Photo: Wikimedia |
Saya beranjak menuju gunung Huang Shan di
propinsi Anhui, untuk menemui Li Bai, salah satu penyair Tiongkok yang paling
ternama. Di latar belakangi gunung-gunung berkabut, ia menemui saya bersila di
depan sebuah meja kecil di beranda sebuah warung. Tak ketinggalan secawan
anggur disajikan bagi dia dan saya. Saya bilang ‘tak ketinggalan’ karena sudah
menjadi tradisi di Tiongkok untuk menyajikan anggur atau minuman keras lainnya
kepada tamu sebagai penghormatan. Selain itu Li Bai memiliki reputasi sebagai
sang Penyair Mabuk, karena kegemarannya akan minuman keras sampai mabuk, namun
mampu menulis puisi-puisi menarik dalam keadaan mabuk.
Tampaknya Li Bai ingin memencilkan diri di daerah
sekitar sini, untuk menulis puisi-puisinya, dekat dengan rakyat biasa, setelah
‘dikucilkan’ dari Akademi Kerajaan oleh Kaisar Xuanzong di Chang’an (nama kuno
kota Xi’an). Ia dikucilkan karena
intrik-intrik menteri-menteri yang iri kepada bakatnya menulis puisi-puisi yang
indah. Dia berkelana dari gunung ke gunung, memperdalam Taoisme dan menulis
banyak puisi-puisinya di situ.
Saya menemui Li Bai menjelang fajar di Bright
Peak Summit gunung Huangshan untuk menikmati cahaya keemasan matahari yang
menyeruduk perlahan-lahan dari balik gunung-gunung. Kami berdiam diri saja
sementara Li Bai seperti menulis sebuah puisi, dia memang begitu, bisa secara
spontan menulis puisi ketika terperangah akan sesuatu yang dijumpainya.
Beberapa lama kemudian dia memperlihatkan puisinya:
“Tiga
puluh enam puncak aneh, Dewa-dewa dengan topi simpul hitam.
Matahari
pagi menyinari puncak-puncak pohon, Di sini, di dunia pegunungan langit ini.
Orang-orang
Tiongkok, angkat wajahmu! Selama seribu tahun bangau datang dan pergi.
Jauh
di sana diam-diam aku amati seorang pengumpul kayu bakar,
Mencabut
batang kayu dari celah-celah batu.”
Saya menanggapinya:
“Gunung sering muncul dalam puisi anda, begitukan?”
Li Bai, tersenyum, mengutip pusinya yang lain:
“Anda bertanya apa
alasan saya tinggal di gunung hijau,
Saya tersenyum,
tetapi tidak menjawab, hati saya santai.
Bunga persik terbawa
jauh oleh air yang mengalir,
Selain itu, saya
memiliki surga dan bumi di dunia manusia.”
Saya berkata:
“Surga dan bumi di dunia manusia, wah …sungguh
sangat kental dengan pemahaman Taoisme, yang memandang Alam Semesta sebagai satu kesatuan organik
yang saling berhubungan. Tidak ada yang ada secara terpisah dari yang lain.”
Li Bai:
“Saya
membaca 'Liu Jia' pada usia lima tahun, sebuah buku Tao kuno yang telah lenyap, dan mengikuti seratus sekolah
pada usia sepuluh tahun. Pada usia lima belas tahun, saya dan Dongyanzi, seorang pertapa Tao,
pergi ke gunung Minshan untuk tinggal di sana dalam pengasingan. Saya tinggal
di sana selama beberapa tahun. Kami memelihara banyak burung eksotis di hutan
tempat tinggal dan bekerja sebagai peternak hewan. Burung-burung cantik dan
jinak ini, karena terbiasa kami beri makan,
sehingga mereka datang secara teratur
untuk meminta makanan. Seolah-olah
mereka dapat memahami bahasa orang, dengan panggilan, mereka terbang dari
mana-mana lalu turun, bahkan dapat mematuk tangan orang. Dengan adanya gandum, mereka
tidak takut sama sekali.”
Saya berkata:
“Sebelum anda mengasingkan diri ke daerah ini,
kabarnya anda pernah menjadi pejabat tinggi mengabdi kepada Kaisar Xuanzong di
Chang’an. Bagaimanakah itu terjadi?”
Li Bai:
“Saya berkeliaran di sekitar Zhejiang dan
Jiangsu dan akhirnya berteman dengan Wu Yun, seorang pendeta Tao terkenal, yang
punya hubungan erat dengan Kaisar Xuanzong. Suatu hari Wu Yun dipanggil oleh
Kaisar untuk menghadiri istana kekaisaran, dan ia memberi pujian besar tentang saya. Pujiannya
membuat Kaisar Xuanzong memanggilku ke istana Chang'an. Tampaknya Kaisar, para
bangsawan, dan orang biasa sama-sama terpesona oleh bakat dan perangaiku.
Mulanya ia memberi saya jabatan sebagai penerjemah karena saya menguasai bahasa
selain bahasa Tiongkok. Akhirnya Kaisar memberi saya jabatan di Akademi Hanlin,
akademi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan keahlian ilmiah dan puisi bagi
Kaisar”.
Saya berkata:
“Tentunya anda menulis puisi-puisi bagi Kaisar
Xuanzong?”
Li Bai:
“Saya menulis beberapa puisi tentang Yang
Guifei, permaisuri favorit Kaisar yang cantik dan terkasih.”
Saya berkata:
“Boleh saya mendengar salah satunya?”
Li Bai:
“Awan mengingatkan
saya pada pakaiannya, bunga mengingatkan saya pada wajahnya,
Angin musim semi
bertiup ke pegangan tangga, embunnya sangat subur.
Jika kita tidak bisa
bertemu di atas Gunung Batu Giok,
Kemudian kita pasti
akan bertemu satu sama lain di teras batu giok yang berjemur di bawah sinar
bulan.”
Saya berkata:
“Hmmm… dengan menyebut Gunung Batu Giok, puisi
ini menggambarkan bahwa sang permaisuri demikian menawan seperti dari peri
dunia kayangan, dan kalian akan bertemu di dunia fana di bawah sinar rembulan…Kesan
Taoismenya sangat terasa ya, alam kayangan dan bumi merupakan satu keutuhan
yang indah dan harmonis.
Salah satu puisi lainnya yang anda tulis
semenjak duduk di istana adalah mengenai mabuknya minum anggur. Suatu tema yang jarang
diungkapkan sebagai puisi, karena dianggap tidak bernilai, tidak indah, dan
terlalu ’fana’. Anda tampaknya sangat mendalami
rasa kemabukan mungkin karena memang anda terkenal gemar minum minuman keras
sampai mabuk, dan anda bahkan menulis
puisi -puisi yang terbaik dalam keadaan mabuk. Salah satu puisi anda yang
terkenal adalah “Minum sendirian di bawah Bulan”, yang sanggup menuangkan rasa
kemabukan dan kesepian secara puitis dan romantis, yang digemari publik karena perasaan
itu ‘membumi’ sesuai dengan kebiasaan sesungguhnya orang-orang Tiongkok dari
segala kalangan suka mabuk-mabukan.”
Li
Bai, menerawang ke langit lalu mengutip
“Minum sendirian di bawah Bulan”:
“Di antara bunga-bunga
menunggu sebotol anggur.
Saya menuangkan minuman untuk
diri saya sendiri, tidak ada orang yang saya cintai di dekat saya.
Mengangkat cangkir saya, saya
mengundang bulan yang cerah
dan mengalih ke bayanganku.
Kami sekarang bertiga.
Tapi bulan tidak mengerti
minum,
dan bayanganku mengikuti
tubuhku seperti budak.
Untuk sementara waktu, bulan
dan bayangan akan menjadi teman saya,
sukacita singgah yang harus berlangsung sepanjang
musim semi.
Aku bernyanyi, dan bulan
hanya goyah di langit;
Aku menari dan bayanganku
berputar-putar seperti orang gila.
Saat masih jernih, kami
bersenang-senang bersama!
Tapi tersandung mabuk,
masing-masing terhuyung-huyung sendirian.
Terikat selamanya, tanpa
henti kita berkeliaran:
bersatu kembali pada akhirnya
di sungai bintang yang jauh.”
Saya berkata:
“Wow, sangat mengesankan perasaan kesepiannya
yang dipadukan dengan tarian alam semesta. Puitis ,romantis dan sekali lagi
sangat kental rasa Taoismenya.
Namun, dengan puisi-puisi yang anda tulis begitu
indah mengapa anda sampai terpental dari Istana?”
Li Bai:
“Gara-gara si Gao Lishi pejabat kasim yang paling besar
pengaruh politiknya di istana. Dia iri kepada saya dan bersama pejabat-pejabat dengki
lainnya bersekongkol menyingkirkan saya dengan berbagai intrik. Mengenal
kebiasaan saya akan minum sampai mabuk itu, pada suatu hari mereka memperangkap
saya minum sampai mabuk. Lalu dalam keadaan mabuk saya dihadapkan ke Kaisar untuk
dipermalukan. Kaisar marah lalu mengusir saya dari istana, sehingga saya
memutuskan untuk meninggalkan Chang’an…”
Saya berkata:
“Bagaimana perasaan anda meninggalkan
Chang’an?”
Li Bai, mengutip puisinya ‘Kota Choan’ nama
lain dari ‘Kota Chang’an’ atau Xi’an:
Burung phoenix
sedang bermain di beranda mereka.
Burung phonix pergi,
sungai mengalir sendirian.
Bunga dan rumput
Menutupi jalan yang
gelap
di mana terletak rumah
dinasti Go.
Kain cerah dan topi
cerah Shin
Sekarang menjadi dasar
bukit-bukit tua.
Tiga Gunung jatuh
melalui surga yang jauh,
Pulau Bangau Putih
memisahkan kedua aliran itu.
Sekarang awan tinggi
menutupi matahari
Dan saya tidak bisa
melihat Choan dijauhan
Dan saya sedih.
TAMAT
Artikel ini adalah
wawancara imajiner untuk mengenang Li
Bai
Sumber:
https://www.bbc.co.uk/travel/article/20180201-chinas-spectacular-mountains-encased-in-ice
http://www.chinese-poems.com/lb.html
https://inf.news/en/culture/e8d711cc03d575390b3618b9193cdbd0.html
https://naiyee.org/2018/09/23/li-bai-drinking-alone-under-the-moon/
https://allpoetry.com/poem/13689358-The-City-of-Choan-by-Li-Po
https://en.wikipedia.org/wiki/Li_Bai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar