Sabtu, 12 Juli 2025

Wawancara dengan Natsume

 

Sebelum wawancara dengan Natsume, aku menyempatkan diri mengunjungi kota Matsuyama. Kota ini menjadi setting dari novel Natsume yang berjudul ‘Botchan’. Ia pernah ditugaskan sebagai guru di Matsuyama, dan pastilah pengalaman itu yang mengilhaminya menulis novel yang bercerita tentang seorang guru matematika sekolah menengah yang ditugaskan mengajar di Matsuyama. Guru itu bernama Botchan yang artinya ‘Tuan Muda’ dalam bahasa Jepang. Botchan memiliki karakter yang tidak umum bagi seorang guru, yakni mulutnya sarkastis, perkataannya tajam tanpa dipoles, yang tanpa sungkan-sungkan ditujukan baik kepada murid-muridnya maupun rekan-rekan guru lainnya. Ia memaki-maki murid-muridnya yang sering usil dan jahil kepadanya. Ia juga lantang dan tajam berbicara kepada guru-guru lainnya yang tidak disukainya. Ia memberi julukan-julukan kepada guru-guru yang tingkahnya aneh-aneh. Narasi yang segar dan komikal membuat novel ini sangat digemari di Jepang dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Agaknya, setiap pelajar di Jepang pernah membaca novel ini. 

Kota Matsuyama ternyata tidaklah begitu ketinggalan jaman seperti yang dibilang si Botchan. Tentunya kota ini tidak bisa dibandingkan dengan Tokyo, kota besar tempat tinggal Botchan sebelum pindah ke Matsuyama. Di sini, aku juga mencari dan menemukan pemandian air panas yang sering dikunjungi Botchan, tempat pelariannya setiap sore hari sehabis mengajar di sekolah. Nama tempat pemandian ini Dogo Onsen, sebuah pemandian umum yang cukup besar dan terkenal. Bangunannya tiga lantai, terbuat dari kayu tertata dengan indah dan megah. Air panas di kolam pemandiannya bersumber dari bumi mengandung banyak mineral.  Sungguh melegakan rasanya berendam di kolam air panas ini, melemaskan otot-otot dan sendi-sendi yang pegal. Aku bisa membayangkan bagaimana Botchan menikmati hangatnya air dan merasa pulih kesegarannya setelah berendam beberapa saat saja.

Maka, saat aku berjumpa dengan Natsume di rumahnya di Waseda-Minamicho, Tokyo, aku memulai percakapan tentang Dogo Onsen ini.

 

Aku:

“Natsume-san, saya berkunjung ke Matsuyama sebelum saya kesini, sekedar untuk mengenal kota ini yang menjadi kota tempat Bochan mengajar. Walaupun nama kota itu tidak disebutkan di novel itu, beberapa pembaca dapat menerka, karena anda sendiri pernah mengajar di Matsuyama. Di kota ini saya menemukan Dogo onsen dan mencoba berendam di air panas pemandian ini. Konon, Dogo onsen inilah pemandian yang sering dikunjungi Botchan di waktu senggangnya, berhubung penggambaran pemandian di novel ini sesuai dengan bangunan Dogo onsen ini. Apa betul Dogo onsen ini adalah tempat Botchan mandi setiap hari?”

 

Natsume:

“Ya, menurut Botchan, bangunannya tiga lantai, kolam mandinya terbuat dari granit, berukuran sekitar 10 meter persegi. Biasanya ada tiga belas atau empat belas orang di dalam kolam, tapi terkadang tidak ada. Kalau tidak ada orang, Bochan mengambil kesempatan untuk berenang di kolam ini, walaupun kola mini ini bukan kolam renang dan ada peringatan yang menuliskan: “Dilarang berenang di dalam kolam.” Peringatan itu seakan ditulis khusus buat Botchan yang sering mencuri-curi berenang di kolam itu waktu sepi. Sesuai kebiasaan umum, kolam itu untuk tempat berendam menikmati hangatnya air, kolamnya terlalu kecil untuk berenang.”

 

Aku:

“Kelihatannya ada muridnya yang mengetahui bahwa Botchan sering berenang di kolam itu dan melaporkannya. Jadi, keesokan harinya Botchan terkejut ketika masuk ke ruangan sekolah, di papan tulis ada tertulis: “Dilarang berenang di dalam kolam.” Ha... ha... ha.... Saya teringat jaman sekolah dulu, memang murid-murid kadang-kadang suka usil begitu...”

 

Natsume, juga tertawa:

“Ya murid-muridnya usil karena Botchan itu guru muda yang baru mengajar di sekolah itu. Bayangkan, si Botchan itu kalau pergi ke pemandian itu selalu membawa handuk yang sama berukuran besar, ukuran Eropa. Handuk ini berwarna agak merah seperti warna air panas yang mengandung mineral di pemandian  Dogo onsen itu. Handuk ini senantiasa digenggam tangannya kalau pergi ke pemandian itu, baik saat berjalan maupun saat naik kereta api ke sana. Oleh karena itu, para murid menjulukinya “Handuk Merah”.  Ha... ha... Sepertinya semua murid bersekongkol untuk menguntitnya ke mana saja untuk mengamati apa yang dikerjakan guru muda ini... Ha..ha..”.

 

Aku, ikut tertawa:

“Tapi, si Botchan itu tidak kalah bandelnya, ia hadapi murid-muridnya dengan umpatan-umpatan yang sarkastis dan meladeni keusilan murid-muridnya dengan galak. Ia memberi hukuman yang setimpal kepada murid-muridnya. Para guru banyak yang mencela tindakan Botchan kepada murid-muridnya, yang dianggap tidak layak dilakukan seorang guru. Botchan pun tidak mau kalah, dan membantah mereka dengan ungkapan-ungkapan yang makin sarkastis. Ia bahkan siap bertempur dengan guru-guru yang tidak mencelanya. Guru-guru itu diolokinya dengan julukan-julukan sesuai dengan tingkah laku aneh guru itu...”

 

Natsume:

“Ya, terutama si “Baju Merah”, kepala guru yang munafik dan manipulatif, itu musuh besarnya. Ia diberi julukan begitu karena setiap hari ia memakai baju berbulu merah, dan berbicara seperti wanita, ... ha... ha...”

 

Ya memang si “Baju Merah” itu tokoh yang sangat menyebalkan. Aku mereka-reka apakah memang ada rekan guru Natsume di sekolah itu yang bertingkah seperti si Baju Merah, yang mengilhami Natsume menulis karakter seperti ini. Seperti halnya kota Matsuyama yang menjadi setting novel ini, dan tempat pemandian yang penggambarannya sesuai dengan Dogo onsen, mungkin karakter-karakter dalam cerita ini juga sesuai dengan orang-orang yang dikenalnya selama mengajar di sekolah itu.

Kota Matsuyama, selain sebagai settingnya “Botchan”, adalah juga kota di mana Natsume bertemu kembali dengan Shiki Masaoka, sahabat kentalnya sejak di sekolah. Shiki Masaoka banyak menulis Haiku semenjak di sekolah waktu itu, dan Natsuke terpengaruh menulis Haiku olehnya. Haiku adalah puisi pendek terdiri dari 3 baris dan 17 silabel, yang populer di Jepang. Haiku yang pendek ini menuangkan kesan yang dialami penulisnya dalam sekejap, yang spontan dirasakan dalam suatu perjumpaan. Haiku bisa mengenai hal yang sederhana yang dijumpai sehari-hari, hal-hal yang ringan dan lucu, namun bisa juga mendalam ungkapannya, yang eksistensial, tentang cinta dan kematian. Sejak di situ, Natsume, bersama Shiki, juga banyak menulis Haiku, baik mengenai perjumpaan yang sepele, yang lucu, maupun yang mendalam.


Aku:

“Kabarnya di Matsuyama anda bertemu teman akrab anda Shiki Masaoka, dan bersama-sama meluangkan waktu untuk menulis Haiku di sana. Bagaimana anda bisa bersahabat dengan Shiki Masaoka, yang boleh dibilang adalah salah satu Haiku Master di Jepang?”

 

Natsume:

“ Shiki Masaoka itu sahabat saya sejak di sekolah, dan dia sudah banyak menulis Haiku di masa itu. Ia telah mengumpulkan puisi-puisinya dalam satu buku yang dia beri judul “Nanakusashu”, yang juga merisi puisi-puisi bergaya tulisan Tiongkok dan Haiku. Suatu hari ia mengedarkan buku itu di dalam kelas untuk dikomentari teman-temannya. Saya membubuhkan komentar saya di akhir buku itu,  serta melampirkan sembilan puisi-puisi yang saya tunjukan kepadanya untuk. “


Aku:

“Seperti apa puisi yang anda tulis...?”

 

Natsume, mengutip salah satu puisinya yang dia tulis di buku itu:

“Hidup dalam ketiadaan agak bergaya,

Musim panas ini Anda memutuskan untuk menyewa kamar di House of the Fragrant Moon di tepi sungai.

Sementara menghabiskan waktu menulis puisi yang menampilkan lanskap pedesaan gandum hijau dan bunga rapeseed kuning,

Musim telah berganti, dan musim gugur dengan bunga merah lada air dan bunga putih gulma mengambang telah tiba lagi.”


Aku: “Bagaimana pendapat Shiki...?”

 

Natsume:

“Ia menyukai puisi itu..., puisi itu mengingatkan pengalamannya saat liburan musim panas di Mukojima. Ia menyewa kamar untuk menulis kumpulan puisi “Nanakusashu” itu, lokasi itu  menurutnya adalah dunia tanpa arti, yang merupakan tempatnya mendapatkan inspirasi untuk tulisan-tulisannya.

Tapi di kemudian hari saya menganggap puisi-puisi itu kekanak-kanakan.... Saya merasa sungguh malu dan memintanya merobek puisi-puisi itu... “


Aku: “Saya tidak merasa begitu...”

 

Natsume:

“Bagaimanapun, sejak itu kami menjadi sahabat yang akrab, nama pena saya “Soseki” sebenarnya adalah salah satu nama pena Shiki, yang kemudian dihibahkannya kepada saya. Dan sampai sekarang saya bernama Natsume Soseki...”

 

Aku: “Apakah ada artinya Soseki itu...?”


Natsume: “Soseki berasal dari ungkapan dari “Shinjo” di jaman Tang dinasti di Tiongkok, yang artinya ‘Berkumur dengan Batu’ ...”.


Aku mengernyitkan kening: “Berkumur dengan Batu? Kok aneh?”


Natsume: “Ya, itu pengandaian bagi seorang yang kalah tapi tidak mau mengakui kekalahannya, Bad Looser... ha...ha..”


Aku ikut tertawa: “Hmm... itulah nama pena yang dihibahkan Shiki, ya... Jadi nama itu menertawakan diri kalian, ya....”


Natsume:

“Kami menjadi teman dekat dan sering berbagi Haiku dan tulisan puisi Tiongkok dalam surat-surat kami. Shiki terkesan dengan puisi-puisi Tiongkok yang saya tulis, dan saya terkesan dengan Haiku-Haiku yang dia tulis, jadi kami saling bertukaran puisi untuk menuturkan pikiran dan perasaan kami. Ketika di Matsuyama, kami semakin banyak menulis Haiku bersama-sama. Saat itu ia sebenarnya datang ke kota ini untuk memulihkan penyakit tuberculosis yang dideritanya, karena kota ini sebenarnya adalah kota kelahirannya. Di sana kami mencurahkan waktu luang kami untuk Haiku, dan juga menulis puisi-puisi di pertemuan-pertemuan dengan penyair-penyair dan murid-murid kami.”


Aku: “Wah... kalian sangat produktif ya menulis puisi...”


Natsume: “ Ya, Shiki sangat berbakat, tapi di kemudian hari ia mengakui bahwa sebagai pelajar, ia murid yang kurang rajin...”


Aku: “Ya banyak orang-orang terkenal yang tidak rajin belajar, nilai-nilai rapornya tidak cemerlang dan bahkan banyak yang gagal di sekolah...”


Natsume:

"Ya, Shiki banyak mengalami hambatan ketika belajar di sekolah, bahkan di tingkat akhir ia berniat mengundurkan diri dari Tokyo Imperial University karena ia gagal di ujian akhir. Saya menerima surat darinya tentang niatnya itu, saya menjadi sangat gusar dan langsung membalas suratnya berusaha menenangkan pikirannya agar ia tidak salah jalan… di akhir surat itu saya membubuhkan Haiku untuk menyejukkannya yang berbunyi: ‘ Burung cuckoo malam, jika engkau menangis, menangislah kepada bulan purnama...’ … Untuk anda ketahui nama Shiki berarti burung cuckoo...”

 

Aku berkata: “Lalu, apakah anda berhasil mengubah pikirannya ...?”


Natsume: “Sayangnya …., setahun kemudian dia benar-benar mengundurkan diri dari Tokyo Imperial University....”


Di tengah percakapan kami, Kyoko, istri Natsume, masuk membawa nampan berisi camilan yang diletakannya di atas meja di depan kami yang sedang duduk bersila. Aku melihat panganan dengan warna warni menarik, ada kue mochi, kue khas Jepang yang terbuat dari beras ketan. Ada tiga macam warna kue-kue itu, putih, jingga dan coklat. Yang berwarna jingga ada rasa jeruknya, menyegarkan. Natsume langsung mengambil kue mochi yang coklat dan memakannya dengan lahap. Kelihatannya dia lapar juga saat itu. Kyoko mengatakan bahwa Natsume punya gangguan asam lambung yang parah, sehingga di sering lapar seperti itu. Kyoko berbicara sambil tersenyum lebar dengan ramah, namun giginya terlihat kurang teratur dan kuning.  Natsume sendiri pernah berkata tentang istrinya ‘giginya tidak teratur dan berwarna kuning, tapi ia tidak peduli untuk menyembunyikannya. Aku menghargai keterbukaannya’. Aku ingat itu adalah kata-kata Natsume yang dicatat oleh Kyoko.

Natsume sendiri orangnya jangkung, dengan kumis yang cukup lebat, matanya berwarna emas kecokelatan. Ada bekas luka cacar di wajah sebelah kanannya, yang tertutupi rambut yang halus. Di potret-potret bekas luka ini tidak pernah kelihatan, mungkin karena pemotretnya menghormatinya untuk tidak menunjukkan sisi wajah itu.

Aku lalu mencoba mochi yang coklat, ternyata rasanya rasa kacang merah. Kyoko lalu menghidangkan sepoci teh hijau yang umum diminum di Jepang. Rasa tehnya yang agak pahit serasi dengan rasa mochi coklat ini. Sambil menikmati mochi dan teh yang hangat itu, aku mengamati ruangan rumah ini. Rumah ini dindingnya, lantainya semua terbuat dari kayu, khas rumah tradisional Jepang. Lantainya ditutupi tatami, tikar tebal yang terbuat dari jerami. Dinding dan langit-langit semua dari kayu. Sekat-sekat ruangan terbuat dari rangka kayu dan kedua sisinya ditutupi dengan washi berwarna putih, sejenis kertas yang liat dan tahan lama. Kertas washi itu tembus cahaya, membuat ruangan lebih terang, membuat siapa saja betah duduk di sini. Walau duduk bersila cukup lama, aku tak merasa lelah.

Tiba-tiba dari balik sekat datang seekor kucing, yang tanpa basa basi langsung duduk di pangkuan Natsume. Kucing itu sejenis kucing calico berukuran sedang, dengan bulu seperti bulu kucing Persia berwarna abu-abu kekuningan dengan bintik-bintik hitam legam. Kucing itu duduk dengan manja, dielus-elus tangan Natsume. Langsung saja aku mengenali kucing ini sebagai si kucing dalam buku “Saya seekor Kucing” karangan Natsume. Ya, naratornya si kucing ini, yang sering ngoceh memberi komentar tentang tuannya, Mr. Sneaze, yang adalah guru Bahasa Inggeris. Kebetulan atau tidak, si Natsume juga pernah menjadi guru Bahasa Inggeris. Kucing itu juga bercerita bahwa tuannya mempunyai gangguan asam lambung yang parah….

 

Aku lalu berkata:

“Kucing ini sangat mirip dengan kucing yang berperan dalam buku ‘Saya seekor Kucing’, tentunya banyak cerita-cerita yang diocehkan si Kucing itu berdasarkan pengalaman anda sesungguhnya…”

 

Natsume tersenyum saja….

 

Aku:

“Itu penyakit gangguan asam lambung yang diceritakan si Kucing tentang tuannya, Mr.Sneaze,  kelihatannya cukup parah… Saya mendengar keluhan dari orang-orang yang mengalami penderitaan seperti yang dialami Mr.Sneaze itu...”

 

Natsume:

“ Istrinya selalu menyuruhnya minum Taka-Diastase untuk penyakitnya, tapi Mr.Sneaze itu tidak mau lagi meminumnya, karena tidak manjur. Istrinya terus memaksanya minum obat itu, tapi Mr.Sneaze ngotot menolaknya, katanya tidak berguna. Istrinya lalu menjadi heran karena dulunya Mr. Sneaze setiap hari minum obat itu dan menganggapnya bekerja seperti mujizat. Namun istrinya terus berceloteh bahwa diperlukan kesabaran untuk menyembuhkan penyakit itu, kalau tidak sabar tidak akan sembuh.  Gangguan asam lambung itu memang lama penyembuhannya..., istrinya berkata begitu sambil memandang pelayan rumah tangganya, seakan meminta persetujuan... dan pelayan itu tentu setuju saja dengan perkataan istrinya....”

 

Aku:

“Pembaca buku ini dapat mengenali gaya cerita ‘Rakugo’, yang merupakan pertunjukan monolog Jepang, yang diceritakan dengan lucu. Seperti stand-up komedi di bar-bar, si Kucing itu bertutur secara demikian… ”

 

Natsume:

“Memang gangguan asam lambung yang saya derita menjadi cukup parah sehingga saya harus dirawat di rumah sakit ketika sedang menulis ‘Pintu Gerbang’. Kemudian saya mengungsi ke Shuzenji untuk penyembuhan.  Saya menginap di ryokan Kikuya di tepi Sungai Katsuragawa, di dekatnya juga ada onsen, tempat pemandian air panas.  Saya merasa seperti pulang ke rumah setelah perjalanan panjang. Tapi keadaan saya memburuk dan memuntahkan 800 gram darah, sehingga saya mengalami rasa  dekat kematian di saat itu.”


Aku:

“Kebetulan saya juga membaca ‘Pintu Gerbang’ , atau ‘Mon’ judul aslinya, yang anda tulis di masa gawat itu, saya sangat terkesan dengan novel itu. Sangat menarik bagaimana anda menceritakan kehidupan sehari-hari seorang bernama ‘Sosuke’, yang kebetulan juga mirip dengan nama pena anda ‘Soseki’. Dalam cerita itu  Sosuke mengungsi ke sebuah kuil di Kamakura untuk mencari kedamaian dengan mempelajari Zen dan latihan meditasinya. Dan setahu saya anda juga pernah mempelajari Zen dan meditasinya di Kuil Enkaku-ji di Kamakura itu.”


Natsume:

”Tapi ternyata kehidupan yang penuh meditasi di kuil itu tidak sesuai bagi Sosuke, ia selalu terlambat bangun untuk meditasi pagi, meditasi yang lama baginya terlalu melelahkan dan makanan vegetarian yang disediakan terasa hambar. Setelah sepuluh hari ia pulang ke rumah.”


Aku:

“Pintu Gerbang yang dimaksud dalam novel ini tampaknya adalah Pintu Gerbang kuil ini, Pintu Gerbang menuju pencerahan yang ingin dicapai Sosuke...”

 

Natsume, mengutip ‘Pintu Gerbang’:

“Dia datang ke sini mengharapkan gerbang dibuka untuknya. Tetapi ketika dia mengetuk, penjaga gerbang, di mana pun dia berdiri di belakang gerbang tinggi, tidak menunjukkan wajahnya. Hanya suara tanpa tubuh yang bisa didengar: ‘Tidak ada gunanya mengetuk. Buka gerbang untuk diri Anda sendiri dan masuk.’

Tapi bagaimana, dia bertanya-tanya, dia bisa membuka palang gerbang dari luar? Secara mental ia merancang skema yang melibatkan berbagai langkah dan langkah. Tetapi ketika sampai pada hal itu, dia mendapati dirinya tidak dapat mengumpulkan kekuatan untuk menerapkan rencananya. Dia berdiri di tempat yang sama dia berdiri sebelumnya ketika mulai merenungkan masalahnya. Seperti sebelumnya, dia mendapati dirinya terdampar, tanpa daya atau jalan keluar, di depan gerbang yang tertutup. Dia telah hidup dari hari ke hari sesuai dengan kemampuan pikiran. Sekarang dengan kecewa, dia bisa melihat bahwa kemampuan ini telah menjadi kutukan. Pada satu ekstrem, dia iri pada pikiran sederhana yang keras kepala dari orang-orang naif yang tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain. Dari sudut pandangan yang lain, ia memandang dengan kagum disiplin diri spiritual dari orang-orang awam yang penuh kepercayaan, baik pria maupun wanita, yang meninggalkan kebijaksanaan konvensional dan menyingkirkan gangguan pemikiran analitis. Tampaknya bagi Sōsuke bahwa sejak saat kelahirannya, sudah menjadi takdirnya untuk tetap berdiri selamanya di luar gerbang. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun jika benar bahwa, bagaimanapun, dia ditakdirkan tidak akan pernah untuk melewati gerbang ini, ada sesuatu yang sangat tidak masuk akal tentang tindakannya mendekati gerbang ini pertama kali. Dia menoleh ke belakang. Dia melihat bahwa dia tidak memiliki keberanian untuk menelusuri kembali langkahnya. Dia melihat ke depan. Jalan itu selamanya terhadang oleh gerbang yang tertutup rapat. Dia adalah seseorang yang ditakdirkan untuk tidak melewati gerbang ataupun seorang yang puas karena tidak pernah melewatinya. Dia adalah salah satu dari jiwa-jiwa malang yang ditakdirkan untuk berdiri di bawah bayang-bayang gerbang, membeku di jalurnya, sampai hari itu selesai.”

 

TAMAT

Artikel ini adalah wawancara imajiner mengenang Natsume Soseki.

 

Sumber-sumber:

 

https://www.library.tohoku.ac.jp/en/collections/soseki/life.html

https://www.japanesewiki.com/person/Soseki%20NATSUME%20(novelist).html

https://old-tokyo.info/getting-closer-to-natsume-soseki-in-waseda-museum

https://www.outdoorjapan.com/regions-in-japan/chubu-region/shizuoka/shuzenji-sanctuary

https://eprints.soas.ac.uk/32308/1/4752_Taguchi.pdf

 





Rabu, 26 Februari 2025

Nikko, di Kuil Toshogu

 

Dari balik jendela bus yang kami tumpangi kami bisa melihat pemandangan pegunungan yang memesonakan. Saat ini baru mulainya musim panas, daun-daun dan rumput hijau kelihatan muda dan segar, menghampar di pegunungan. Sang pemandu wisata berkata bahwa di musim gugur pemandangannya lebih indah lagi, daun-daun memerah dan menguning keemasan sebelum mereka gugur, memberi panorama yang mengagumkan sepanjang perjalanan. Kami hanya bisa membayangkannya, dari foto-foto yang pernah kami lihat, dengan impian agar suatu saat bisa menikmati pemandangan aslinya di musim gugur. Tentunya musim gugur ini adalah musim wisata yang paling sibuk, para wisatawan, dalam negeri maupun luar negeri, sudah jauh hari sebelumnya merencanakan perjalanan mereka ke sini.

Kami berada dalam perjalanan dari Tokyo ke pegunungan Nikko. Nikko adalah tempat bersejarah dengan pemandangan indah pegunungan di Utara Tokyo. Keberadaan tempat-tempat bersejarah yang terletak di lereng pegunungan, dilengkapi dengan pesona pedesaannya, mengilhami pepatah yang berbunyi: “ Jangan pernah berkata kekko sampai anda melihat Nikko”, artinya kalau anda ke Jepang, jangan pernah puas sebelum anda melihat Nikko.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kuil Toshugu, sebuah kuil yang dibangun untuk mengabadikan Tokugawa Ieyasu. Nama kuil mengacu pada Tosho Daigongen, yang berarti 'Cahaya Dewa Agung dari Timur', nama kehormatan yang diberikan kepada Tokugawa Ieyasu setelah kematiannya.  Dia adalah pemimpin samurai besar yang memimpin dan menyatukan Jepang pada abad ke-17. Ia mendirikan Keshogunan Tokugawa yang memerintah selama lebih dari 250 tahun, menjadikannya tokoh samurai terkemuka dalam sejarah Jepang. Seperti pemimpin Jepang lainnya, rohnya dianggap suci dan kuil ini dibangun untuk menampung rohnya, menurut kepercayaan Shinto. Oleh karena itu, kuil ini sarat akan nilai sejarah dan sangat sakral karena kuil ini merupakan tempat pemakaman dan tempat tinggal roh Tokugawa Ieyasu.

Dari pintu masuk ke kuil belakang, Toshogu dihubungkan melalui satu jalan yang cukup lebar dan menanjak. Di ujung jalan, ada sebuah Gerbang besar, yang disebut Torri (Ishidorii). Torri yang terbuat dari batu itu menandai pintu masuk ke Kuil Toshogu, yang menurut kepercayaan Shinto melambangkan pintu masuk ke tempat suci.

Biasanya, Kuil Shinto dibuat sederhana dengan mempertimbangkan keharmonisan dengan alam sekitarnya, mengundang pengunjung memanjatkan doa-doa dan persembahan di kuil ini. Tidak demikian halnya dengan Kuil Toshogu. Kuil ini adalah perpaduan antara Kuil Shinto dan Kuil Buddha, membuat kuil ini berdimensi megah. Kesederhanaan sama sekali tidak menjadi pertimbangan, bangunan-bangunannya malah kaya dengan ornamen dengan berbagai warna, termasuk hiasan daun-daunan emas, yang bisa membuat tercengang pengunjung yang mengamatinya.

TAMAT

Sumber:

https://www.kanpai-japan.com/nikko/toshogu







Selasa, 31 Desember 2024

Tokyo, di Robot Restaurant

 

Saat berjalan-jalan di malam hari di Kabukicho, kami melihat sebuah restoran yang sangat unik. Namanya Robot Restaurant, dengan papan nama  besar-besaran di bagian atas restoran dengan bola-bola lampu yang berkilauan sehingga bisa terlihat dari jauh. Siapa pun yang mengunjungi daerah ini tidak akan luput memperhatikan restoran ini. Kami bertanya-tanya restoran macam apa itu, apakah kami akan dilayani oleh robot atau semacamnya? Sebenarnya, tempat tersebut menawarkan pertunjukan kabaret bertema Robot yang spektakuler, dan menyebutnya sebagai restoran sebenarnya agak menyesatkan. Tempat ini adalah lebih menyajikan pertunjukan daripada restoran. Mereka memang menyajikan makanan di sana, tapi itu adalah jenis makanan yang disantap sambil menonton pertunjukan. Penataan ruangannya seperti panggung arena yang dikelilingi tempat duduk penonton, tidak seperti penataan meja makan pada umumnya di restoran.

Pertunjukannya mencengangkan, nyaring dan penuh energi sejak awal. Penari, lampu laser, lampu sorot yang mempesona, bercampur dinosaurus dan robot menari seirama dengan ketukan drum. Benar-benar spektakuler. Gerakannya tampak tidak dikoreografikan, namun pertunjukannya sebenarnya merupakan Gerakan-gerakan yang direncanakan dengan cermat dan memerlukan persiapan berminggu-minggu. Para penari harus menguasai segalanya mulai dari menari hingga bermain drum, pole dancing, dan mengendarai robot untuk pertunjukannya. Begitulah yang dikatakan salah satu penari kepada kami setelah pertunjukan.

Meskipun tampaknya tidak ada alur cerita dalam pertunjukan berdurasi 90 menit tersebut, tampaknya ini adalah pertarungan klasik antara pasukan robot. Penarinya berkisar dari kawaii (imut-imut) hingga binatang mengerikan, karakter anime konyol hingga karakter fantasi Jepang kuno. Ada musik rock yang menggelegar di ruangan itu, dengan prajurit putri berbikini melawan robot transformator setinggi 3 meter. Mereka datang untuk menggoda anda di setiap sudut dan di depan tempat duduk Anda. Ada juga hiu raksasa yang menyerang robot kuda, panda Kung-Fu yang bergulat di Segway. Mereka membuat kami tersenyum.

Selama 90 menit kami memasuki dunia yang berbeda, monster dan karakter kawaii menjadi nyata, mainan robot menjadi besar, ini adalah pertunjukan sekaligus pesta liar. Tempat ini adalah salah satu tempat wisata terbaik di Tokyo, terletak di kawasan kehidupan malam Shinjuku. Robot Restaurant mendapat reputasi baik tidak lama setelah dibuka pada tahun 2012, namun sayangnya harus ditutup selama pandemi Covid 19 dan tetap ditutup selamanya.

 

TAMAT




Sabtu, 14 Desember 2024

Wawancara dengan Chairil

 

Wah, aku beruntung bisa berjumpa dengan Chairil di Toko es krim Artic, di Kramat Raya, Batavia. Ia sedang duduk di pojok di meja kursi rotan. Seperti biasa ia tertekun membaca buku tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ketika aku tegur ia mengangkat kepalanya dari buku dan tersenyum menyambutku. Ia seakan ingat janjinya untuk aku wawancarai, tapi sangat sulit menemuinya selama ini. Mungkin ia berusaha menghindar karena sebenarnya ia kurang suka keramaian publikasi. Jadi aku beruntung memergokinya di pojok sini.

Tapi aduh, mukanya kucel, matanya merah seperti kurang tidur. Wajahnya muram dan lesu.

“Tadi malam begadang ya  Ril...?” Aku menyapa.

“Ngga juga… biasa begini…” katanya basa basi dengan menerawang, kemudian melirik ke pintu masuk ketika bel pintu itu berbunyi. Rupanya ada seorang noni Indo yang masuk. Toko es krim ini memang banyak didatangi remaja-remaja Indo dan Belanda, banyak yang baru pulang sekolah. Suasananya menjadi meriah. Rupanya ini yang di cari ‘Si Binatang Jalang’, begitu ia menyebut dirinya sendiri dalam pusinya yang terkenal, nongkrong di sini sambil cuci mata noni noni putih bersih berambut kepirang-pirangan. SeBelum ada es krim di mejanya, jadi aku menawarkan: “Ingin makan es krim apa… Ril? “

“Apa saja sih…” katanya.

“Oke… aku orderkan es krim mokka ya… yang ada biskuitnya…” kataku.

Tapi ia seperti tidak peduli. Ia memang tidak peduli apa yang dia makan, ia hanya merokok terus. Tubuhnya kurus seperti tidak terurus. Wajahnya tirus pucat, dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pakaiannya pun sekenanya, bajunya luntur dan celananya lusuh. Benar-benar seperti “Binatang Jalang, yang terbuang dari kumpulannya.”

Padahal setahu aku orang tuanya berada, bapaknya bupati Indragiri. Dan ia anak tunggal, jadi bisa dibayangkan dimanjakan sejak kecil. Semuanya ada dan tidak pernah terluntang lantung. Aku jadi ingin bertanya.

 

Aku: “ Saya boleh tanya kepada anda … Ril, masa kanak-kanak anda tentunya serba berkecukupan dan menyenangkan… ya…?”

 

Chairil:

“ Lihatlah cinta jingga luntur:

Dan aku yang pilih

tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur

rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi

pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang

Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di

zaman kanak,

Lihatlah cinta jingga luntur:

Kalau datang nanti topan ajaib

menggulingkan gundu, memutarkan gasing

memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan

aku sudah lebih dulu kaku.”

 

 

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia. Ia tinggal di rumah pamannya, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia. Meskipun demikian ia seperti orang yang hidupnya tidak teratur, pakaiannya kumuh, makannya tidak teratur, kelayapan ke mana-mana dan sering numpang tidur di kamar kawan-kawannya.

 

Pelayan menghidangkan dua es krim mokka di meja kami. Chairil mengacuhkannya, ia menerawang saja, hingga es krimnya mulai meleleh.

 

Aku bertanya: “Ada nostalgia di Toko ini… Ril…?”

Chairil:

“Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu plus coca cola

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

 

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

ketika kita bersepeda kuantar kau pulang

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.”

 

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali

bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

 

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti plus Greet plus Amoi hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.”

 

 

Beberapa waktu yang lalu, setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan, Belanda melakukan agresi militernya untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Indonesia. Bersama tentara Sekutu mereka berhasil menguasai wilayah Jawa Barat.  Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi. Akibatnya, Tentara Republik Indonesia (TRI) banyak yang memilih mundur ke pedesaan dan bergabung bersama rakyat setempat untuk membangun pertahanan menghadapi serangan Belanda. Beberapa pasukan TRI bermarkas di Desa Rawagede dan dipimpin oleh Kapten Lukas Kustarjo. Celakanya, markas pejuang di Desa Rawagede diketahui oleh antek-antek Belanda.

 

Tanpa pikir panjang, tentara militer Belanda segera mempersiapkan rencana penyerangan mendadak terhadap Kapten Lukas dan prajuritnya. Belanda berusaha mencari keberadaan Kapten Lukas, namun mereka tidak berhasil menangkapnya. Belanda lalu mengumpulkan penduduk laki-laki berusia sekitar 14 tahun di lapangan. Satu per satu dari mereka ditanyai perihal keberadaan Kapten Lukas, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Jawaban mereka tentu tidak membuat Belanda langsung percaya begitu saja. Para pemuda ini kemudian diperintahkan jongkok membelakangi tentara Belanda dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala. Dalam sekejap, tubuh-tubuh mulai berjatuhan setelah dieksekusi oleh Belanda.

 

 

Aku: “Anda menulis puisi untuk mengenang para pemuda remaja yang baru-baru ini dibunuh Belanda di antara Karawang dan Bekasi, bisa anda ceritakan kenangan itu…”

 

Chairil:

 

“Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

 

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

 

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

 

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

 

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

 

Kenang, kenanglah kami.

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

 

 

TAMAT

 

Tulisan ini adalah wawancara imajiner mengenang Chairil Anwar

 

Sumber:

 

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/12/195042579/peristiwa-pembantaian-rawagede-1947?page=all