Memasuki pelataran Kuil Meiji dari stasiun Harajuku
kita akan menemukan gerbang torii dari kayu yang menandakan permulaan Kuil
Meiji ini. Seperti halnya kuil Shinto lainnya, kunjungan ke tempat ini seperti
ziarah yang secara bertahap mengubah dunia fana menuju dunia sakral. Gerbang
Torii berfungsi sebagai pintu masuk yang memisahkan dunia fana manusia dari
kediaman sakral roh illahi (Kami). Kita melihat orang-orang membungkuk ketika
mereka melewati bawah gerbang torii, menunjukkan rasa hormat ketika memasuki
daerah sakral ini.
Lalu kita mengikuti jalan kerikil yang
berkelok-kelok menghampiri kuil, yang disebut sando. Jalan ini dilindungi oleh
pohon-pohon besar, seperti di dalam hutan yang lebat dan tenang. Kita tidak
merasa seakan di tengah Tokyo, di distrik Shibuya, salah satu daerah komersil
yang paling sibuk. Di hutan yang tenang
ini kita hanya bisa mendengar kicauan burung dan bunyi langkah para pengunjung
di jalan kerikil.
Kuil ini didedikasikan buat roh ilahi (Kami)
Kaisar Meiji dan Permaisuri Shohen. Kaisar Mejiji meletakkan dasar bagi
modernisasi Jepang, yang dikenal sebagai Restorasi Meiji, mengakhiri pengaruh
shogun Tokugawa. Di bawah kepemimpinannya Jepang mengadopsi ide-ide dan
berproduksi secara Barat untuk mengindustrilialisasi negeri ini. Jepang membuka negerinya kepada dunia dan
muncul dari masyarakat yang tertutup menjadi salah satu masyarakat yang paling modern
di dunia, dalam waktu kurang dari 40 tahun. Setelah sang kaisar mangkat di
tahun 1912, parlemen memutuskan untuk membangun tempat peringatan baginya di
daerah dekat taman Yoyogi, tempat kuil ini, karena sang kaisar dan istrinya
suka berjalan melalui taman-taman di sini.
Foto: Wikimedia
Dalam kepercayaan Shinto, sesuatu yang ilahi
dianggap sebagai Kami (roh ilahi), yang dapat ditemukan di mitologi, di dalam
alam, dan di dalam manusia. Orang-orang Jepang mengagumi dan bersyukur kepada
Kami dan mengabadikan mereka di kuil-kuil. Seperti hal demikian kuil Meiji
didedikasikan untuk menghormati Kami dari Kaisar Meiji dan permaisurinya. Kita
dapat merasakan seluruh tempat ini sebagai tempat tinggal yang mengagumkan bagi
para Kami, mencerminkan betapa hormatnya orang-orang Jepang dan betapa
bersyukurnya mereka kepada sang kaisar dan permaisurinya.
Jalan berkerikil menghantar kita melihat
sejumlah gentong-gentong sake dan anggur yang ditumpukkan di kedua sisi jalan.
Lebih dari 200 gentong-gentong sake ditampilkan sebagai persembahan kepada sang
kaisar, yang disumbangkan oleh pabrik-pabrik sake di seluruh negeri. Berhubung
sang kaisar menyukai anggur Perancis, gentong-gentong anggur diimport dari
Perancis dan ditampilkan bersama gentong-gentong sake.
Foto: Pribadi
Dengan melewati gerbang Ootori (gerbang torii
kedua), kita sampai di Temizusha (sumur air) di depan jalan masuk ke tempat
suci utama, untuk membasuh tangan dan mencuci mulut. Disediakan sendok-sendok
kayu besar di sumur air ini untuk mencuci tangan dan mulut. Ini adalah ritual
untuk mensucikan diri kita sebelum memasuki tempat suci utama.
Sebelum memasuki tempat suci utama kita juga
bisa pergi ke Juyosho, Kios Amulet, untuk membeli amulet (jimat) atau menulis
harapan kita di sebuah ema, sebuah tablet kayu. Orang-orang menuliskan segala
hal mulai dari keberuntungan, lulus ujian, mendapat anak, cinta dan patah hati,
pengampunan dan rasa berterima kasih. Ada juga omamori (jimat pelindung) untuk
keselamatan perjalanan, kesehatan, atau sukses di sekolah. Omamori biasanya
disangkutkan atau ditaruh di dalam tas, dompet atau saku, dan disimpan di situ
sampai tercapai kehendaknya.
Foto: Pribadi
Lalu kita sampai di Minami Shimon, gerbang
utama ke dalam kompleks kuil utama. Gerbang ini adalah bangunan dua tingkat,
terbuat dai cemara Jepang hinoki, dan atap tembaga. Kita bisa melihat pola-pola
berbentuk hati kecil-kecil terukir di jaringan kayu sebagai ornamen. Ketika
melewati gerbang ini, kita mesti melangkahi balok kayu di bawah gerbang, jangan
menginjaknya, dan menundukkan kepala untuk menunjukkan rase hormat ketika
melewati gerbang ini.
Foto: Pribadi
Di sebelah Timur dari kompleks kuil utama
terdapat Kaguraden, bangunan tempat penganut Shinto berdoa dan mengikuti ritual
khusus (Kigansai). Di dalam ritual khusus ini, sebuah kagura, atau musik sakral
dan tarian, Yamato-Mai, dipertunjukkan sebagai persembahan bagi Kami. Tarian
sakral ini berdasarkan puisi yang ditulis oleh Kaisar Meiji yang mengatakan
kita janganlah lupa memberi penghormatan kepada Kami, karena keberadaan kita
bergantung pada Kami.
Di sebelah Kaguraden, terletak bangunan yang
paling sakral, dinamai honden, dimana Kami diabadikan. Bangunan kuil utama dibangun
menurut gaya nagare zukuri, yang umum ditemukan pada arsitektur kuil Shinto.
Dengan gaya ini, atap muka kuil ini menjorok ke depan untuk melindungi anak
tangga menaiki bangunan ini. Bangunan honden mencakup aula untuk berdoa
(noritoden), ruang dalam kuil (naihaiden), dan ruang luar kuil (gehaiden).
Gehaiden terletak di muka kuil utama diperuntukkan bagi para pengunjung untuk
berdoa.
Foto: Abrahami- Wikimedia
Dalam perjalanan keluar kita melewati taman
bunga Iris, taman yang indah yang dirancang oleh sang kaisar untuk isterinya.
Di musim panas, banyak jenis bunga Iris, favorit sang permaisuri, bermekaran
dalam warna violet, biru dan putih. Berjalan lanjut, terdapat sumber air
Kiyomasa. Dinamai sesuai dengan nama komandan militer penggali sumber air itu
sekitar 400 tahun yang lalu. Sumber air ini sering dikunjungi sang kaisar dan
permaisuri ketika mereka hidup.
Ketika
saya mengunjungi Huangshan di provinsi Anhui, pengantar saya menunjukkan tempat
di mana Bapak Deng sering duduk dimasa lenggangnya untuk menikmati pemandangan
pegunungan yang menakjubkan, terapung di atas awan-awan. Tempat ini tampaknya
tempat favorit Bapak Deng dan dia memilih daerah pegunungan ini untuk
menyampaikan ‘Pidato Huang Shan’ untuk mempromosikan tempat ini sebagai tempat
utama untuk merevitalisasi kan industri pariwisata, dan untuk menyampaikan arah
pariwisata Tiongkok dimasa depan. Beberapa tahun kemudian, pasar pariwisata
Tiongkok ditransformasikan menjadi salah satu pasar pariwisata yang paling
disimak dunia, jumlah lawatan domestik mencapai 6 milyar di tahun 2019, yang
menunjukkan kenaikan eksponensial dibandingkan jumlah lawatan di Tiongkok
sepuluh tahun sebelumnya.
Dikenal
sebagai “Bapak Reformasi” Tiongkok, Bapak Deng di tahun 1978 mengumumkan
kebijaksanaan baru, “Kebijaksanaan Pintu Terbuka”, untuk membuka pintu bagi
semua bisnis asing yang ingin mengelola bisnis di Tiongkok. Kebijaksanaan
“reformasi dan keterbukaan” (gaige kaifang) memberi landasan bagi transisi yang
sukses dari ekonomi terencana menuju ekonomi pasar, yang mencapai tingkat
pertumbuhan tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tingkat pertumbuhan
rata-rata tahunan 9,7 persen menarik ratusan juta orang Tiongkok keluar dari
kemiskinan. Kebijaksanaan reform dan keterbukaan juga menggiring menuju
perubahan mendasar dari norma-norma Mao Zedong, mengganti kolektivisme dengan kesesuaian
dengan kinerja individual dan keberagaman.
Cukup
sudahlah berbicara tentang dia, saya sangat ingin mewawancarainya dan membuat
permohonan kepada kantor CPC (Communist Party of China) di Beijing. Mengetahui
ketatnya birokrasi kantor di sini saya tak begitu berharap segera mendapat
persetujuan dan bahkan mungkin tidak akan pernah disetujui, saya hanya mencoba
keberuntungan saya. Saya tahu tidak banyak wartawan asing yang mendapat
kesempatan mewawancarainya secara pribadi, Mike Wallace, Oriana Fallaci, Ezra
Vogel misalnya, siapa lagi?
Lalu
setelah 4 bulan, saya menemukan amplop merah di kotak pos apartemen saya, surat
itu adalah dari kantor CPC menyatakan kebersediaan bertemu Bapak Deng bulan
depan. Wow benarkah ini? Saya berhasil! Ini adalah wawancara pertama saya
dengan toko politik, dan dari Tiongkok!
Jadi
di hari Sabtu, di kantor CPC di Chang’an Avenue di Beijing, saya berjumpa
seorang kecil mengenakan jubah Mao abu-abu, kaos kaki putih dan sepatu
Neiliansheng hitam. Saya tidak mengira bahwa dia adalah Bapak Deng, dia tampak
sangat rendah hati bagi seorang pemimpin besar. Pastinya, dia tidak seperti
yang suatu saat diucapkan Henry Kissinger, “orang kecil yang jahat”.
Saya
berkata:
“Selamat
siang Bapak Deng, anda dikenal sebagai pemimpin de facto Tiongkok, dalam hal
walapun anda bukan ketua CPC dan bukan pula Presiden Tiongkok, namun anda
adalah pembuat kebijaksanaan utama dan pembaru Tiongkok selama puluhan tahun
yang membawa pembangunan besar-besaran Tiongkok. Anda adalah anggota Standing
Committee of the Political Bureau dan ketua CCP’s Central Military Commission,
namun nampaknya anda menghindar untuk menjadi pemimpin tertinggi Tiongkok.”
Bapak
Deng:
“Begini,
kita musti ingat bahwa Ketua Mao sebagian besar hidupnya, ia membuat kebaikan
bagi Tiongkok. Banyak kali ia menyatukan Tiongkok, dan menyelamatkan partai dan
negara dari berbagai krisis. Pemikiran Mao Zedong memimpin kita menuju
kemenangan dalam revolusi dan hal ini akan terus menjadi milik yang berharga
negeri kami, dan kami akan terus mengingatnya sebagai pendiri partai dan negeri
kami.
Karena
kepemimpinannya ia diperlakukan seperti seorang kaisar yang mengingatkan akan
masa kerajaan negeri ini di masa lalu. Rakyatnya membentuk kultus individu Mao
Zedong, yang dipelopori oleh pendukung-pendukung fanatik, media masa,
propaganda dan buku-buku yang mengangkat statusnya menjadi pemimpin pemberani
yang bercela. Seluruh rakyat mengikuti cara berpakaiannya yang sederhana,
menghafal ucapan-ucapannya dari Buku Merah kecil dan hidup dibawah pandangan
potret-potretnya yang menyolok.
Ia
lalu menjadi otoriter dan memimpin negeri ini secara patriarkal, aturan
satu-orang, yang merupakan ciri-ciri feodal. Ia lalu enggan mendengar pendapat
pejabat lainnya, tidak mendengar pendapat-pendapat yang berbeda. Kita tidak
bisa bilang bahwa semua kritikan itu benar, namun ia juga tidak siap
mendengarkan pendapat-pendapat yang benar yang bukan saja dari saya tapi juga
anggota partai lainnya. Pada saat itu, ia makin menjauh dari keterkaitan dengan
realitas. Misalnya, ia tidak secara konsisten melaksanakan demokrasi terpusat
dan garis massa, dan ia gagal melembagakan hal-hal itu selama hidupnya. Demokrasi
terpusat terganggu dan demikian pula kepemimpinan kolektif.
Saya
menentang gagasan kepemimpinan seumur hidup, kultus individu, dan kepemimpinan
satu-orang dan hendak menghindari munculnya orang kuat seperti Mao. Saya
mendukung ideologi pragmatisme dan menekankan di atas segalanya perlunya
reformasi mendasar terhadap partai, terutama dengan menghidupkan kembali
musyawarah dalam tubuh partai dan proses pengambilan keputusan, yang dikenal
sebagai kepemimpinan kolektif.”
Saya
berkata:
“Dunia
mengamati kemajuan pesat yang dicapai Tiongkok dalam pembangunan ekonomi di
puluhan tahun yang lalu, tapi banyak pemikir Barat berpendapat bahwa reformasi
Tiongkok dan kebijaksanaan buka pintu hanya mencapai keberhasilan besar dalam
modernisasi ekonomi, dengan tanpa kemajuan yang berarti dalam demokratisasi politik.
Beberapa di antara mereka bahkan lebih jauh menyatakan bahwa penyebab
keberhasilan modernisasi ekonomi Tiongkok tepatnya adalah karena Tiongkok tidak
memiliki reformasi demokrasi sejalan dengan reformasi ekonomi.”
Bapak
Deng:
“Dalam
abad ini Tiongkok adalah tanah bagi raja-raja perang, serangan tentara-tentara,
banjir, bencana kelaparan dan revolusi. Sepuluh jutaan orang mati karena
kekejaman, atau celakanya karena kelaparan.
Saya
bilang kepada Presiden Bush di tahun 1989 bahwa jika seluruh satu milyar rakyat
kami menjalani pemilu dengan banyak partai, kami tentulah akan mengalami perang
sipil besar-besaran. Hal yang lebih utama dari semua persoalan di Tiongkok
adalah stabilitas, jadi untuk mencegah kekacauan dan kekejaman kami menentang
pluralisme politik.
Namun,
seperti yang saya utarakan kepada Oriana Fallaci dari Washington Post, saya
bisa bilang bahwa setelah digulingkannya Kelompok Geng Empat kami sangat
menekankan pemajuan demokrasi sosialis. Tanpa menanggalkan, tentunya,
kediktatoran proletariat. Demokrasi dan kediktatoran proletariat adalah dua
aspek dari satu antitesa, dan saya sebaiknya menambahkan bahwa demokrasi proletar jauh lebih baik dari
demokrasi kapitalis.”
Saya
berkata:
“Saya
menerka bahwa maksud anda dengan demokrasi proletar adalah konsep utama
demokrasi yang dijunjung elite Tiongkok yang mencoba menggabungkan demokrasi
dengan otoritas, kediktatoran dan sentralisme.”
Bapak Deng:
“Esensi
dan inti demokrasi sosialis adalah rakyat adalah tuan dari negeri ini, dan
adalah sistem dengan kerja sama banyak pihak dan konsultasi politik di bawah
kepemimpinan CCP. Kami menjalankan demokrasi terpusat, yang merupakan integrasi
berdasarkan demokrasi, dengan demokrasi di bawah arahan sentrailsme. Demokrasi
terpusat adalah bagian integral dari sistem sosialis. Di bawah sistem ini,
kepentingan pribadi harus tunduk kepada kepentingan kolektif, kepentingan dari
bagian keseluruhan, dan kebutuhan jangka panjang yang mendesak.”
Saya
berkata:
“John
Naisbitt, peneliti Amerika yang tersohor tentang ilmu-ilmu masa depan,
meramalkan bahwa ‘demokrasi vertikal’ baru, yang menggabungkan partisipasi
massa dari bawah ke atas dengan perintah pusat dari atas ke bawah, muncul di
Tiongkok, dan nampaknya akan menjadi alternatif dari ‘demokrasi horisontal’
gaya Barat. Kita dapat mengamati bahwa ‘demokrasi vertikal’ ini bekerja dengan
baik untuk mencapai pembangunan ekonomi dengan cepat di Tiongkok. Dunia kagum
akan reformasi ekonomi yang menyolok di bawah kepemimpinan anda, namun dari
mata pengamat Barat reformasi politik berjalan lamban. Meskipun ada muncul
secara acak beberapa kebebasan bersuara, seperti di perioda ‘Tembok Demokrasi’
di ujung tahun tujuhpuluhan, kebebasan politik hampir tidak berkembang sama
sekali.”
Bapak
Deng:
“Saya
sangat memahami masalah ini. Kalau kami gagal melakukan reformasi politik, kami
tidak akan dapat melestarikan keberhasilan yang kami buat dalam reformasi
ekonomi. Tanpa reformasi politik, reformasi ekonomi tak dapat berhasil…… Jadi
dalam analisa akhir, keberhasilan dari semua reformasi yang lain tergantung
kepada reformasi politik. Kami memperbolehkan reformasi politik, tapi dengan
syarat bahwa tiga elemen demokrasi sosialis Tiongkok dijunjung: pertama,
kebutuhan rakyat di atas pemerintah,
yang merupakan prinsip utama demokrasi; kedua, kepemimpinan CCP dan
sentralisme, yang perlu bagi demokrasi; dan ketiga, koletivisme, yang juga
merupakan prinsip penting untuk memecahkan masalah konflik dari berbagai
kepentingan di dunia nyata.”
Saya
berkata:
“Saya
pikir, sementara ada persetujuan umum bahwa demokrasi secara harafiah berarti
‘pengaturan oleh rakyat’ konsep Partai Komunis tentang ‘rakyat’ berbeda dengan
konsep Barat. Konsep Barat yang liberal mengenai ‘rakyat’ adalah
semua-termasuk, yang mengacu kepada semua anggota masyarakat dan memandang
masyarakat sebagai agregat individu-individu dengan kemajemukan berbagai
kelompok sosial dan kepentingan. Sebagai pembanding, dalam pandangan Partai
Komunis, ‘rakyat’ adalah sebuah konsep kolektivisme. Penekanannya berada pada
pencapaian kepentingan kolektif, dan bukannya berdasarkan, atau bahkan mengakui, kemandirian
individual dan ekspresi kepentingan individual.”
Bapak
Deng:
“
Yang dibutuhkan Tiongkok adalah demokrasi sosialis, karena ini adalah demokrasi
rakyat, dan bukannya demokrasi borjuis, demokrasi individual. Kami menjalankan
demokrasi terpusat, yang merupakan integrasi berdasarkan demokrasi, dengan
demokrasi di bawah arahan sentralisme. Demokrasi sentralisme adalah bagian
integral dari sistem sosialis. Di bawah sistem ini, kebutuhan pribadi harus
tunduk kepada kebutuhan kolektiv, yakni kebutuhan bagian dari keseluruhan.
Tujuan dari demokrasi sosialis, bukanlah untuk mengakui individualisme atau
pluralisme, melainkan untuk mempersatukan rakyat untuk mencapai kebutuhan dan
tujuan bersama.”
Saya
berkata:
“Menurut
media Barat, anda memerintahkan tindakan militer melalui hukum darurat untuk
menindas gerakan demonstrasi yang muncul di Tiananmen Square di tahun 1989,
meskipun beberapa pemimpin menolak tindakan militer itu. Tindakan ini
menimbulkan banjir darah dan dalam 48 jam Tiananmen Square ditertibkan. Menurut
laporan intelijen sekitar 1000 orang mati dan beberapa lusin tentara dan polisi
terbunuh oleh para demonstran. Apakah anda memerintahkan tindakan berdarah ini,
ataukah ini adalah suatu kesalahan militer, Bapak Deng?”
Bapak
Deng:
“Saya
menghargai tentara sebagai ‘benteng pertahanan besi bagi negara’ dan menekankan
bahwa Tiongkok akan melanjutkan kebijaksanaan mendasar bagi reformasi ekonomi
dan keterbukaan kepada dunia luar. Kejadian ini mendorong kami untuk memikirkan
masa depan dan masa lalu dengan kepala dingin. Hal ini akan memungkinkan kami
untuk melaksanakan tujuan kami dengan lebih stabil, lebih baik dan bahkan lebih
cepat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan kami lebih cepat.
Kami
tak dapat mentolelir kekacauan. Kami akan menetapkan hukum darurat lagi jika
kekacauan-kekacauan terjadi lagi. Tujuan kami adalah menjaga kestabilan
sehingga kami dapat melanjutkan pembangunan, dan logika kami sederhana saja:
dengan begitu banyak manusia dan begitu sedikit sumber daya, Tiongkok tidak
dapat mencapai apapun tanpa keamanan dan kesatuan politik dan kestabilan
tatanan sosial.
Kami
tidak dapat menangani kekacauan ketika kami sibuk membangun. Kalau hari ini kami
ada demonstrasi besar dan keesokan harinya kami mendengar banyak
pendapat-pendapat diberitakan dan coretan-coretan dinding, kami tidak akan
punya energi lagi untuk menyelesaikan apapun. Karena itulah kami berkeras untuk
membersihkan lapangan itu.”
Aku
berkata:
“Ada
kejadian dramatis ketika tindakan militer di Tiananmen Square yang menarik
perhatian seluruh dunia. Media masa Barat menamakan nya insiden ‘The Tank Man’
(Manusia Tank), seorang lelaki membawa kantong belanjaan di potret dan direkam
video berdiri di depan sejejeran Tank militer meninggalkan Tiananmen Square
melalui Chang’an Avenue. Ketika pengemudi tank mencoba mengalihkan perjalanan ,
‘Manusia Tank’ ini juga bergerak menghadang jalan tank itu. Dia berbuat begitu
terus berdiri menentang di muka tank-tank itu selama beberapa waktu, lalu naik
ke atas tank membuka pintu tank terdepan untuk berbicara dengan tentara di
dalamnya. Setelah kembali ke posisinya di muka tank-tank itu, orang ini ditarik
oleh sekelompok orang. Nasib ‘Manusia Tank’ ini setelah demonstrasi tidak
diketahui, dan bagi dunia ‘Manusia Tank’ itu tetap tanpa wajah dan tanpa nama.
Bolehkah
saya bertanya Bapak Deng, siapakah lelaki yang menghentikan tank-tank itu, dan
bagaimana nasibnya?”
Bapak
Deng duduk tak bergerak di kursinya yang terlalu besar, kakinya hampir tak
menyentuh lantai. Tiba-tiba seorang petugas menghampirinya dan berbisik sesuatu
di telinganya, Bapak Deng mengangguk dan kemudian menyatakan bahwa ia ada rapat lain di
agendanya dan harus pergi sekarang. Dengan demikian wawancara berakhir….
TAMAT
Artikel ini adalah wawancara imajiner mengenang Deng
Xiaoping