Sabtu, 12 Juli 2025

Wawancara dengan Natsume

 

Sebelum wawancara dengan Natsume, aku menyempatkan diri mengunjungi kota Matsuyama. Kota ini menjadi setting dari novel Natsume yang berjudul ‘Botchan’. Ia pernah ditugaskan sebagai guru di Matsuyama, dan pastilah pengalaman itu yang mengilhaminya menulis novel yang bercerita tentang seorang guru matematika sekolah menengah yang ditugaskan mengajar di Matsuyama. Guru itu bernama Botchan yang artinya ‘Tuan Muda’ dalam bahasa Jepang. Botchan memiliki karakter yang tidak umum bagi seorang guru, yakni mulutnya sarkastis, perkataannya tajam tanpa dipoles, yang tanpa sungkan-sungkan ditujukan baik kepada murid-muridnya maupun rekan-rekan guru lainnya. Ia memaki-maki murid-muridnya yang sering usil dan jahil kepadanya. Ia juga lantang dan tajam berbicara kepada guru-guru lainnya yang tidak disukainya. Ia memberi julukan-julukan kepada guru-guru yang tingkahnya aneh-aneh. Narasi yang segar dan komikal membuat novel ini sangat digemari di Jepang dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Agaknya, setiap pelajar di Jepang pernah membaca novel ini. 

Kota Matsuyama ternyata tidaklah begitu ketinggalan jaman seperti yang dibilang si Botchan. Tentunya kota ini tidak bisa dibandingkan dengan Tokyo, kota besar tempat tinggal Botchan sebelum pindah ke Matsuyama. Di sini, aku juga mencari dan menemukan pemandian air panas yang sering dikunjungi Botchan, tempat pelariannya setiap sore hari sehabis mengajar di sekolah. Nama tempat pemandian ini Dogo Onsen, sebuah pemandian umum yang cukup besar dan terkenal. Bangunannya tiga lantai, terbuat dari kayu tertata dengan indah dan megah. Air panas di kolam pemandiannya bersumber dari bumi mengandung banyak mineral.  Sungguh melegakan rasanya berendam di kolam air panas ini, melemaskan otot-otot dan sendi-sendi yang pegal. Aku bisa membayangkan bagaimana Botchan menikmati hangatnya air dan merasa pulih kesegarannya setelah berendam beberapa saat saja.

Maka, saat aku berjumpa dengan Natsume di rumahnya di Waseda-Minamicho, Tokyo, aku memulai percakapan tentang Dogo Onsen ini.

 

Aku:

“Natsume-san, saya berkunjung ke Matsuyama sebelum saya kesini, sekedar untuk mengenal kota ini yang menjadi kota tempat Bochan mengajar. Walaupun nama kota itu tidak disebutkan di novel itu, beberapa pembaca dapat menerka, karena anda sendiri pernah mengajar di Matsuyama. Di kota ini saya menemukan Dogo onsen dan mencoba berendam di air panas pemandian ini. Konon, Dogo onsen inilah pemandian yang sering dikunjungi Botchan di waktu senggangnya, berhubung penggambaran pemandian di novel ini sesuai dengan bangunan Dogo onsen ini. Apa betul Dogo onsen ini adalah tempat Botchan mandi setiap hari?”

 

Natsume:

“Ya, menurut Botchan, bangunannya tiga lantai, kolam mandinya terbuat dari granit, berukuran sekitar 10 meter persegi. Biasanya ada tiga belas atau empat belas orang di dalam kolam, tapi terkadang tidak ada. Kalau tidak ada orang, Bochan mengambil kesempatan untuk berenang di kolam ini, walaupun kola mini ini bukan kolam renang dan ada peringatan yang menuliskan: “Dilarang berenang di dalam kolam.” Peringatan itu seakan ditulis khusus buat Botchan yang sering mencuri-curi berenang di kolam itu waktu sepi. Sesuai kebiasaan umum, kolam itu untuk tempat berendam menikmati hangatnya air, kolamnya terlalu kecil untuk berenang.”

 

Aku:

“Kelihatannya ada muridnya yang mengetahui bahwa Botchan sering berenang di kolam itu dan melaporkannya. Jadi, keesokan harinya Botchan terkejut ketika masuk ke ruangan sekolah, di papan tulis ada tertulis: “Dilarang berenang di dalam kolam.” Ha... ha... ha.... Saya teringat jaman sekolah dulu, memang murid-murid kadang-kadang suka usil begitu...”

 

Natsume, juga tertawa:

“Ya murid-muridnya usil karena Botchan itu guru muda yang baru mengajar di sekolah itu. Bayangkan, si Botchan itu kalau pergi ke pemandian itu selalu membawa handuk yang sama berukuran besar, ukuran Eropa. Handuk ini berwarna agak merah seperti warna air panas yang mengandung mineral di pemandian  Dogo onsen itu. Handuk ini senantiasa digenggam tangannya kalau pergi ke pemandian itu, baik saat berjalan maupun saat naik kereta api ke sana. Oleh karena itu, para murid menjulukinya “Handuk Merah”.  Ha... ha... Sepertinya semua murid bersekongkol untuk menguntitnya ke mana saja untuk mengamati apa yang dikerjakan guru muda ini... Ha..ha..”.

 

Aku, ikut tertawa:

“Tapi, si Botchan itu tidak kalah bandelnya, ia hadapi murid-muridnya dengan umpatan-umpatan yang sarkastis dan meladeni keusilan murid-muridnya dengan galak. Ia memberi hukuman yang setimpal kepada murid-muridnya. Para guru banyak yang mencela tindakan Botchan kepada murid-muridnya, yang dianggap tidak layak dilakukan seorang guru. Botchan pun tidak mau kalah, dan membantah mereka dengan ungkapan-ungkapan yang makin sarkastis. Ia bahkan siap bertempur dengan guru-guru yang tidak mencelanya. Guru-guru itu diolokinya dengan julukan-julukan sesuai dengan tingkah laku aneh guru itu...”

 

Natsume:

“Ya, terutama si “Baju Merah”, kepala guru yang munafik dan manipulatif, itu musuh besarnya. Ia diberi julukan begitu karena setiap hari ia memakai baju berbulu merah, dan berbicara seperti wanita, ... ha... ha...”

 

Ya memang si “Baju Merah” itu tokoh yang sangat menyebalkan. Aku mereka-reka apakah memang ada rekan guru Natsume di sekolah itu yang bertingkah seperti si Baju Merah, yang mengilhami Natsume menulis karakter seperti ini. Seperti halnya kota Matsuyama yang menjadi setting novel ini, dan tempat pemandian yang penggambarannya sesuai dengan Dogo onsen, mungkin karakter-karakter dalam cerita ini juga sesuai dengan orang-orang yang dikenalnya selama mengajar di sekolah itu.

Kota Matsuyama, selain sebagai settingnya “Botchan”, adalah juga kota di mana Natsume bertemu kembali dengan Shiki Masaoka, sahabat kentalnya sejak di sekolah. Shiki Masaoka banyak menulis Haiku semenjak di sekolah waktu itu, dan Natsuke terpengaruh menulis Haiku olehnya. Haiku adalah puisi pendek terdiri dari 3 baris dan 17 silabel, yang populer di Jepang. Haiku yang pendek ini menuangkan kesan yang dialami penulisnya dalam sekejap, yang spontan dirasakan dalam suatu perjumpaan. Haiku bisa mengenai hal yang sederhana yang dijumpai sehari-hari, hal-hal yang ringan dan lucu, namun bisa juga mendalam ungkapannya, yang eksistensial, tentang cinta dan kematian. Sejak di situ, Natsume, bersama Shiki, juga banyak menulis Haiku, baik mengenai perjumpaan yang sepele, yang lucu, maupun yang mendalam.


Aku:

“Kabarnya di Matsuyama anda bertemu teman akrab anda Shiki Masaoka, dan bersama-sama meluangkan waktu untuk menulis Haiku di sana. Bagaimana anda bisa bersahabat dengan Shiki Masaoka, yang boleh dibilang adalah salah satu Haiku Master di Jepang?”

 

Natsume:

“ Shiki Masaoka itu sahabat saya sejak di sekolah, dan dia sudah banyak menulis Haiku di masa itu. Ia telah mengumpulkan puisi-puisinya dalam satu buku yang dia beri judul “Nanakusashu”, yang juga merisi puisi-puisi bergaya tulisan Tiongkok dan Haiku. Suatu hari ia mengedarkan buku itu di dalam kelas untuk dikomentari teman-temannya. Saya membubuhkan komentar saya di akhir buku itu,  serta melampirkan sembilan puisi-puisi yang saya tunjukan kepadanya untuk. “


Aku:

“Seperti apa puisi yang anda tulis...?”

 

Natsume, mengutip salah satu puisinya yang dia tulis di buku itu:

“Hidup dalam ketiadaan agak bergaya,

Musim panas ini Anda memutuskan untuk menyewa kamar di House of the Fragrant Moon di tepi sungai.

Sementara menghabiskan waktu menulis puisi yang menampilkan lanskap pedesaan gandum hijau dan bunga rapeseed kuning,

Musim telah berganti, dan musim gugur dengan bunga merah lada air dan bunga putih gulma mengambang telah tiba lagi.”


Aku: “Bagaimana pendapat Shiki...?”

 

Natsume:

“Ia menyukai puisi itu..., puisi itu mengingatkan pengalamannya saat liburan musim panas di Mukojima. Ia menyewa kamar untuk menulis kumpulan puisi “Nanakusashu” itu, lokasi itu  menurutnya adalah dunia tanpa arti, yang merupakan tempatnya mendapatkan inspirasi untuk tulisan-tulisannya.

Tapi di kemudian hari saya menganggap puisi-puisi itu kekanak-kanakan.... Saya merasa sungguh malu dan memintanya merobek puisi-puisi itu... “


Aku: “Saya tidak merasa begitu...”

 

Natsume:

“Bagaimanapun, sejak itu kami menjadi sahabat yang akrab, nama pena saya “Soseki” sebenarnya adalah salah satu nama pena Shiki, yang kemudian dihibahkannya kepada saya. Dan sampai sekarang saya bernama Natsume Soseki...”

 

Aku: “Apakah ada artinya Soseki itu...?”


Natsume: “Soseki berasal dari ungkapan dari “Shinjo” di jaman Tang dinasti di Tiongkok, yang artinya ‘Berkumur dengan Batu’ ...”.


Aku mengernyitkan kening: “Berkumur dengan Batu? Kok aneh?”


Natsume: “Ya, itu pengandaian bagi seorang yang kalah tapi tidak mau mengakui kekalahannya, Bad Looser... ha...ha..”


Aku ikut tertawa: “Hmm... itulah nama pena yang dihibahkan Shiki, ya... Jadi nama itu menertawakan diri kalian, ya....”


Natsume:

“Kami menjadi teman dekat dan sering berbagi Haiku dan tulisan puisi Tiongkok dalam surat-surat kami. Shiki terkesan dengan puisi-puisi Tiongkok yang saya tulis, dan saya terkesan dengan Haiku-Haiku yang dia tulis, jadi kami saling bertukaran puisi untuk menuturkan pikiran dan perasaan kami. Ketika di Matsuyama, kami semakin banyak menulis Haiku bersama-sama. Saat itu ia sebenarnya datang ke kota ini untuk memulihkan penyakit tuberculosis yang dideritanya, karena kota ini sebenarnya adalah kota kelahirannya. Di sana kami mencurahkan waktu luang kami untuk Haiku, dan juga menulis puisi-puisi di pertemuan-pertemuan dengan penyair-penyair dan murid-murid kami.”


Aku: “Wah... kalian sangat produktif ya menulis puisi...”


Natsume: “ Ya, Shiki sangat berbakat, tapi di kemudian hari ia mengakui bahwa sebagai pelajar, ia murid yang kurang rajin...”


Aku: “Ya banyak orang-orang terkenal yang tidak rajin belajar, nilai-nilai rapornya tidak cemerlang dan bahkan banyak yang gagal di sekolah...”


Natsume:

"Ya, Shiki banyak mengalami hambatan ketika belajar di sekolah, bahkan di tingkat akhir ia berniat mengundurkan diri dari Tokyo Imperial University karena ia gagal di ujian akhir. Saya menerima surat darinya tentang niatnya itu, saya menjadi sangat gusar dan langsung membalas suratnya berusaha menenangkan pikirannya agar ia tidak salah jalan… di akhir surat itu saya membubuhkan Haiku untuk menyejukkannya yang berbunyi: ‘ Burung cuckoo malam, jika engkau menangis, menangislah kepada bulan purnama...’ … Untuk anda ketahui nama Shiki berarti burung cuckoo...”

 

Aku berkata: “Lalu, apakah anda berhasil mengubah pikirannya ...?”


Natsume: “Sayangnya …., setahun kemudian dia benar-benar mengundurkan diri dari Tokyo Imperial University....”


Di tengah percakapan kami, Kyoko, istri Natsume, masuk membawa nampan berisi camilan yang diletakannya di atas meja di depan kami yang sedang duduk bersila. Aku melihat panganan dengan warna warni menarik, ada kue mochi, kue khas Jepang yang terbuat dari beras ketan. Ada tiga macam warna kue-kue itu, putih, jingga dan coklat. Yang berwarna jingga ada rasa jeruknya, menyegarkan. Natsume langsung mengambil kue mochi yang coklat dan memakannya dengan lahap. Kelihatannya dia lapar juga saat itu. Kyoko mengatakan bahwa Natsume punya gangguan asam lambung yang parah, sehingga di sering lapar seperti itu. Kyoko berbicara sambil tersenyum lebar dengan ramah, namun giginya terlihat kurang teratur dan kuning.  Natsume sendiri pernah berkata tentang istrinya ‘giginya tidak teratur dan berwarna kuning, tapi ia tidak peduli untuk menyembunyikannya. Aku menghargai keterbukaannya’. Aku ingat itu adalah kata-kata Natsume yang dicatat oleh Kyoko.

Natsume sendiri orangnya jangkung, dengan kumis yang cukup lebat, matanya berwarna emas kecokelatan. Ada bekas luka cacar di wajah sebelah kanannya, yang tertutupi rambut yang halus. Di potret-potret bekas luka ini tidak pernah kelihatan, mungkin karena pemotretnya menghormatinya untuk tidak menunjukkan sisi wajah itu.

Aku lalu mencoba mochi yang coklat, ternyata rasanya rasa kacang merah. Kyoko lalu menghidangkan sepoci teh hijau yang umum diminum di Jepang. Rasa tehnya yang agak pahit serasi dengan rasa mochi coklat ini. Sambil menikmati mochi dan teh yang hangat itu, aku mengamati ruangan rumah ini. Rumah ini dindingnya, lantainya semua terbuat dari kayu, khas rumah tradisional Jepang. Lantainya ditutupi tatami, tikar tebal yang terbuat dari jerami. Dinding dan langit-langit semua dari kayu. Sekat-sekat ruangan terbuat dari rangka kayu dan kedua sisinya ditutupi dengan washi berwarna putih, sejenis kertas yang liat dan tahan lama. Kertas washi itu tembus cahaya, membuat ruangan lebih terang, membuat siapa saja betah duduk di sini. Walau duduk bersila cukup lama, aku tak merasa lelah.

Tiba-tiba dari balik sekat datang seekor kucing, yang tanpa basa basi langsung duduk di pangkuan Natsume. Kucing itu sejenis kucing calico berukuran sedang, dengan bulu seperti bulu kucing Persia berwarna abu-abu kekuningan dengan bintik-bintik hitam legam. Kucing itu duduk dengan manja, dielus-elus tangan Natsume. Langsung saja aku mengenali kucing ini sebagai si kucing dalam buku “Saya seekor Kucing” karangan Natsume. Ya, naratornya si kucing ini, yang sering ngoceh memberi komentar tentang tuannya, Mr. Sneaze, yang adalah guru Bahasa Inggeris. Kebetulan atau tidak, si Natsume juga pernah menjadi guru Bahasa Inggeris. Kucing itu juga bercerita bahwa tuannya mempunyai gangguan asam lambung yang parah….

 

Aku lalu berkata:

“Kucing ini sangat mirip dengan kucing yang berperan dalam buku ‘Saya seekor Kucing’, tentunya banyak cerita-cerita yang diocehkan si Kucing itu berdasarkan pengalaman anda sesungguhnya…”

 

Natsume tersenyum saja….

 

Aku:

“Itu penyakit gangguan asam lambung yang diceritakan si Kucing tentang tuannya, Mr.Sneaze,  kelihatannya cukup parah… Saya mendengar keluhan dari orang-orang yang mengalami penderitaan seperti yang dialami Mr.Sneaze itu...”

 

Natsume:

“ Istrinya selalu menyuruhnya minum Taka-Diastase untuk penyakitnya, tapi Mr.Sneaze itu tidak mau lagi meminumnya, karena tidak manjur. Istrinya terus memaksanya minum obat itu, tapi Mr.Sneaze ngotot menolaknya, katanya tidak berguna. Istrinya lalu menjadi heran karena dulunya Mr. Sneaze setiap hari minum obat itu dan menganggapnya bekerja seperti mujizat. Namun istrinya terus berceloteh bahwa diperlukan kesabaran untuk menyembuhkan penyakit itu, kalau tidak sabar tidak akan sembuh.  Gangguan asam lambung itu memang lama penyembuhannya..., istrinya berkata begitu sambil memandang pelayan rumah tangganya, seakan meminta persetujuan... dan pelayan itu tentu setuju saja dengan perkataan istrinya....”

 

Aku:

“Pembaca buku ini dapat mengenali gaya cerita ‘Rakugo’, yang merupakan pertunjukan monolog Jepang, yang diceritakan dengan lucu. Seperti stand-up komedi di bar-bar, si Kucing itu bertutur secara demikian… ”

 

Natsume:

“Memang gangguan asam lambung yang saya derita menjadi cukup parah sehingga saya harus dirawat di rumah sakit ketika sedang menulis ‘Pintu Gerbang’. Kemudian saya mengungsi ke Shuzenji untuk penyembuhan.  Saya menginap di ryokan Kikuya di tepi Sungai Katsuragawa, di dekatnya juga ada onsen, tempat pemandian air panas.  Saya merasa seperti pulang ke rumah setelah perjalanan panjang. Tapi keadaan saya memburuk dan memuntahkan 800 gram darah, sehingga saya mengalami rasa  dekat kematian di saat itu.”


Aku:

“Kebetulan saya juga membaca ‘Pintu Gerbang’ , atau ‘Mon’ judul aslinya, yang anda tulis di masa gawat itu, saya sangat terkesan dengan novel itu. Sangat menarik bagaimana anda menceritakan kehidupan sehari-hari seorang bernama ‘Sosuke’, yang kebetulan juga mirip dengan nama pena anda ‘Soseki’. Dalam cerita itu  Sosuke mengungsi ke sebuah kuil di Kamakura untuk mencari kedamaian dengan mempelajari Zen dan latihan meditasinya. Dan setahu saya anda juga pernah mempelajari Zen dan meditasinya di Kuil Enkaku-ji di Kamakura itu.”


Natsume:

”Tapi ternyata kehidupan yang penuh meditasi di kuil itu tidak sesuai bagi Sosuke, ia selalu terlambat bangun untuk meditasi pagi, meditasi yang lama baginya terlalu melelahkan dan makanan vegetarian yang disediakan terasa hambar. Setelah sepuluh hari ia pulang ke rumah.”


Aku:

“Pintu Gerbang yang dimaksud dalam novel ini tampaknya adalah Pintu Gerbang kuil ini, Pintu Gerbang menuju pencerahan yang ingin dicapai Sosuke...”

 

Natsume, mengutip ‘Pintu Gerbang’:

“Dia datang ke sini mengharapkan gerbang dibuka untuknya. Tetapi ketika dia mengetuk, penjaga gerbang, di mana pun dia berdiri di belakang gerbang tinggi, tidak menunjukkan wajahnya. Hanya suara tanpa tubuh yang bisa didengar: ‘Tidak ada gunanya mengetuk. Buka gerbang untuk diri Anda sendiri dan masuk.’

Tapi bagaimana, dia bertanya-tanya, dia bisa membuka palang gerbang dari luar? Secara mental ia merancang skema yang melibatkan berbagai langkah dan langkah. Tetapi ketika sampai pada hal itu, dia mendapati dirinya tidak dapat mengumpulkan kekuatan untuk menerapkan rencananya. Dia berdiri di tempat yang sama dia berdiri sebelumnya ketika mulai merenungkan masalahnya. Seperti sebelumnya, dia mendapati dirinya terdampar, tanpa daya atau jalan keluar, di depan gerbang yang tertutup. Dia telah hidup dari hari ke hari sesuai dengan kemampuan pikiran. Sekarang dengan kecewa, dia bisa melihat bahwa kemampuan ini telah menjadi kutukan. Pada satu ekstrem, dia iri pada pikiran sederhana yang keras kepala dari orang-orang naif yang tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain. Dari sudut pandangan yang lain, ia memandang dengan kagum disiplin diri spiritual dari orang-orang awam yang penuh kepercayaan, baik pria maupun wanita, yang meninggalkan kebijaksanaan konvensional dan menyingkirkan gangguan pemikiran analitis. Tampaknya bagi Sōsuke bahwa sejak saat kelahirannya, sudah menjadi takdirnya untuk tetap berdiri selamanya di luar gerbang. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun jika benar bahwa, bagaimanapun, dia ditakdirkan tidak akan pernah untuk melewati gerbang ini, ada sesuatu yang sangat tidak masuk akal tentang tindakannya mendekati gerbang ini pertama kali. Dia menoleh ke belakang. Dia melihat bahwa dia tidak memiliki keberanian untuk menelusuri kembali langkahnya. Dia melihat ke depan. Jalan itu selamanya terhadang oleh gerbang yang tertutup rapat. Dia adalah seseorang yang ditakdirkan untuk tidak melewati gerbang ataupun seorang yang puas karena tidak pernah melewatinya. Dia adalah salah satu dari jiwa-jiwa malang yang ditakdirkan untuk berdiri di bawah bayang-bayang gerbang, membeku di jalurnya, sampai hari itu selesai.”

 

TAMAT

Artikel ini adalah wawancara imajiner mengenang Natsume Soseki.

 

Sumber-sumber:

 

https://www.library.tohoku.ac.jp/en/collections/soseki/life.html

https://www.japanesewiki.com/person/Soseki%20NATSUME%20(novelist).html

https://old-tokyo.info/getting-closer-to-natsume-soseki-in-waseda-museum

https://www.outdoorjapan.com/regions-in-japan/chubu-region/shizuoka/shuzenji-sanctuary

https://eprints.soas.ac.uk/32308/1/4752_Taguchi.pdf