Setelah mengunjungi Red
Square, kami berjalan ke jalan Nikolskaya dekat sini yang mengarah ke Lubyanka
Square. Sepintas jalan itu hanya tampak seperti jalan perbelanjaan yang modis,
dipenuhi butik, bar, dan toko makanan. Tapi sebenarnya, tempat itu memiliki
banyak bangunan bersejarah dan budaya di masa lalu. Jalan ini dinamai sesuai
dengan biara Yunani St. Nicholas yang terletak di sana, dan sisi utara jalan
terdapat beberapa bangunan bersejarah, seperti Katedral Kazan, bekas gedung Red
Mint, dan Universitas Negeri Rusia untuk Kemanusiaan. Bangunan-bangunan
bersejarah lainnya telah diganti dengan toko suvenir, restoran, dan butik.
Suasana komersial bisa
kita rasakan di jalanan, banyak pria dan wanita lokal yang mengenakan pakaian
tradisional Rusia, lengkap dengan wig pirang besar yang berjalan-jalan
menawarkan suvenir atau selfie. Mereka menyapa turis yang lewat 'nihao, nihao'
karena banyak turis China yang datang ke sana. Ada juga bangku-bangku di tengah
jalan untuk kita duduki setelah berjalan-jalan, menikmati segarnya udara musim
semi, di bawah langit biru dengan sekawanan awan putih. Ada juga artis jalanan
di sana, termasuk salah satu penyanyi opera menyanyikan aria-aria, dengan
suaranya yang cukup mantap. Kami mendengar bahwa dia sebenarnya sedang berlatih
untuk pertunjukan opera, karena dia tidak akan bisa melakukannya di kamar
apartemennya, yang akan membuat berisik bagi tetangganya.
Dari sana kami naik metro
dan berjalan di area Vozdvizhenka Street, dan melihat sebuah bangunan modern
besar yang mendominasi area tersebut. Ini adalah Perpustakaan Negara Rusia,
yang terbesar di negara ini dan terbesar kelima di dunia untuk koleksi bukunya.
Di depan perpustakaan berdiri patung Fyodor Dostoyevsky, seorang novelis Rusia
yang terkenal. Patung itu menggambarkan dia dalam postur yang sangat informal,
duduk menyorong di atas landasan, tampak tenggelam dalam pikirannya. Di sekitar
area ini terdapat museum lain seperti Museum Seni Rupa Negara Pushkin, museum
Rumah Gogol, dan Galeri Aleksander Shilov. Terdapat museum, teater, dan gereja
lain di distrik ini, menjadikannya salah satu kawasan terpadat dengan warisan
budaya.
Setelah naik metro lain
ke Teatralnaya Ploschad atau Theatre Square, di depan teater Bolshoi, di sisi
jalan Teatral'nyy Proyedz berdiri patung Karl Marx, sang pelopor Komunisme.
Patung itu mengukir Marx dari balok granit abu-abu, menggambarkannya sebagai pembicara
yang berdiri di podium seolah-olah berbicara kepada orang-orang dengan pidato. Landasannya
diukir dengan kata-katanya yang terkenal: "Pekerja se Dunia, Bersatulah!".
Pembuat patungnya, Lev Kerbel, dianugerahi Hadiah Lenin pada tahun berikutnya.
Saya bisa menangkap jiwa
Moskow dalam perjalanan singkat di jalanannya.
Ditugaskan mewawancarai Friedrich, saya bingung stengah mati
bagaimana menghadapinya. Ia terkenal sebagai filsuf kontroversial yang memaklumatkan
‘Tuhan telah Mati’, dengan pandangannya tentang agama-agama terutama agama
Kristen sangat negatif, walaupun ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran. Ayahnya meninggal ketika Friedrich masih
berumur 4 tahun jadi ia tidak sempat menyaksikan ‘kemurtadan’ anaknya itu.
Untuk mempersiapkan wawancara ini saya memaksakan membaca
tulisannya yang berjudul ‘AntiKristus’ yang sangat merendahkan agama Kristen
dan bahkan menganggap nilai-nilai Kristiani sebagai racun bagi pengikutnya.
Tentu banyak pembacanya yang akan merasa dilecehkan dengan ucapan-ucapan
provokatif ini dan tidak bisa menerima hujatan-hujatannya. Namun dengan mengelus
dada akhirnya saya memutuskan untuk menemui Friedrich di kota kelahirannya
Röcken, di Jerman.
Hari itu Friedrich menerima kunjungan saya di ruang tamu
rumahnya, ia tampak lemah, lehernya dibalut syal yang tebal. Sepertinya udara
dingin bulan Februari membuatnya pucat. Dia sama sekali tidak garang seperti
tulisannya, hanya kumis tebalnya saja yang membuatnya kelihatan seperti anggota
pasukan militer. Badannya bungkuk, kakinya agak bengkok, dan tangannya terlihat
seperti pangsit.
Saya lalu membuka pembicaraan:
“Herr Friedrich, langsung saja, anda di buku the Joyful Wisdom
menulis tentang seorang Gila memproklarmirkan bahwa “Tuhan sudah Mati”. Bagaimana
hal ini bisa terjadi?”
Friedrich, mengulangi ucapan si Gila di buku ‘Kebajikan yang
Menggembirakan’:
“Ke mana perginya Tuhan? Maksudku memberitahumu! Kita telah
membunuhnya,—kau dan aku! Kita semua adalah pembunuhnya! Tapi bagaimana kita melakukannya?
Bagaimana kita bisa meminum habis air laut? Siapa yang memberi kita spons untuk
menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan bumi
ini dari matahari? Ke mana sekarang bumi bergerak? Ke mana kita bergerak?
Menjauh dari semua matahari? Bukankah kita terus berlari tanpa henti? Mundur,
ke samping, ke depan, ke segala arah? Apakah ada masih di atas dan di bawah?
Apakah kita tidak tersesat, seperti melalui kehampaan yang tak terbatas?
Tidakkah ruang kosong mengembusi kita? Bukankah menjadi lebih dingin? Bukankah
malam terus datang, semakin gelap dan gelap? Tidakkah kita harus menyalakan
lentera di pagi? Apakah kita tidak mendengar suara penggali kubur yang sedang
menguburkan Tuhan? Apakah kita tidak mencium bau pembusukan ilahi?—bahkan
pembusukan Tuhan! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah
membunuhnya! Bagaimana kita menghibur diri kita sendiri, pembunuh yang paling
mematikan dari semua pembunuh? Yang paling suci dan paling perkasa yang
dimiliki dunia sampai sekarang, telah mati kehabisan darah oleh pisau
kita,—siapa yang akan menghapus darah dari kita? Dengan air apa kita bisa
membersihkan diri? Kurban apa, permainan suci apa yang harus kita buat?
Bukankah besarnya perbuatan ini terlalu besar bagi kita?”
Saya berkata:
“ Lalu kalau Tuhan telah Mati, siapakah yang akan menggantikannya?”
Friedrich, seperti yang dikatakannya di ‘Kebjijakan yang
Menggembirakan’:
“Tuhan sudah mati: tetapi seperti bagaimana umat manusia
terbentuk, mungkin akan ada gua selama ribuan tahun, di mana orang akan menunjukkan
bayangannya,—Dan kita—kita masih harus mengatasi bayangannya!
Mari kita waspada terhadap mengatakan bahwa ada hukum di
alam. Yang ada hanyalah kebutuhan: tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang
menurut, tidak ada yang melanggar. Ketika anda tahu bahwa tidak ada rancangan, anda
juga tahu bahwa tidak ada peluang: karena hanya di mana ada dunia yang
dirancang, kata ‘kesempatan’ memiliki arti.”
Saya berkata:
“Selain si Gila yang memproklamirkan Tuhan sudah Mati di
buku itu, ada juga si Zarathustra yang berkata: ‘Suatu kali anda mengatakan
'Tuhan' ketika anda menatap laut yang jauh; tapi sekarang saya telah mengajari anda
untuk mengatakan 'Superman’. Siapakah yang dimaksud sebagai Superman itu?”
“AKU MENGAJARKANMU SANG SUPERMAN. Manusia adalah sesuatu
yang harus dilampaui. Apa yang telah kamu lakukan untuk melampaui manusia?
Semua makhluk sampai sekarang telah menciptakan sesuatu di
luar diri mereka sendiri: dan kamu ingin menjadi surut dari gelombang besar
itu, dan lebih suka kembali ke binatang daripada melampaui manusia?
Apa kera bagi manusia? Sebuah bahan tertawaan, hal yang
memalukan. Dan orang yang sama akan menjadi Superman: bahan tertawaan, sesuatu
yang memalukan.
Kamu telah membuat jalanmu dari cacing ke manusia, dan
banyak di dalam dirimu masih cacing. Dulu kamu kera, namun manusia lebih
seperti kera daripada kera mana pun.
Bahkan yang paling bijaksana di antara kalian hanyalah
ketidakharmonisan dan hibrida dari tanaman dan hantu. Tapi apakah saya menawari
Anda menjadi hantu atau tanaman?
Dengar, aku mengajarkanmu sang Superman!”
Saya berkata:
“Merujuk kepada ‘Demikianlahlah Sabda Zarathustra’, saya
menangkap ajakan agar manusia menjadi Superman dengan menyadari bahwa tidak ada
kebenaran objektif dan tidak ada moralitas objektif—bahwa Tuhan dan kebaikan
semuanya adalah buatan manusia belaka. Dengan demikian manusia akan malampaui di
atas yang umum diterima dan menemukan nilai-nilainya sendiri, dan nilai-nilai
yang ditemukan ini akan muncul dari keinginan esensialnya sendiri untuk
berkuasa. Bukankah demikian?”
Friedrich, kembali mengutip secara acak ‘Demikianlah Sabda
Zarathustra’:
“Keindahan Superman datang kepadaku sebagai bayangan. Ah,
saudara-saudaraku! Dari pandangan kita sekarang—Tuhan bagiku!
Manusia adalah tali yang direntangkan antara hewan dan
Superman—tali di atas jurang.
Penyeberangan yang berbahaya, perjalanan yang berbahaya,
pandangan ke belakang yang berbahaya, getaran dan perhentian yang berbahaya.
Apa yang hebat dalam diri manusia adalah bahwa ia adalah
jembatan dan bukan tujuan: apa yang menyenangkan dalam diri manusia adalah
bahwa ia adalah seorang yang Berjalan Melampau ke ATAS dan Turun ke BAWAH.
Aku mencintai mereka yang tidak tahu bagaimana hidup kecuali
sebagai Turun ke Bawah, karena mereka adalah yang Berjalan Melampau ke Atas.
Aku mencintai dia yang tidak terlebih dahulu mencari alasan
di balik bintang-bintang untuk turun dan menjadi pengorbanan, tetapi
mengorbankan diri mereka sendiri ke bumi, agar bumi Superman dapat tiba di
akhirat nanti.
Aku mencintai dia yang membenarkan masa depan, dan menebus
masa lalu: karena dia rela menyerah pada masa kini.
Aku mencintai dia yang memiliki jiwa bebas dan hati yang
bebas: demikianlah kepalanya hanyalah isi hatinya; hatinya, bagaimanapun,
menyebabkan kejatuhannya.
Saya mencintai semua yang seperti tetesan berat yang jatuh
satu per satu dari awan gelap yang turun di atas manusia: mereka memebritakan
datangnya petir, dan menyerahkan diri sebagai pemberita.
Dengar, aku adalah pembawa petir, dan tetesan berat dari
awan: petir, bagaimanapun, adalah SUPERMAN
Saya berkata:
“Pertunjukan si pejalan di atas bentangan tali berbahaya
karena ia harus melintasi tali yang tergantung di atas jurang yang dalam.
Demikian juga, dalam mewujudkan Superman, manusia harus hidup dengan berbahaya.
Dia harus menanggung risiko besar dan tidak pernah tetap stagnan, tetapi
meskipun bahaya selalu hidup demi transformasi diri. Seperti yang dijelaskan
Zarathustra, mereka yang hidup dengan cara ini adalah pribadi yang ditakdirkan
untuk menjadi pembuka jalan bagi Superman. Tapi siapakah Zarathustra itu?”
Friedrich, seperti yang dibilangnya di “Kebajikan yang
Menggembirakan”:
“Orang-orang belum pernah bertanya kepada saya seperti yang
seharusnya mereka lakukan, apa arti sebenarnya dari nama Zarathustra di mulut
saya, di mulut orang yang pertama tidak bermoral; karena yang membedakan orang
Persia ini dari semua orang lain di masa lalu adalah fakta bahwa dia adalah
kebalikan dari seorang tak bermoral. Zarathustra adalah orang pertama yang
melihat dalam perjuangan antara yang baik dan yang jahat roda esensial dalam
bekerjanya segala sesuatu. Penerjemahan moralitas ke dalam ranah metafisika,
sebagai kekuatan, sebab, tujuan itu sendiri, adalah karyanya. Tetapi pertanyaan
itu sendiri menunjukkan jawabannya sendiri. Zarathustra menciptakan kesalahan
yang paling mencolok ini,—moralitas; oleh karena itu ia harus menjadi orang
pertama yang mengungkapkannya. Bukan hanya karena dia memiliki pengalaman
subjek yang lebih lama dan lebih besar daripada pemikir lain mana pun, — semua
sejarah memang merupakan sanggahan eksperimental dari teori yang disebut
tatanan moral, — tetapi karena yang lebih penting fakta bahwa Zarathustra
adalah pemikir yang paling jujur. Dalam ajarannya saja kebenaran dijunjung
tinggi sebagai kebajikan tertinggi—yaitu, sebagai kebalikan dari kepengecutan
dari "idealis" yang mengambil haknya saat melihat kenyataan.
Zarathustra memiliki lebih banyak bulu di tubuhnya daripada semua pemikir lain
yang disatukan. Untuk mengatakan yang sebenarnya dan untuk mengarahkan dengan
lurus: itulah kebajikan Persia yang pertama. Sudahkah saya membuat diri saya
jelas? ... Mengatasi moralitas dengan sendirinya, melalui kejujuran, moralis
mengatasi dirinya sendiri dalam kebalikannya — dalam diriku — itulah arti nama
Zarathustra di mulutku.”
Saya berkata:
“Oh, jadi yang anda maksud adalah sang Zarathustra, yang
dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster, nabi pendiri Zoroastrianisme di Persia
kuno lebih dari 1000 tahun Sebelum Masehi. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa
Zarathustra mungkin adalah nabi monoteis pertama dalam sejarah yang tercatat.
Ia melenyapkan semua dewa kuno dari jajaran Persia, dan hanya menyisakan Ahura
Mazdah, 'Tuhan Yang Bijaksana', sebagai Satu-Satunya Tuhan Sejati. Hal ini,
pada masanya Zarathustra melembagakan reformasi agama yang lebih luas
jangkauannya dan lebih radikal daripada tantangan Martin Luther terhadap Gereja
Katolik Roma.
Kemudian Zarathustra menegakkan konsep moralitas yang dapat
diringkas dengan kata-kata ‘pikiran baik, kata-kata baik, perbuatan baik.’ Menjalani
ketiga prinsip ini adalah cara kita menjalankan kehendak bebas kita dengan
mengikuti hukum Asha. Ketiga etika Zoroastrianisme juga mewariskan
konsep-konsep seperti perjuangan kosmik antara benar dan salah, antara
Asha—Kebenaran dan Kebajikan dengan Druj—Kebohongan, Kejahatan, dan Kekacauan.”
Friedrich:
“Seperti yang dikatakan Zarathustra: 'Marilah kita
membicarakannya, hai orang-orang yang paling bijaksana, meskipun itu buruk.
Diam lebih buruk; semua kebenaran yang ditekan menjadi beracun.”
Saya berkata:
“Zarathustra mendesak untuk membuang Tuhan dan sebaliknya
menciptakan makna baru akan bumi; salah satu yang merangkul keinginan pribadi
untuk mengaktualisasikan dan menegaskan dirinya, dan mempromosikan pengembangan
tubuh yang perkasa di mana naluri alami alami dipandang sebagai sumber energi
untuk disalurkan dan disublimasikan demi mengatasi diri sendiri. Makna baru
ini, Zarathustra mengumumkan menjadi Superman.”
Friedrich lalu mengutip bukunya AntiKristus:
“Di bawah Kekristenan, baik moralitas maupun agama tidak
memiliki titik kontak dengan aktualitas. Dunia yang murni fiktif ini, yang
sangat merugikannya, harus dibedakan dari dunia mimpi; yang terakhir setidaknya
mencerminkan realitas, sedangkan yang pertama memalsukan, merendahkan dan
menyangkalnya. Begitu konsep ‘alam’ ditentang dengan konsep ‘Tuhan’, kata ‘alami’
tentu mengambil arti ‘keji’—seluruh dunia fiktif itu memiliki sumber kebencian
terhadap alam (— nyata!—), dan tidak lebih dari bukti kegelisahan mendalam di
hadapan kenyataan.... Ini menjelaskan segalanya. Siapa saja yang punya alasan
untuk hidup keluar dari kenyataan? Manusia yang menderita di bawahnya. Tetapi
untuk menderita dari kenyataan, seseorang harus menjadi kenyataan yang gagal...
Lebih banyak penderitaan daripada kesenangan adalah penyebab moralitas dan
agama fiktif ini: tetapi kelebihan seperti itu juga menyediakan formula untuk
dekadensi.....”
Saya berkata:
“Namun penolakan manusia akan Tuhan sudah sejak manusia
pertama Adam dan Hawa. Mereka memilih dengan kehendak bebas melanggar perintah
Tuhan dengan makan buah terlarang dari pohon pengetahuan akan yang baik dan
yang jahat. Menurut kepercayaan Kristen, dengan pelanggarannya Adam menjadi makhluk
duniawi, ‘manusia alami’ dengan ‘pikiran badaniah’. Anda dalam ‘AntiKristus’ menyarankan
manusia untuk mengulangi sikap Adam menolak Tuhan seperti pada awal mula.”
Friedrich mengutip ‘Demikianlah Sabda Zarathustra’:
“Akhirnya, setelah tujuh hari, Zarathustra mengangkat
dirinya ke atas dipannya, mengambil apel merah di tangannya, menciumnya dan
menemukan baunya menyenangkan. Kemudian hewan-hewannya berpikir bahwa waktunya
telah tiba untuk berbicara dengannya.
‘O Zarathustra,’ kata mereka, ‘engkau telah berbaring
demikian selama tujuh hari dengan mata berat: tidakkah engkau akan berdiri lagi
di atas kakimu? Keluarlah dari guamu: dunia menunggumu seperti taman. Angin
bermain dengan aroma kuat mencarimu; dan semua anak sungai ingin mengejarmu.
Segala sesuatu merindukanmu, karena engkau telah tinggal
sendirian selama tujuh hari—keluarlah dari guamu! Semua hal ingin menjadi
penyembuhmu! Mungkinkah suatu pengetahuan baru datang kepadamu, pengetahuan
yang pahit dan menyedihkan? Seperti adonan beragi engkau, jiwamu bangkit dan
membengkak melampaui semua batasnya.—'
—O hewan-hewanku, jawab Zarathustra, bicaralah seperti ini
dan biarkan aku mendengarkan! Itu menyegarkan saya untuk mendengar pembicaraan
Anda: di mana ada pembicaraan, di sanalah dunia seperti taman bagi saya.
Bagi saya—bagaimana mungkin ada bagian luar diri saya? Tidak
ada bagian luar! Tapi ini kita lupa ketika mendengar nada-nada; betapa
menyenangkannya kita lupa! Bukankah nama-nama dan nada-nada telah diberikan
kepada hal-hal agar manusia dapat menyegarkan dirinya dengan hal-hal itu? Ini
adalah kebodohan yang indah, katakanlah; dengan demikian manusia menari di atas
segalanya. Betapa indahnya semua ucapan dan semua kepalsuan nada-nada! Dengan
nada-nada menari cinta kita dengan pelangi beraneka ragam.—
—'O Zarathustra,’ kata hewan-hewannya kemudian, ‘kepada
mereka yang berpikir seperti kita, semua hal menari sendiri: mereka datang dan
mengulurkan tangan dan tertawa dan melarikan diri—dan kembali. Semuanya pergi,
semuanya kembali; selamanya memutar roda keberadaan. Semuanya mati, semuanya
mekar kembali; keabadian berjalan pada saat saat kita berada.
Karena binatang-binatangmu mengetahuinya dengan baik, hai
Zarathustra, siapa dirimu dan harus menjadi: lihatlah, ENGKAU ADALAH GURU
BERULANGNYA KEABADIAN,—itulah sekarang takdirmu”
Saya berkata:
“Sebagai penutup, Herr Friedrich, sebagai apakah anda ingin
dikenang dunia?”
Friedrich:
“Seperti yang saya bilang di Ecco Homo: ‘Saya, misalnya,
sama sekali bukan manusia menakutkan, atau monster moral. Sebaliknya, saya
adalah yang sangat berlawanan dengan jenis manusia yang sampai sekarang
dihormati sebagai orang yang berbudi luhur. Di antara kami sendiri, bagi saya
tampaknya ini adalah masalah yang membuat saya merasa bangga. Saya adalah murid
filsuf Dionysus, dan saya lebih suka menjadi satir daripada orang suci. Tapi
baca saja buku ini! Mungkin saya di sini berhasil mengungkapkan kontras ini
dengan cara yang ceria dan sekaligus simpatik—mungkin inilah satu-satunya
tujuan dari karya ini.
Hal terakhir yang harus saya janjikan untuk dicapai adalah
"meningkatkan" umat manusia. Saya tidak mendirikan idola baru; semoga
idola lama hanya belajar berapa biaya untuk memiliki kaki dari tanah liat.
Untuk menggulingkan idola (idola adalah nama yang saya berikan untuk semua
ide-ide) jauh melampaui urusan saya. Dalam proporsi seperti dunia ideal yang
telah diasumsikan secara salah, realitas telah dirampok nilainya, maknanya, dan
kebenarannya.... "Dunia sejati" dan "dunia nyata"—dalam
bahasa sederhana, dunia fiktif dan realitas .... Sampai sekarang kebohongan
ide-ide telah menjadi kutukan realitas; melaluinya sumber naluri manusia itu
sendiri telah menjadi licik dan palsu; sedemikian rupa sehingga nilai-nilai itu
telah dipuja yang merupakan kebalikan dari nilai-nilai yang akan menjamin
kemakmuran manusia, masa depannya, dan haknya yang besar atas masa depan.”
TAMAT
Ini adalah wawancara imajiner mengenang Friedrich Nietzsche
Salah satu daya tarik Dubai adalah Shopping
Malls-nya
yang megah-megah. Dari luar tampak seperti gedung biasa saja, tapi dalamnya
sungguh megah, dengan interior yang menarik dan tertata dengan baik. Sekali kita masuk ke dalam kita merasa betah
di sana, berbelanja, mencari makanan, bermain, nonton atau melihat-lihat saja.
Mall of the Emirates adalah salah satu Mall di
Dubai yang sangat megah, ukurannya yang lebih dari enam ratus ribu meter
persegi diisi oleh toko-toko yang kebanyakan menjajakan barang-barang bermerek
internasional. Ada lebih dari lima ratus toko yang terletak di keempat lantai
Mall ini. Namun kalau tujuan anda bukan untuk berbelanja, ada bioskop dan juga
ada tempat bermain Magic Planet. Setelah lelah, anda dapat mengisi perut di restoran-restoran
yang menyajikan berbagai macam makanan, mulai makanan lokal, Asia dan makanan
Barat, semuanya dihidangkan di ruangan dengan suasana yang indah.
Dan yang unik dari Mall ini adalah anda bisa
bermain ski ruangan tertutup di Ski Dubai. Dengan ski slope setinggi 85 meter
dan panjang 140 meter, ia adalah yang terbesar di dunia. Suhu ruangan dijaga
antara minus satu derajat sampai dua derajat Celsius, agar salju setinggi satu meter tidak
meleleh. Dengan demikian, meskipun suhu di luar sekitar 45 derajat, anda bisa
meluncur di atas salju di dalam Mall ini. Untuk main di sini anda harus membeli
tiket, harganya sekitar 70 USD, tergantung fasilitas yang anda pilih.
Berjalan-jalan dari kawasan Marais yang bangunannya bergaya
abad ke-17 menuju daerah Beaubourg melalui jalan-jalan sempit dan gang-gang,
kami menemukan sebuah bangunan besar dengan gaya unik berwarna-warni. Bangunan
ini adalah Pompidou Center, kompleks multikultural, yang menyatukan berbagai
bentuk seni dan bacaan di satu tempat. Di dalamnya terdapat Perpustakaan
Informasi Publik, perpustakaan umum yang luas, dan Museum Seni Modern. Dinamai sesuai
nama Presiden Perancis 1969-1974, Georges Pompidou, yang menugaskan pembangunan
bangunan ini yang secara resmi dibuka pada 31 Januari 1977.
Dibuat dengan gaya arsitektur modern oleh tim arsitektur
Richard Rogers dan Renzo Piano, bangunan ini tampak seperti bangunan 'bagian dalam-keluar'
dengan sistem struktural, sistem mekanis, dan sirkulasi yang terekspos pada bagian
luar bangunan dengan pipa warna-warni dan saluran. Dari luar, ciri visual
bangunan diwujudkan oleh eskalator mekanis besar, yang dikenal sebagai
"ulat", yang dirancang untuk berfungsi sebagai jalur luar ruangan
vertikal. Ini adalah jalan utama dari Pompidou Centre, melayani semua tingkat
dan mengangkut pengunjung ke atas bangunan. Keterbukaannya memberikan salah
satu pemandangan terbaik ke kota Paris, dan saat anda menaikinya, sepertinya
Anda masih berjalan-jalan di kota.
Lpangan yang luas di depan bangunan merupakan bagian
integral dari Pompidou Center dan berfungsi sebagai penghubung yang kokoh
antara kota dan bangunan, sehingga memungkinkan aliran yang paling alami antara
dua ruang. Lapangan bertindak sebagai paru-paru, tempat kehidupan di mana warga
Paris, turis, dan penonton berpapasan. Orang-orang datang ke sini untuk bertemu
orang lain, berjalan-jalan, beristirahat atau menikmati lingkungan ini. Di
musim semi, lapangan ini menjadi lebih semarak dengan karnaval, band, dan artis
jalanan.
Dari Pompidou Centre, perjalanan kita berikutnya adalah ke
kompleks bangunan modern lainnya di Paris, pusat bisnis La Défense. Dengan naik
Metro dari Hotel de Ville selama kurang lebih setengah jam kita sampai di
stasiun Metro Esplanade, lokasi La Défense. Tepat di atas stasiun metro berdiri
La Grande Arche, monumen kubus 110 meter yang dirancang untuk menjadi versi
akhir abad ke-20 dari Arc de Triomphe. Perancangnya Johan Otto V. Spreckelsen
menggambarkannya sebagai jendela ke dunia. Hal ini dimaksudkan untuk berfungsi
sebagai tempat di mana orang-orang dengan latar belakang dan budaya yang berbeda
dapat bertemu dan berkomunikasi.
Di sekitar Le Grande Arche, La Défense memiliki banyak
gedung tinggi tertinggi di kawasan perkotaan Paris. Ada ratusan gedung tinggi
dan gedung-gedung milik perusahaan papan atas dunia di kawasan ini. Ada juga
pusat perbelanjaan besar, Les Quatre Temps, dengan 220 toko, 48 restoran, dan
bioskop 24 layar. Pastilah tidak cukup satu hari untuk mengelayap di daerah
ini!
Dari stasiun metro Anvers, kami berjalan kaki sedikit di
sepanjang Rue de Steinkerque di daerah Montmartre mengarah ke Place
Saint-Pierre. Montmartre, yang nota bene berarti bukit para martir, menerima namanya berkat Santo Denis, yang
dipenggal kepalanya di bukit ini di abad
ketiga atas perintah kaisar Decius. Santo Denis adalah Uskup Paris saat itu dan
sekarang dikenal sebagai santo pelindung Perancis.
Tak jauh berjalan kemudian tampaklah bangunan putih basilika
Sacré-Cœur bertengger di atas bukit Montmartre. Menakjubkan bahwa basilika yang telah berumur
lebih dari 100 tahun, warna putihnya tidak termakan polusi. Ternyata hal ini
dikarenakan dindingnya dibangun dengan batu kapur travertine dari Château-Landon.
Batu ini memiliki karakteristik yang sangat menarik: kalau kontak dengan air
hujan, lapisan pelindung tipis yang secara alami melapisi batu ini akan mengeluarkan
zat putih yang akan mengeras di bawah sinar matahari. Oleh karena itu, setiap
hujan adalah kesempatan bagi bangunan ini untuk melakukan pemutihan !
Basilika Sacré-Cœur, yang berarti basilika Hati Kudus,
dipersembahkan untuk Hati Kudus Kristus. Dari awal sampai sekarang, umat beriman
bergiliran siang dan malam untuk berdoa disini tanpa henti. Setiap malam,
setelah pintu ditutup pada pukul 10.30 malam, estafet doa berlanjut,
orang-orang yang mendaftar untuk mengikuti acara malam penghormatan kepada Hati
Kudus Kristus. Di langit-langit di atas altar terdapat salah satu mosaik terbesar
di dunia menggambarkan Yesus Kristus yang bangkit, berpakaian putih dan
mengungkapkan hati emas.Mosaik ini dibuat
oleh Luc-Olivier Merson, menampakkan para pemuja di sekeliling Yesus yang diwakili
para orang kudus: St Joan of Arc, St Maria dan St Michael.
Di bagian muka basilika ini di bawah patung Yesus Kristus juga
terdapat patung St Louis IX dan St Joan of Arc yang duduk di atas kuda, selain
dianggap orang kudus mereka juga merupakan tokoh pahlawan Perancis yang
dihormati. Jadi basilika ini juga menjadi simbol nasionalisme Perancis.
Pembangunannya juga adalah upaya
rekonsiliasi nasional dan penebusan dosa atas peristiwa tragedis Komune Paris
tahun 1870-71.
Arsitektur basilika ini unik dibandingkan dengan
gereja-gereja besar lainnya di Paris seperti Notre Dame. Banyak gereja besar di
Perancis memiliki arsitektur gothic, sedangkan arsitek Paul Abadie terinspirasi
untuk mendesain Sacré-Cœur dengan gaya Romawi-Bizantium ini setelah
menyelesaikan banyak restorasi pada gereja yang dirancang serupa di selatan Perancis.
Gaya Bizantium pada bangunannya dicirikan dengan kubah yang tinggi, hasil dari teknik-teknik
baru abad ke-enam, dan interiornya banyak menampakkan mosaik-mosaik.
Begitu kulihat pintu agak
terbuka dalam sekelebat aku berlari keluar. Kuturuni tangga dari lantai dua ke
lantai satu yang langsung menuju halaman. Halaman itu berumput tebal, dengan
pagar yang tak terlalu tinggi yang dengan mudah kupanjati dan aku terus terjun
keluar. Alangkah leluasanya rasanya berada di luar, aku dengan girang berlari di
trotoar jalan tanpa menengok kanan kiri, aku hanya ingin menghirup segarnya
udara luar yang masih pagi ini. Kulintasi ayam-ayam yang berkotek-kotek panik
ketika aku lewati. Terus aku berlari, melewati penjual rokok, kedai bakso dan
tempat parkir motor. Untung tidak ada yang menghalangi.
Aku memang selalu menunggu
kesempatan seperti ini untuk ngabur ke luar. Alasannya sih mencari udara segar,
tapi sebenarnya aku rindu sama si Lu Lu. Dia itu piaraannya sang Youtuber yang
ngetop se-antero nusantara
yang rumahnya terletak beberapa jalanan dari sini. Iya, namanya Lu Lu. Dengan
tak sabar aku terus berlari, kulewati klinik dokter hewan, mudah-mudahan dia
tidak memergoki aku dan mengenali aku, janganlah, bisa panjang ceritanya kalau
kepergok. Tak kusadari kadang-kadang ada mobil lewat di sebelah aku berlari,
hampir menyerempet aku. Yang lebih gawat adalah sepeda motor ojek online, atau lebih
dikenal sebagai ojol, yang meluncur dari belakang ataupun depan. Kadang-kadang
naik trotoar mengusik para pejalan kaki dengan membunyikan klaksonnya yang
nyaring. Berisik,mengganggu ketenangan alam pagi itu.
Selanjutnya baca di novel pertama saya di link Gramedia ini, silahkan login/daftar untuk membacanya:
Berjalan-jalan di Paris memang terasa suasana romantisnya,
kita bisa berlenggang di jalanan berbatuan yang dikepit oleh bangunan-bangunan
kuno. Bangunannya sengaja dilestarikan demikian, tidak dirombak untuk
modernisasi. Renovasi Paris terakhir dilakukan dari tahun 1852 ke 1870 oleh Georges-Eugène
Haussmann atas perintah Napoléon III. Haussmann telah memberi wajah Paris yang terlihat
hari ini serta arsitekturnya. Dia menciptakan jalan raya yang sangat panjang
dan lebar dengan kafe dan toko yang mempengaruhi banyak kehidupan warga Paris. Arsitektur
bangunan Haussmann klasik tidak diperlakukan secara independen tetapi merupakan
bagian dari seperempat, blok, dan dengan demikian gayanya harus koheren dan
selaras dengan arsitektur bangunan lainnya. Lantai dasar memiliki dinding yang
tebal. Lantai kedua menawarkan balkon yang indah dan lantai ketiga dan keempat
dibangun dengan gaya yang sama, meskipun bingkai jendelanya memiliki batu yang
kurang rumit.
Setelah melenggok-lenggok di jalan berbatuan di Le Marais,
sampailah kita di Hotel de Ville. Amboi hotel apa ini bak istana atau museum? Ternyata
dalam bahasa Prancis 'hotel' bisa berarti rumah, gedung, tempat tinggal,
sehingga tidak selalu berarti hotel sebagai tempat persewaan kamar untuk
menginap bagi wisatawan. Saat ini, selain berfungsi sebagai kantor administrasi
kota, Hotel de Ville juga merupakan tempat pameran seni dan budaya. Ada banyak
pameran menarik di dalam gedung dan di lapangan di depan gedung ini.
Dari Hotel de Ville kita berjalan tak jauh hanya beberapa
ratus meter ke arah Selatan sampailah ke sungai Seine. Kita bisa berjalan
sepanjang sungai ini atau naik kapal feri untuk menjelajahi Paris. Ternyata
Menara Eiffel juga berada di tepi sungai ini dan adalah salah satu perhentian
kapal feri itu, namanya Port de la Bourdonnais. Dari sisi ini kita bisa melihat
Menara Eiffel menjulang tinggi, dengan warna coklat khasnya yang disebut Coklat
Menara Eiffel.
Berjalan di sepanjang sungai Seine mengingatkan saya akan
kata-kata dari pelukis Prancis tersohor Claude Monet: “Saya telah melukis
Sungai Seine sepanjang hidup saya, di setiap jam, di setiap musim. Saya tidak
pernah bosan: bagi saya Seine selalu baru.” Namun sungai Seine yang di Paris tidak
secantik lukisan-lukisan Monet yang dibuat di daerah pedalaman Prancis, seperti
Argenteuil, Poissy dsb. Walaupun air sungai yang di Paris tidaklah biru seperti
di lukisan, dan tidak ada tanaman-tanaman teratainya, ia mengalir tenang
mengantar kita ke berbagai sejarah yang berada dekat dengannya, selain Menara
Eiffel, juga Katedral Notre Dame, Museum Louvre, dan Musée d'Orsay.
Saya beranjak menuju gunung Huang Shan di
propinsi Anhui, untuk menemui Li Bai, salah satu penyair Tiongkok yang paling
ternama. Di latar belakangi gunung-gunung berkabut, ia menemui saya bersila di
depan sebuah meja kecil di beranda sebuah warung. Tak ketinggalan secawan
anggur disajikan bagi dia dan saya. Saya bilang ‘tak ketinggalan’ karena sudah
menjadi tradisi di Tiongkok untuk menyajikan anggur atau minuman keras lainnya
kepada tamu sebagai penghormatan. Selain itu Li Bai memiliki reputasi sebagai
sang Penyair Mabuk, karena kegemarannya akan minuman keras sampai mabuk, namun
mampu menulis puisi-puisi menarik dalam keadaan mabuk.
Tampaknya Li Bai ingin memencilkan diri di daerah
sekitar sini, untuk menulis puisi-puisinya, dekat dengan rakyat biasa, setelah
‘dikucilkan’ dari Akademi Kerajaan oleh Kaisar Xuanzong di Chang’an (nama kuno
kota Xi’an). Ia dikucilkan karena
intrik-intrik menteri-menteri yang iri kepada bakatnya menulis puisi-puisi yang
indah. Dia berkelana dari gunung ke gunung, memperdalam Taoisme dan menulis
banyak puisi-puisinya di situ.
Saya menemui Li Bai menjelang fajar di Bright
Peak Summit gunung Huangshan untuk menikmati cahaya keemasan matahari yang
menyeruduk perlahan-lahan dari balik gunung-gunung. Kami berdiam diri saja
sementara Li Bai seperti menulis sebuah puisi, dia memang begitu, bisa secara
spontan menulis puisi ketika terperangah akan sesuatu yang dijumpainya.
Beberapa lama kemudian dia memperlihatkan puisinya:
“Tiga
puluh enam puncak aneh, Dewa-dewa dengan topi simpul hitam.
Matahari
pagi menyinari puncak-puncak pohon, Di sini, di dunia pegunungan langit ini.
Orang-orang
Tiongkok, angkat wajahmu! Selama seribu tahun bangau datang dan pergi.
Jauh
di sana diam-diam aku amati seorang pengumpul kayu bakar,
Mencabut
batang kayu dari celah-celah batu.”
Saya menanggapinya:
“Gunung sering muncul dalam puisi anda, begitukan?”
Li Bai, tersenyum, mengutip pusinya yang lain:
“Anda bertanya apa
alasan saya tinggal di gunung hijau,
Saya tersenyum,
tetapi tidak menjawab, hati saya santai.
Bunga persik terbawa
jauh oleh air yang mengalir,
Selain itu, saya
memiliki surga dan bumi di dunia manusia.”
Saya berkata:
“Surga dan bumi di dunia manusia, wah …sungguh
sangat kental dengan pemahaman Taoisme, yang memandang Alam Semesta sebagai satu kesatuan organik
yang saling berhubungan. Tidak ada yang ada secara terpisah dari yang lain.”
Li Bai:
“Saya
membaca 'Liu Jia' pada usia lima tahun, sebuah buku Tao kuno yang telah lenyap, dan mengikuti seratus sekolah
pada usia sepuluh tahun.Pada usia lima belas tahun, saya dan Dongyanzi, seorang pertapa Tao,
pergi ke gunung Minshan untuk tinggal di sana dalam pengasingan. Saya tinggal
di sana selama beberapa tahun. Kami memelihara banyak burung eksotis di hutan
tempat tinggal dan bekerja sebagai peternak hewan. Burung-burung cantik dan
jinak ini, karena terbiasa kami beri makan,
sehingga mereka datang secara teratur
untuk meminta makanan. Seolah-olah
mereka dapat memahami bahasa orang, dengan panggilan, mereka terbang dari
mana-mana lalu turun, bahkan dapat mematuk tangan orang. Dengan adanya gandum, mereka
tidak takut sama sekali.”
Saya berkata:
“Sebelum anda mengasingkan diri ke daerah ini,
kabarnya anda pernah menjadi pejabat tinggi mengabdi kepada Kaisar Xuanzong di
Chang’an. Bagaimanakah itu terjadi?”
Li Bai:
“Saya berkeliaran di sekitar Zhejiang dan
Jiangsu dan akhirnya berteman dengan Wu Yun, seorang pendeta Tao terkenal, yang
punya hubungan erat dengan Kaisar Xuanzong. Suatu hari Wu Yun dipanggil oleh
Kaisar untuk menghadiri istana kekaisaran, dan ia memberi pujian besar tentang saya. Pujiannya
membuat Kaisar Xuanzong memanggilku ke istana Chang'an. Tampaknya Kaisar, para
bangsawan, dan orang biasa sama-sama terpesona oleh bakat dan perangaiku.
Mulanya ia memberi saya jabatan sebagai penerjemah karena saya menguasai bahasa
selain bahasa Tiongkok. Akhirnya Kaisar memberi saya jabatan di Akademi Hanlin,
akademi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan keahlian ilmiah dan puisi bagi
Kaisar”.
Saya berkata:
“Tentunya anda menulis puisi-puisi bagi Kaisar
Xuanzong?”
Li Bai:
“Saya menulis beberapa puisi tentang Yang
Guifei, permaisuri favorit Kaisar yang cantik dan terkasih.”
Saya berkata:
“Boleh saya mendengar salah satunya?”
Li Bai:
“Awan mengingatkan
saya pada pakaiannya, bunga mengingatkan saya pada wajahnya,
Angin musim semi
bertiup ke pegangan tangga, embunnya sangat subur.
Jika kita tidak bisa
bertemu di atas Gunung Batu Giok,
Kemudian kita pasti
akan bertemu satu sama lain di teras batu giok yang berjemur di bawah sinar
bulan.”
Saya berkata:
“Hmmm… dengan menyebut Gunung Batu Giok, puisi
ini menggambarkan bahwa sang permaisuri demikian menawan seperti dari peri
dunia kayangan, dan kalian akan bertemu di dunia fana di bawah sinar rembulan…Kesan
Taoismenya sangat terasa ya, alam kayangan dan bumi merupakan satu keutuhan
yang indah dan harmonis.
Salah satu puisi lainnya yang anda tulis
semenjak duduk di istana adalah mengenai mabuknya minum anggur. Suatu tema yang jarang
diungkapkan sebagai puisi, karena dianggap tidak bernilai, tidak indah, dan
terlalu’fana’. Anda tampaknya sangat mendalami
rasa kemabukan mungkin karena memang anda terkenal gemar minum minuman keras
sampai mabuk, dan anda bahkan menulis
puisi -puisi yang terbaik dalam keadaan mabuk. Salah satu puisi anda yang
terkenal adalah “Minum sendirian di bawah Bulan”, yang sanggup menuangkan rasa
kemabukan dan kesepian secara puitis dan romantis, yang digemari publik karena perasaan
itu ‘membumi’ sesuai dengan kebiasaan sesungguhnya orang-orang Tiongkok dari
segala kalangan suka mabuk-mabukan.”
Li
Bai, menerawang ke langit lalu mengutip
“Minum sendirian di bawah Bulan”:
“Di antara bunga-bunga
menunggu sebotol anggur.
Saya menuangkan minuman untuk
diri saya sendiri, tidak ada orang yang saya cintai di dekat saya.
Mengangkat cangkir saya, saya
mengundang bulan yang cerah
dan mengalih ke bayanganku.
Kami sekarang bertiga.
Tapi bulan tidak mengerti
minum,
dan bayanganku mengikuti
tubuhku seperti budak.
Untuk sementara waktu, bulan
dan bayangan akan menjadi teman saya,
sukacita singgah yang harus berlangsung sepanjang
musim semi.
Aku bernyanyi, dan bulan
hanya goyah di langit;
Aku menari dan bayanganku
berputar-putar seperti orang gila.
Saat masih jernih, kami
bersenang-senang bersama!
Tapi tersandung mabuk,
masing-masing terhuyung-huyung sendirian.
Terikat selamanya, tanpa
henti kita berkeliaran:
bersatu kembali pada akhirnya
di sungai bintang yang jauh.”
Saya berkata:
“Wow, sangat mengesankan perasaan kesepiannya
yang dipadukan dengan tarian alam semesta. Puitis ,romantis dan sekali lagi
sangat kental rasa Taoismenya.
Namun, dengan puisi-puisi yang anda tulis begitu
indah mengapa anda sampai terpental dari Istana?”
Li Bai:
“Gara-gara si Gao Lishi pejabat kasim yang paling besar
pengaruh politiknya di istana. Dia iri kepada saya dan bersama pejabat-pejabat dengki
lainnya bersekongkol menyingkirkan saya dengan berbagai intrik. Mengenal
kebiasaan saya akan minum sampai mabuk itu, pada suatu hari mereka memperangkap
saya minum sampai mabuk. Lalu dalam keadaan mabuk saya dihadapkan ke Kaisar untuk
dipermalukan. Kaisar marah lalu mengusir saya dari istana, sehingga saya
memutuskan untuk meninggalkan Chang’an…”
Saya berkata:
“Bagaimana perasaan anda meninggalkan
Chang’an?”
Li Bai, mengutip puisinya ‘Kota Choan’ nama
lain dari ‘Kota Chang’an’ atau Xi’an:
Burung phoenix
sedang bermain di beranda mereka.
Burung phonix pergi,
sungai mengalir sendirian.
Bunga dan rumput
Menutupi jalan yang
gelap
di mana terletak rumah
dinasti Go.
Kain cerah dan topi
cerah Shin
Sekarang menjadi dasar
bukit-bukit tua.
Tiga Gunung jatuh
melalui surga yang jauh,
Pulau Bangau Putih
memisahkan kedua aliran itu.
Sekarang awan tinggi
menutupi matahari
Dan saya tidak bisa
melihat Choan dijauhan
Dan saya sedih.
TAMAT
Artikel ini adalah
wawancara imajiner untuk mengenang Li
Bai