Berjalan-jalan di
Tokyo di sore hari kita bisa melihat banyak orang membanjiri pedestrian yang
besar-besar. Nampaknya orang sini, meskipun mereka terkenal pekerja keras dalam
waktu kerja yang panjang, tidaklah langsung pulang ke rumah setelah pulang
kerja. Mereka suka makan angin di jalanan, berkunjung ke toko-toko, warung kopi
dan bar-bar sepulang kerja. Suasananya meriah, mereka banyak hanya ngobrol di
depan bar-bar atau di lapangan-lapangan di Shinjuku.
Daerah Shinjuku
selalu hiruk pikuk dan sibuk, karena ini merupakan pusat bisnis di pagi hari
dan daerah hiburan di malam hari. Daerah ini pada mulanya bertumbuh sebagai
daerah pusat pengiriman pos bagi para pendatang, dan lambat laun berubah
menjadi daerah kesibukan kota setelah stasiun kereta apinya dibuka setelah masa
Meiji. Selanjutnya, banyak jalur kereta api digunakan oleh sebagian besar
penduduk yang tinggal di Timur Tokyo, bertemu di Shinjuku, yang mengembangkan
stasiun ini menjadi terminal yang sangat besar dan sibuk.
Kalau anda peminat
gaya pakaian anak muda, tidak ada tempat lain di dunia di mana kita bisa
melihat kebudayaan anak muda di jalanan yang begitu dinamis, berwarna warni,
dan belia dengan gaya yang berubah tiap hari seperti yanng terjadi di Jepang,
terutama di Tokyo, pusat busana baru yang mananjak di dunia.
Kalau anda mencari
gaya busana tertentu bagi muda-mudi, Takeshita Street, dan sekelilingnya,
adalah tempatnya, yang menjajakan tak terbilang banyaknya gaya-gaya unik. Anda bisa mendapatkan baju pemain band, gaya
puteri raja, gaya goth, dan bahkan kostum-kpstum beraneka ragam. Ini yang
membuat jalan ini begitu unik dan populer. Anda bisa membeli apa saja, mulai
dari sepatu boot sampai tutup telinga, dan t-shirt pemain band sampai pernak
pernik dalam gaya bermacam-macam yang anda tidak bisa dapatkan di tempat asal
anda – dengan harga yang terjangkau pula.
Sulit dibayangkan
bagaimana busana kultur pop Jepang telah berkembang dengan gejala yang begitu
bebas yang menonjolkan keunikan pribadi di negara yang menghargai kebersamaan,
mementingkan harmoni, kesopanan, hirarki dan tradisi.
Jauh dari keramaian
kota, ada dunia yang lain. Di tengah hutan pepohonan, melalui jalan setapak yang
berkelok-kelok dengan 3000 lentera di sepanjang jalan, berdirilah kuil Kasuga
Taisha. Kuil ini adalah kuil Shinto, lokasinya sengaja dipilih di dalam hutan
pepohonan. Agama Shinto sangatlah erat berhubungan dengan alam dan berjalan di
tengah hitan pepohonan membuat anda merasa berjalan di dunia yang lain, walaupun
letaknya hanya beberapa kilometer dari jalanan yang ramai.
Ke 3000 lentera
tersebut merupakan simbol dari ke 3000 kuil Kasuga yang tersebar di seluruh Jepang.
Setiap lentera merupakan sumbangan dari seorang warga untuk berterimakasih dan dukungan
terhadap kuil itu. Tulisan di setiap lenteramenunjukan dewa yang mana lentera itu dipersembahkan, atau nama
penyumbang lentera itu.
Aku menemukan karya Katsushika ketika
menengok-nengok suvenir di depan sebuah toko suvenir di gunung Fuji di stasion
nomor 5, tampak gambar- gambar dari sebuah ombak besar menggulung dengan latar
belakang gunung Fuji yang tertempel di gelas, kipas, gantungan kunci dan tee
shirts.
Entah bagaimana keunikan gambar itu berkesan di ingatan sebagai suatu
gaya lukisan Jepang, dengan kata lain gambar itu memperlambangkan sebagai
sesuatu yang Jepang, gambar itu menjadi ikonik. Bukan main kuatnya pengaruh
gambar itu.
Kemudian, ketika membaca internet kuketemukan
bahwa gambar itu adalah “The Great Wave off Kanagawa” (“Ombak Dahsyat Dekat
Kanagawa”), karya ukir cetak kayu yang dicptakan oleh Katsushika Hokusai, yang
merupakan bagian dari karya ukir cetak kayunya Thirty-six Views of Mount Fuji
(Tigapulu- enam Pemandangan Gunung Fuji).
Lalu aku berusaha menghubungi Katsushika-san
untuk sebuah wawancara, dan berhasil bertemu dengannya di suatu pagi yang cerah
di kediamannya.
Aku berkata:
“Katsushika-san, karya anda yang terkenal
“The Great Wave off Kanagawa” dan karya-karya lain yang paling penting dari
serial Gunung Fuji dibuat di awal “fase akhir” hidup anda. Anda sudah memiliki
karir yang panjang dengan ukiyo-e – seni dunia melambung- dengan karya cetak
indah tentang pedagang kelontong yang bergegas, wanita penghibur dalam kimono
dan peziarah yang terpesona akan bulan di atas Edo (Tokyo jaman dulu) kota
tempat tinggal anda. Namun, keandalan kreatifitas anda sepertinya berkembang di
fase akhir hidup anda, di usia tujuhpuluhan. Mengapa anda “melambung” begitu
terlambat?"
Katsushika-san:
“Tahun 1820-an adalah masa sulit bagi saya,
saya disambar petir di umur 50, dapat serangan jantung di umur 60 tahunan yang
membutuhkan saya beradaptasi kembali dengan pekerjaan seni saya. Jadi saya
hanya berbuat sedikit di umur 60 tahunan; isteri saya menjadi sakit dan salah
satu puteri saya meninggal. Saya bisa mengatasi situasi ini karena saat itu
saya kaya dari hasil pekerjaan saya.
Tapi selanjutnya saya dihadapi nasib sial
cucu saya yang punya banyak hutang dari kebiassan judinya dan saya harus
membayar semua hutangnya. Namun di sekitar tahun 1828, saya kirim cucu saya ke
tempat jauh di Utara Jepang di mana dia tidak bisa berjudi. Lalu saya bebas
untuk bekonsentrasi pada kreatifitas saya berkarya. Walaupun, bahkan ketika
menggambar The Thirty-six Views, saya jarang cukup makan. Edo diserang oleh
cacar dan banjir, dan kebakaran di tahun 1839 menghancurkan seluruh karya
studio saya.
Salah satu faktor bagi melambungnya karya
saya adalah munculnya warna cat biru Prussian di pasar, yang diimport dari
dunia Barat. Sebagai pigmen sintetis, warna ini lebih bertahan lama dan
menurunkan harga sedemikian rupa sehingga bisa digunakan sebagai bayangan warna
dalam cetakan untuk pertama kalinya.
Sebuah gambar yang dicetak sepenuhnya dalam
nada warna Prussian melukiskan pemandangan dengan suasana seperti pada saat
sebelum senja. Gambaran ombak dahsyat yang dimasukkan di bagian tengah, dengan
gunung Fuji nun jauh di latar belakang, membuat ombak biru membuih di bagian
muka memberi dimensi yang lebih dalam bagi gambar ini.”
Aku berkata:
“ Periode ukiyo-e – seni dunia melambung –
menggambarkan Jepang yang melambung, atau Jepang yang makmur, yang biasanya
menggambarkan segi riang gembira kehidupan kota – termasuk wanita penghibur dan
pemain kabuki. Itu adalah masa hedonis dunia Jepang, yakni hidup untuk saat
ini, berpesta, dansa, mabuk-mabukan, diiringi membengkaknya perekonomian Edo
(Jepang tempo dulu). Seni dunia melambung, ukiyou-e, menanjak dengan permintaan
pasar, gambar-gambar kabuki, wanita cantik, geisha, wanita penghibur menjadi
populer dan dipajang di rumah-rumah.Sehingga anda juga melambung, karya cetak
kayu anda laris terjual saat itu.
Lalu munculah karya cetak kayu anda The Great
Wave yang menggambarkan ombak besar yang akan menelan kedua perahu nelayan.
Apakah itu merupakan suatu “peringatan tsunami” terhadap dunia melambung yang
akan datang dalam beberapa menit?”
Katsushika-san:
“tu bukan tsunami, ombak besar, tapi bukan
tsunami. Gambar itu untuk dekorasi, yang memperlihatkan salah satu dari
berbagai pandangan terhadap Gunung Fuji yang agung, dalam warna biru Prussian.
Bagi saya, dunia lebihlah panoramik, dan kesenangan terletak dalam membuat
representasi grafis yang baru bagi setiap fenomena visual. Sehingga, lebih dari
5000 cetakan dari the Great Wave dibuat dan terjual di masa itu.”
Aku berkata:
“Memang anda dikenal sebagai seorang
bisnisman yang andal, anda memiliki intuisi yang baik tentang minat
populer.Anda juga pandai mempromosikan
diri sendiri, menciptakan lukisan-lukisan sangat besar dengan bantuan
murid-murid anda. Di suatu festival di Edo di tahun 1804, anda membuat lukisan
potret sepanjang 180 meter dari seorang biarawan Budhis dengan mengunakan sapu
sebagai kuas.Beberapa tahun kemudian,
anda mempublikasikan serial buku sketsa yang paling laris dengan lukisan
setinggi bangunan 3 lantai menggambarkan pelopor Zen Buddisme.”
Katsushika-san:
“Dari sejak umur 6 tahun, saya punya
kecenderungan untuk menggambar segala macam bentuk, dan dari umur 50
gambar-gambar saya sering dipublikasikan; namun sampai umur 70 tahun, tidak
satupun yang saya gambar layak diperhatikan…. Jadi ketika saya mencapai 80
tahun, saya berharap untuk dapat meningkatkan mutu, dan di 90 tahun untuk dapat
melihat lebih lanjut prinsip-prinsip mendasar dari segala hal, sehingga pada
umur 100 tahun saya akan mencapai tingkat ilahi dalam karya seni saya, dan pada
umur 110, setiap titik dan setiap sapuan akan nampak hidup.”
Aku berkata:
“Anda melukis berbagai naga, mahluk yang
berumur panjang, lusinan jumlahnya.Anda
juga melukis burung phoenix, burung kebangkitan,
dan gunung Fuji; berganti-ganti, dengan tangguh, bertahan lebih lama dari semua
pelukis sejawat anda, penulis kaligrafi, pembuat ukiran cetak kayu, dan penjual
buku berwarna yang banting tulang agar bisa hidup di Edo, Tokyo lama.
Anda mengganti nama anda begitu seringnya,
sekitar 30 kali, seringkali sehubungan dengan pergantian gaya seni dan
prodcuksi anda, yang dipakai untuk membelah-belah hidup anda dalam
perioda-perioda.”
Katsushika-san berkata sambil tersenyum:
“Di usia tujuhpuluha-an, saya bernama Manji,
yang berarti “hal hal kesepuluhribuan” atau “segalanya”.Itulah yang ingin saya lukiskan - segalanya. Batu
nisan saya akan bertuliskan nama saya yang terakhir, Gakyo Rojin Manji, yang
berarti “Orang tua yang Gila akan Lukisan.”
Aku berkata:
“Anda juga membuat gambar-gambar manga.Ada 15 jilid gambar-gambar manga yang
merupakan esiklopedia gambar untuk segala hal di muka bumi ini: kodok, ular,
samurai, pegulat sumo, payung, pasar ikan, pembajak sawah, lautan dan teko teh.
Anda juga membuat ‘shunga’, atau gambar-gambar ‘musim semi ‘erotis Jepang’,
yang cukup gamblang secara seksual seperti “the Dream of Fisherman’s Wife”
(Mimpi Isteri Nelayan) yang menjadi salah satu gambar cetak erotis Jepang yang
paling tersohor.”
Katsushika-san:
“Shunga adalah karya seni seksual yang
gamblang, yang dibuat dengan kesempurnaan teknik yang persis sama dengan karya
seni dalam format lain oleh seniman yang sama. The Dream of Fisherman’s Wife
adalah berdasarkan kisah Puteri Tamatori, yang populer di masa Edo.
Dalam cerita ini, Tamori adalah seorang wanita
penyelam pencari kerang yang sederhana yang menikah dengan Fujiwara no Fuhito
dari klan Fujiwara, dan lalu yang mengejar Ryujin, naga dewa laut, yang mencuri
mutiara keluarga suaminya. Bersumpah untuk membantu, Tamatori menyelam menuju
dasar laut mencari istana bawah laut Ryugo-jo tempat tinggal Ryujin, namun ia
kemudian dikejar oleh dewa itu dan pasukan mahluk bawah lautnya, termasuk para gurita.
Ia membelah buah dadanya untuk menyembunyikan
perhiasan itu di dalamnya; hal ini membuatnya bisa berenang lebih cepat dan
melarikan diri, namun dia mati karena lukanya sesaat setelah muncul kepermukaan.
Kisah Tamatori adalah bahan populer untuk
seni ukiyo-e. Seniman Utagawa Kuniyoshi menciptakan karyanya berdasarkan kisah
ini, yang sering menampilkan gurita-gurita, di antara mahluk-mahluk yang mengejar penyelam yang bertelanjang dada itu.
The Dream of the Fisherman's Wife bukanlah
satu-satunya karya seni yang menggambarkan hubungan erotis antara seorang
wanita dan gurita. Beberapa ukiran-ukiran netsuke periode awal menunjukan gurita
menggumul tubuh wanita telanjang.”
Aku berkata:
“Lalu siapakah pelanggan seni Shunga ini?”
Katsushika-san:
“Di masa Edo bukan hanya lelaki yang
menghargai Shunga, namun juga wanita menjadi pelanggannya. Kemudian, jelas ada
minat dari yang muda dan tua akan Shunga, tanpa peduli status atau lokasi, dan
termasuk orang-orang kota, petani, dan juga intelek kelas satu dan penguasa
Shogun. Kita juga bisa melihat bahwa
Shunga bukan sekedar pemuas nafsu seksual, tapi ditujukan untuk menggambarkan
berbagai aspek dari seksualitas.”
Aku berkata:
“Terima kasih
Katsushika-san atas obrolan yang menarik ini, semoga anda panjang umur dan
sukses selalu dengan karya anda….”
Ini adalah wawancara
imajiner mengenang Katsushika Hokusai.
Tokyo Disneyland adalah
Disney park pertama yang dibangun di luar Amerika Serikat, dibuka di tahun
1983.Taman ini dibangun dengan gaya
yang sama seperti Disneyland di California dan Magic Kingdon di Florida.
Taman ini mempunyai
tujuhdaerah bertema: the World Bazzar;
ke empat Disneylands tradisional: Adventureland, Westernland, Fantasyland dan
Tomorrowland; dan dua mini-lands: Critter Country dan Mickey's Toontown.
Banyak dari
daerah-daerah itu mencerminkan daerah asli Disneyland yang berdasarkan Filem
dan fantasi Disney Amerika. Fantasyland termasuk Peter Pan's Flight, Snow
White's Scary Adventures, Dumbo the Flying Elephant, berdasarkan filem Disney
dan karakter-karakternya.
Istana Cinderella
adalah istana dongeng di pusat Tokyo Disneyland.Istana itu merupakan ikon internasional
terkenal dan atraksi utama untuk taman Disneyland.Ruang utama dongeng Cinderella terletak di
dalam istana itu dimana berbagai karya seni dipamerkan yang memperlihatkan
jalan cerita Cinderella itu.
Di lobi dan koridor,
pengunjung akan menemukan 8 dinding mozaik yang memperlihatkan bagaimana
Cinderella berubah dari puteri yang disayangi , menjadi pembantu rumah tangga,
dan kemudian menjadi seorang Puteri.
Dinding mural mozaik
itu dirancang oleh Dorothea Redmond dan dibuat dan dipasang di situ oleh satu
kelompok seniman yang terdiri dari 6 orang pimpinan ahli mozaik Hanns-Joachim
Scharff. Panel- panel ornamen sebesar 4.6 x 3.0 meter dibentuk melengkung dalam gaya Gothic.
Dibutuhkan 22 bulan
untuk menyelesaikan dinding mural tersebut yang terdiri dari lebih dari
300,000potongan gelas Italui dan smalti
kasar (gelas yang dibuat khusus untuk mozaik yang yang dipakai oleh tukang
mozaik tradisional Itali) dalam lebih dari 500 warna.
Banyak potongan gelas
yang dipotong tangan disambung dengan perak sterling dan emas 14 karat (58%)
dan ada potongan-potongan yang sekecil kepala paku payung.
Kalau hiasan mural ini
dilihat dengan seksama, orang bisa melihat bahwa setiap saudara tiri Cinderella
yang jahat diperlihatkan dengan sedikit warna tambahan- salah satu wajah dari
saudara tiri jelas “merah dengan kemarahan”, sedangkan yang lainnya sedikit
“hijau dengan cemburu” ketika mereka melihat Cinderella mencoba sepatu kaca.
Nara adalah ibukota daerah Nara yang terletak di daerah
Kansai, Jepang. Nara pernah menjadi ibukota Jepang dari tahun 710 ke 794,
sehingga periode ini dinamai periode Nara. Todai-ji atau Kuil Timur Agung, yang terletak di kota Nara,
adalah sebuah kompleks kuil Buddhis yang dulunya merupakan salah satu dari
Tujuh Kuil Agung yang berkuasa.Todai-ji
adalah kompleks bangunan-bangunan yang mencakup bangunan kayu yang terbesar di
dunia, yang ruang utamanya diisi patung tembaga Buddha yang kolosal.
Pengaruh Buddhisme berkembang di era Nara selagi
pemerintahan Kaisar Shomu dan permaisurinya Komyo yang menggabungkan doktrin
Buddhis dengan kebijaksanaan politik – mempromosikan Buddhism sebagai pelindung
utama Negara.
Di tahun 741, menurut laporan diperintahkan oleh keinginan
sang Permaisuri, Kaisar Shomu memerintahkan semua kuil–kuil dan biara-biara
untuk dibangun di seluruh 66 propinsi Jepang dibawah pengawasan kerajaan baru
Todai-ji yang akan dibangun di ibukota Nara.
Kuil Todai-ji yang luas dibangun sebagai simbol kekuasaan
kerajaan, dan dibutuhkan lebih dari 15 tahun untuk menyelesaikannya dengan
biaya besar. Motif kaisar Shomu untuk membangun Kuil Todai-ji dalam skala
demikian besar nampaknya merupakan gabungan antara yang spritual dan yang
pragmatis: dalam usahanya mempersatukan berbagai kelompok di Jepang dan di
bawah pemerintahan sentralistisnya, Kaisar Shomu juga mempromosikan kesatuan
spriritual.
Todai-ji kemudian akan menjadi kuil utama dari sistem
biara-biara dan menjadi pusat dari ritual nasional. Pembangunannya mengumpulkan
tenaga ahlibangunan di Jepangdengan teknologi mutakhir. Bangunan itu
adalah arsitektur untuk mengagumkan orang-orang – mempertunjukkan kekuasaan,
prestise dan kealiman kerajaan Jepang.
Di tengah kuil Buddhis ini, anda akan menumukan patung
Buddha Agung yang terbesar, atau Daibutsu, terbuat dari tembaga. Tinggi patung
ini 15 meter dan beratnya 500 ton.
Sang Buddha duduk bersila dengan tapak tangan kanan terjulur
ke muka. Sikap ini berarti “ jangan takut” dan “ pengalihan rasa cemburu dan
iri” menjadi kebijaksanaan menyeluruh.
Menjangan, yang dianggap juru bicara dewa-dewa dalam agama
Shinto, berkeliaran dengan bebasnya di lapangan. Menurut legenda seorang dewa
mitologis, Takemikazuchi, turun ke Nara dengan menjangan putih untuk melindungi
ibukota Heijokyo.
Menjangan-menjangan yang berada di Nara adalah menjangan
Sika atau menjangan bertotol yang juga dikenal sebagai menjangan menunduk
karena sering kali menundukkan kepalanya ketika diberi makanan.
Anda akan menemukan banyak menjangan di sini dan anda dapat
memberinya makanan, namun anda perlu membeli makanannya dulu.