dan sebagainya. 

Hal-hal tersebut tidak lagi mengherankan di masa kini dan tidak membangkitkan rasa ingin tahu, lagipula sulit membayangkan bagaimana seorang pengarang Amerika bisa menulis dengan baik kehidupan di Tiongkok. Namun kesan itu sirna seketika membaca beberapa halaman pertama buku itu, tentang bagaimana tingkah laku si pemuda Wang Lung ketika bangun pada hari perkawinannya dan siap-siap berdandan.”

Pearl, dengan tersenyum:
“ Adegan ini ini kalau dibikin filem, bisa komikal, menggambarkan bagaimana orang-orang di sana jarang mandi untuk menghemat air karna air sangat langka di situ, namun pada hari perkawinannya Wang Lung harus ‘merelakan’ memandikan seluruh tubuhnya dengan air dengan leluasa, karena pada hari itu seorang wanita akan melihat tubuhnya, yang belum pernah terjadi sejak ia dimandikan ibunya di masa kanak-kanak.”

Aku berkata:
“Sangat orisinil, dan anda dapat menggambarkan  kehidupan petani miskin di daratan Utara Tiongkok dengan hidup.  Sebagaimana bagi ayah Wang Lung minum air hangat yang dicampur daun teh adalah suatu kemewahan, biasanya dia minum air hangat saja, namun ia dipaksa Wang Lung dengan tertawa untuk minum karena hari tu adalah hari perkawinannya.”

Pearl, seakan melucu mengutip bukunya:
“ Teh nya akan dingin kalau tidak diminum’ kata Wang Lung, ‘Benar-benar’, kata orang tua itu setalah menyadari hal itu, dan langsung dengan lahapnya meneguk the panas tersebut, dia terjerumus kedalam kepuasan hewani, seperti anak kecil yang terpatok dengan makanannya.
Namun dia tidaklah terlalu pelupa untuk melihat Wang Lung menuang air secara leluasa dari tungku ke bak kayu untuk mandi. Dia menegakkan kepalanya dengan berkata kepada anaknya: ‘Wah air sebanyak itu cukup untuk menyiram sebuah sawah hingga panen.”

Aku berkata:
“Anda juga dengan sangat baik menggambarkan bagaimana ketergantungan para petani akan alam, tanah, cuaca, terjangan banjir, serangan burung-burung, air dan kebau pembajak sawah. Walaupun hal ini sudah umum diketahui, sudah suatu fenomena universal, namun anda menggambarkannya dengan mengesankan.”

Pearl, mengutip bukunya bab VIII:
“Pada musim kemarau akhirnya air di dalam kolam mengering dan berubah menjadi adonan tanah liat, dan bahkan air di dalam sumur turun sangat rendah sehingga isterinya, O-lan, berkata kepadanya: ‘ Kalau anak-anak kita harus minum and orang tua itu harus mendapatkan minuman hangatnya, maka tanaman harus dibiarkan kering.’ Wang Lung menjawab dengan marah yamg berubah menjadi isakan: ‘Namun mereka akan kelaparan kalau tanaman kelaparan.” Benarlah bahwa hidup mereka begitu tergantung pada tanah.”

Aku berkata:
“Selanjutnya, setelah semua beras habis di masa gersang yang panjang, mereka terpaksa membunuh dan memakan kerbau pembajak sawah yang sudah demikan kurus kering. Dan setelah semuanya dimakan habis, di musim dingin mereka terpaksa hijrah ke kota yang makmur di Selatan untuk bertahan dan mencari makan. Ternyata tidak semudah itu mendapat pekerjaan dan pendapatannya kecil. Setelah mendirikan gubuk-gubuk plastik di pinggir dinding kota, mereka hidup dari makanan ransum jatah sumbangan dermawan dan lalu mereka mengemis. Pengalaman mengemis ini anda gambarkan dengan sangat mengenaskan.”

Pearl:
“ O-lan, ibunya, berperan sangat baik dalam mendidik anak-anaknya mengemis. Dia belajar dari pengalaman masa kecilnya, dan begitulah ia mencari makan sebelum dijual sebagai budak. ‘Kasian tuan yang baik – kasian nyonya yang baik. Dengan hati yang baik – perbuatang baik untuk hidup di surga. Uang kecil, recehan yang anda buang – cukup untuk memberi makan anak yang kelaparan.’ Namun dasar anak-anak, mereka anggap itu main-main dan tertawa-tawa. O-lan terpaksa ‘mendidik’ mereka dengan menggebuki mereka sehingga menangis. Demikian dia mendidik anak-anak mereka mengemis, digebuki lagi kalau tertawa.”

Aku berkata:
“Kemudian setelah mereka kembali ke kampung halaman di Utara, kehidupan Wang Lung berubah sedikit demi sedikit menjadi makmur karena ditopang oleh kesuburan tanah, hujan yang berkecukupan, walaupun kadang-kadang ada angin ribut dan serangan burung dan serangga. Dia menabung uang hasil penjualan panen dan sedikit demi sedikit membeli tanah yang membuatnya memperluas sawah ladangnya.”

Pearl:
“Demikianlah biasanya orang yang semalkin kaya, dia sanggup menyewa buruh untuk bekerja di sawahnya, dia tidak perlu lagi bekerja berat di sawah, membajak, menanam bibit dan menuai.  Dia tinggal menuai hasil penjualan panennya. Dengan kekayaan dan waktu sengganngya datanglah rasa bosan dan kesepian, dan dengan kekosongan itu datanglah pula godaan dan hasrat untuk menikmati wanita lain karena isterinya O-lan tidaklah cantik. Dia terpesona ketika melihat wanita-wanita cantik di sebuah rumah hiburan, yang secantik wanita di lukisan-lukisan yang selama ini dia kira khayalan belaka.”

Aku berkata:
“ Dalam buku ini anda selain mencakup perihal kehidupan petani Tiongkok dengan baik, anda juga mencakup tema universal seperti kehidupan petani miskin yang menjadi kaya, yang kemudian mengkehendaki hal-hal yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya, sehingga ia  melampiaskan hawa nafsu dengan kekuasaan uang.  Juga universal adalah gelagat gagalnya putra-putranya untuk meneruskan usaha sang ayah yang mengolah sawah yang berlimpah-limpah, demikian pula hal pertentangan kelas atas dan kelas bawah dalam masyarakat agraris.”

Pearl:
“Ketika saya menulis di Tiongkok mengenai kebiasaan orang Tiongkok, tentang orang Tiongkok, saya menggunakan lidah Tiongkok…. Konesekuansinya adalah ketika…. Menulis tentang orang Tiongkok ceritanya bergulir dengan sendirinya dalam benak saya segenapnya dalam idom-idiom Tiongkok, dan saya secara harafiah menterjemahkannya sambil jalan.”

Aku berkata:
“ Dengan demikian anda bisa menulis dengan realistis mengenai kehidupan petani Tiongkok yang intim dengan alam. Gaya penulisan anda lugas dan sederhana, tidak berbunga-bunga. 
Tokoh utama wanitanya, O-lan isteri Wang Lung, tidaklah cantik, mukanya persegi, wajah yang jujur, hidungnya pendek, lebar dengan lubang hidung yang besar hitam, dan mulutnya lebar, ada luka di wajahnya. Matanya kecil dengan warna hitam yang membosankan, dan diisi dengan suatu kesedihan yang tidak jelas diungkapkan.”

Pearl:
“Yang paling disesalkan Wang Lung adalah telapak kaki O-lan yang besar karena tidak diikat dari kecil sesuai tradisi Tiongkok. Tapak kaki yang kecil dianggap sebagai ciri wanita yang menarik, sehingga sejak kecil kaki anak perempuan diikat, ini sangat menyakitkan lho, terutama buat anak-anak kecil. Tapi berkat tapak kakinya yang besar O-lan kuat berjalan dan bekerja berat di sawah membantu suaminya, sedangkan wanita dengan kaki yang kecil , tidak lebih dari 3 inci, tidak kuat berjalan dan bekerja.
Selain pekerja keras yang patuh kepada suami, O-lan adalah juga pilar keluarga itu, dialah yang banyak membuat keputusan-keputusan yang sulit, dan dia memikul keputusan-keputusan sukar ini dengan penuh ketabahan. “


Aku berkata:
“ Karakter yang luar biasa, dia sadar dia tidak cantik dan suaminya sebenarnya tidak mencintainya. Namun ia cukup bahagia karena dapat melahirkan beberapa anak laki-laki bagi suaminya. Tradisi Tiongkok sangat menghargai ibu yang dapat melahirkan anak laki-laki, karena anak laki-laki ini yang akan meneruskan nama keluarga dan diharapkan selanjutnya berbakti dan merawat kepada orang tuanya di usia lanjut.”

Pearl:
“Begitulah realitas kehidupan petani Tiongkok masa itu, dan mungkin pada umumnya demikian, urusan perkawinan dan berkeluarga menjadi urusan yang praktis. “

Aku berkata:
“ Saya juga mengamati dalam novel ini, tiadanya penggambaran roman cinta yang menggebu-gebu bak Romeo dan Juliet, tidak ada kata-kata mesra dan puisi yang mengesankan. Yang ada nafsu menggebu-gebu Wang Lun setelah bertemu wanita penghibur Lotus yang cantik mungil, yang jauh lebih cantik dari O-lan.  Wang Lung merasakan menemukan kemesraan cinta dengan Lotus yang kemudian di jadikan gundiknya, ia tidak dapat mendapatkan kemesraan ini dari O-lan. 
Namun hampanya rasa cinta dan kemesraan terhadap O-lan anda gambarkan dengan sangat mengesankan dalam adegan saat-saat terakhir O-lan yang menderita penyakit yang mematikan. Rasa hampa itu sangat mengesankan.”

Pearl, menggambarkan saat itu:
“O-lan mengigau dalam sakitnya:’Saya sadar bahwa saya jelek dan tidak patut dicintai…” Mendengar ini Wang Lung tidaj sanggup menahan perasaannya dan menggenggam tangan O-lan dan dia mengelusnya, sebua tangan besar dan keras, kaku bagaikan telah mati.  Dan dia bingung dan sedih akan dirtinya sendiri terutama karena apa yang dikatakan O-lan adalah benar adanya, dan meskipun ia menggenggam tangannya, dengan sungguh berharap bahwa O-lan dapat merasakan kelembutan Wang Lung kepadanya, dia malu karna Wang Lung tak dapat merasakan kelembutan, tidak ada mencairnya hati seperti yang dapat didapatkan Lotus dengan mengambekan bibirnya. Ketika ia mengambil tangan kaku yang sekarat itu dia tidak mencintainya, dan bahkan rasa kasihannya dinodai oleh rasa penolakan terhadapnya.”

TAMAT

Ini adalah wawancara imajiner mengenang Pearl S. Buck