Cari Blog Ini

Sabtu, 08 Agustus 2020

Wawancara dengan Haruki


Photo: pinktentacle.com
Baru-baru ini saya mengikuti drama TV Jepang “Aibou” (Partners) sebuah drama detektif serial di internet. Dramanya cukup menarik, seperti halnya banyak filem detektif Jepang drama serial ini memiliki alur cerita yang kompleks, sebegitu kompleksnya hingga sulit ditelan. Nampaknya penulis drama itu membuat jalur ceritanya kompleks agar makin misterius, membuatnya makin sulit menebak ‘siapakah yang melakukannya’. Selain itu, kisahnya kadang mencerminkan kebudayaan dan tradisi Jepang yang unik, seperti sikap yang menjunjung tinggi kesempurnaan dalam perbuatan, kejujuran, kebanggaan akan profesi, kehormatan dan pengorbanan bagi masyarakat, yang terpilin dengan tindakan kejahatan dalam drama ini.

Namun, ketika saya sampai di episode 9 dan 10 dari Season 11 drama ini, saya terkesiap menontonnya, karena ceritanya didasari tradisi yang sangat aneh dan mengherankan. Saya tak bisa membayangkan seseorang melakukan tindakan ini di dunia nyata. Namun, mengenal bahwa drama serial ini sering memasukkan tradisi Jepang dalam ceritanya, tindakan ini pastilah nyata, bukan fiksi.

Tindakan kejahatannya terjadi di sebuah daerah pegunungan yang terpencil yang diselimuti hutan yang lebat, sebuah tempat yang terasa sangat teduh dan damai hingga sulit membayangkan sebuah kejahatan bisa terjadi di sini. Kejahatan itu terjadi terdorong oleh sebuah praktek dari abad ke 11 yang disebut Sokushinbutsu, sebuah tindakan memumikan diri oleh seorang biksu agar menjadi “seorang Buddha dalam badan ini”. Di dalam praktek Sokushinbutsu sang biksu dengan sengaja mematikan diri agar melestarikan badannya menjadi mummi, dengan kehendak mencari nirwana.

Saya sangat penasaran untuk mengetahui apakah yang melandasi tradisi religious ini, bagaimana sampai bisa terjadi begini? Jadi saya menghubungi Haruki, seorang biksu yang saya kenal, yang berdiam di Kuil Churenji  di Dewa Sanzan, distrik Yamagata. Saya mengambil perjalanan 4 jam dengan Shinkansen dan kereta api express dari Tokyo ke stasiun terdekat di Tsuruoka. Perjalanannya melalui daerah yang paling teduh di Jepang, melihat daerah pedalaman, pegunungan, ditandai dengan kuil-kuil yang tersembunyi di hutan lebat. Setelah sampai di Tsuroka saya mengambil bus ke Kuil Churenji untuk menemui Haruki, namun karena kuil itu tidak terbuka bagi publik hari itu, kami pergi ke sebuah warung teh di dekat situ untuk bercakap-cakap.

Aku membuka percakapan:
“Tempat yang sangat teduh di distrik Yamagata ini dikatakan sebagai salah satu tempat yang paling indah untuk berjalan-jalan di Jepang. Saya beruntung bisa melihat keindahan tempat ini yang dikelilingi pegunungan diselimuti pohon-pohon cedar yang tinggi-tinggi membentuk hutan yang lebat, yang membuat kita merasa pohon-pohon itu menjangkau ke atas untuk memberi penampungan dan perlindungan terhadap badai. Pegunungan yang menjulang tinggi dianggap musuh dan daerah angker bagi manusia untuk menjelajahinya, sementara hutan memberi kita rasa damai yang luar biasa.

Jadi, saya kira kita bisa mengerti bahwa di jaman dulu agama Shinto kuno (Koshinto) menyembah alam, yang dikenal sebagai animisme di dunia Barat. Keindahan dan keteduhan tempat ini sangatlah luar biasa hingga mereka menganggap setiap elemen alam ini adalah ilahi. Gunung, lautan dan sungai semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’ dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara. Angin dan halilintar juga adalah ‘kami’. Singkatnya Koshinto berpegangan bahwa tidak ada di dunia atau di kosmos yang tidak memiliki energi ilahi; ‘kami’ berada di mana saja.
Gunung Yudono di mana Kuil Churenji berada, juga dianggap  sebagai salah satu gunung yang dikeramatkan diantara 3 gunung-gunung Dewa Sanza. Bisakah anda memberi sedikit gambaran.”
Haruki:
“Gunung-gunung memiliki peranan penting di dalam agama di Jepang sejak jaman dulu kala. Gunung yang tinggi dianggap angker dan berbahaya, namun mereka disembah sebagai sumber dari sungai yang memberi kehidupan yang menyuburkan sawah dan desa-desa di bawah. Menjulang ke langit dan seringkali tertutup oleh awan, gunung-gunung seperti itu dianggap sebagai surga dan diperlalukan dengan kekaguman dan hormat. Tanpa harus menjadi Shinto, semua manusia dapat memiliki kesan seperti ini tentang gunung-gunung.

Gunung Yudono adalah salah satu pusat dari penyembahan gunung di Dewa sanzan (“tiga gunung Dewa”) di distrik Yamagata. Ketiga gunung itu adalah Haguro-san, Gas-san dan Yudono-san; Haguro-san mewakili kelahiran, Gas-san mewakili kematian dan Yudono-san mewakili kelahiran kembali, gunung-gunung itu biasanya dikunjungi sesuai urutan itu.

Dewa Sanzan adalah pusat dari Shugendo, suatu agama berdasarkan penyembahan gunung, campuran antara Buddhis dan tradisi Shinto. Para penganut Shugendo, melakukan tindakan pengorbanan diri sebagai jalan untuk mentransedensikan dunia jasmaniah.”

Aku berkata:
“ Lalu bagaimana jadinya penyembahan gunung menjadi pusat dari Sokushinbutsu, sebuah praktek memummikan diri seorang biksu?”

Haruki:
“Sokushinbutsu adalah salah satu praktek bertapa yang berat dari Shugendo, biksu-biksu berusaha memelihara badan mereka menjadi mummi melalui diet yang ekstrem dan meditasi. Para biksu percaya bahwa pencerahan dapat dicapai di dunia kini, dan mereka percaya bahwa dengan meninggalkan suatu jejak Buddha di dunia ini dalam wujud Sokushinbutsu, mereka dapat memberi keselamatan kepada penduduk di sini, bahkan setelah kematian sang biksu.”

Aku berkata:
“Bagaimana mereka melakukan mummifikasi diri itu?”

Haruki:
“Ritus mummifikasi diri ini sangat panjang dan sangat menyakitkan. Hal ini bukanlah pengorbanan yang sederhana dan biksu itu menghabiskan hidupnya setelah proses panjang penistaan yang tahap akhirnya berlangsung sekitar 1000 hari. Makanan para biksu terbatas pada apa yang bisa ditemukan di gunung, sepert kacang-kacangan, tunas tanaman, buah berrie, kulit pohon dan jarum pinus. Bentuk makanan ini disebut mokujikigyo, yang secara harafiah berarti “latihan memakan pohon”. Ketika sang biksu tidak mencari makanan ia menghabiskan waktunya bertapa di gunung. Makanan ini dimaksudkan untuk menguatkan mental, dan dari segi biologis diet yang berat dimaksudkan untuk menghilangkan lemak, otot dan kelembaban. Efek yang diharakan adalah mencegah pembusukan jasad setelah kematian. Sang biksu juga meminum the beracun dari kulit pohon (toxicodendron verniculum)  yang diharapkan akan mempercepat kematian dan membuat badan menjadi lebih tidak ramah terhadap bakteri dan parasite yang akan membusukkan jasad setelah kematian. Kulit pohon itu memiliki kadar racun yang sama tingginya seperti di tanaman poison ivy.

Setelah itu, sang biksu akan berhenti makan semuanya, minum sedit air asin selama 100 hari. Pada akhir periode ini, sang biksu dianggap imannya siap untuk masuk ke ‘nyujo’ atau diam dalam meditasi.  Ketika sang biksu merasa ajalnya mendekat, murid-muridnya akan menurunkannya ke dalam kotak pinus di bawah lubang sedalam 3 meter berdinding batuan, liang kubur yang ukurannya hanya cukup untuk sang biksu duduk dalam posisi lotus, posisi bertapa. Ruangan yang kosong diisi dengan arang untuk menyerap kelembaban.

Setelah liang kubur itu ditutup, dua pipa bambu akan ditanamkan dari atas untuk menyalurkan  air minum dan menyalurkan udara untuk ventilasi. Lonceng- lonceng diikat ke ujung bambu itu untuk sang biksu memberi isyarat bahwa ia masih hidup. Ketika bunyi lonceng tidak lagi terdengar, pipa bambu tersebut akan dicabut dan lubangnya ditutup.

Selama tiga tahun dan tiga bulan, jenazah sang biksu didiamkan di lubang bawah tanah itu. Kemudian pada akhirnya, jenazahnya akan diangkat ke atas. Kalau tidak ditemukan pembusukan, jasad itu ditetapkan sebagai Sokushinbutsu yang sebenarnya dan disemayamkan di altar di kuil.”

Aku berkata:
“Apakah proses ini tidak dianggap sebagai bunuh diri?”

Haruki:
“Walapun pada permukaannya tampak seperti bunuh diri, penganut Buddhis menganggapnya sebagai “peninggalan badan”. Setelah memadamkan hawa nafsu dalam dirinya, sang biksu dapat masuk ke nirwana tanpa halangan melalui proses kematian. Kematian itu adalah pengorbanan dirinya didorong oleh rasa cinta kasih untuk kebaikan semua mahluk hidup, misalnya ketika pandemik ganas mewabah. Namun bagaimanapun praktek ini dilarang oleh Restorasi Meiji, ketika Shinto dipisahkan dari Buddhisme dan ditetapkan sebagai agama resmi Jepang.”

Aku berkata:
“Bagaimana praktek Sokushinbutsu berawal?”

Haruki:
“Praktek ini muncul di Tiongkok diabad ke 4 dan di Jepang di awal abad ke 9. Menurut legenda Jepang, biksu Kukai,  yang juga dikenal sebagai Kobo Daishi setelah kematiannya, memasuki meditasi yang mendalam, atau ‘samadi’ di akhir hidupnya sampai kematiannya, di gunung Koya di Selatan Osaka. Biksu Kukai adalah pendiri Shingon, sekte marjinal Buddhisme. Tujuh puluh tahun setelah kematiannya seorang petinggi biksu berdasarkan perintah kerajaan pergi ke atas gunung Koya untuk membuka kuburannya dan menemukan bahwa tubuhnya masih utuh. Menurut legenda Kukai saat itu belumlah mati melainkan masuk ke dalam meditasi kekal dan masih hidup di gunung Koya, menunggu penampakan Maitreya, Buddha masa depan.”

Aku berkata:
“Lalu dimanakah tubuh Kobo Daishi disimpan? Apakah terbuka bagi publik?”

Haruki:
“Mausoleum dari Kobo Daishi terletak di gunung Koya dan adalah tempat yang paling suci di gunung itu. Pintu mausoleum tidak pernah dibuka kecuali setiap 50 tahun oleh uskup agung gunung Koya untuk memotong kuku dan rambutnya dan menukar pakaiannya yang kemudian dipakai untuk membuat amulet bagi pengikutnya. Kobo Daishi dianggap sedang bertapa di mausoleumnya, tapi jasadnya sama sekali tidak diperlihatkan. Jasadnya haruslah dianggap sebagai peninggalan yang mewakili “Esensi Buddha” yang murni yang menjadi peninggalan suci serupa stupa.”

Aku berkata:
“Tapi di kuil Churenji pengunjung dapat melihat jasad Tetsumonkai, walaupun dilarang pengambil foto.”

Haruki:
“Ya, jasad terkenal Tetsumonkai dipertunjukkan di kuil ini duduk di altar khusus. Telapak tangannya menghadap ke atas, ia diperagakan untuk bermeditasi terus menerus, sesuai dengan kehendaknya ketika ia memasuki ajal 2 abad yang lalu. Jasadnya dengan tengkorak yang seakan menyeringai diberi jubah oranye, syal berwarna ungu dan kecoklatan dan topi keemasan, bak seorang petinggi biksu. Ia memberi bukti akan seseorang yang berhasil dalam usahanya menjadi mummi yang dihormati.”

Aku berkata:
“Siapakah Tetsumonkai itu?”

Haruki:
“Tetsumonkai adalah yang paling terkenal di antara Sokushinbutsu. Dilahirkan sebagai Sunada Tetsu di tahun 1759, dia adalah pegawai sungai yang menggali sumur-sumur dan mengirim kayu dengan sampan, dan dikenal dengan temperamennya yang bagai badai. Suatu hari, menurut salah satu legenda, ia menikam kaki salah seorang petugas yang mengawasi konstruksi sungai karena ia naik pitam akan keangkuhannya. Cerita lainnya menggambarkan ia membunuh seorang samurai ketika berkelahi memperebutkan seorang pelacur favorit. Bagaimanapun, Tetsu melarikan diri dari pengejaran dan bergabung dengan sekolah biarawan di Churenji di umur 20 tahunan akhir menuju kehidupan prihatin dan kemudian ia diberi nama Tetsumonkai.

Selama hidupnya sebagai biksu, catatan menunjukkan bahwa Tetsumonkai banyak melakukan perjalanan dan dihormati sebagai orang suci yang dikaitkan dengan berbagai legenda. Suatu saat ketika mengunjungi Edo, ia menyaksikan mewabahnya penyakit mata yang menimbulkan penderitaan luar biasa. Ia lalu mencolok matanya sendiri dan mencabutnya dan mempersembahkannya ke sungai Sumida sebagai doa bagi penyembuhan. Riset selanjutnya menunjukkan bahwa memang mata kirinya tidak ada di mummi nya, yang dengan suatu hal mengkonfirmasikan cerita tersebut. 

Karya misionaris Tetsumonkai berpusat di daerah Shonai, namun monument-monumennya menunjukkan bahwa karyanya menyebar dari daerah kanto hingga Hokkaido. Dia dikenang mengumpulkan 10,000 pekerja voluntir untuk membangun jalan baru melalui sebuah gunung yang menghubungkan pelabuhan Kamo ke Tsuroka, untuk perdagangan. Ia meninggalkan dampak abadi bagi banyak orang saat itu. Hingga kini, ada festival-festival berdasaran ajaran Tetsumonkai.

Namun, mungkin legenda yang paling menarik adalah kisah lain yang berkaitan dengan mutilasi diri. Pada suatu saat, dikatakan bahwa Tetsumonkai dikunjungi seorang pelacur, mungkin pelacur yang sama yang ia perebutkan dengan sang samurai. Wanita itu berusaha meyakinkan Tetsumonkai untuk kempali ke kota bersamanya, tapi ia menolak. Untuk membuktikan keinsafannya dan dedikasi akan hidup dalam pengorbanan, dia menghilang dan lalu kembali dengan bungkusan kecil buat wanita itu. Di dalam nya adalah testikelnya yang penuh darah. Dia telah memotongnya.

Diceritakan bahwa testikelnya kemudian dianggap para pelacur di sebuah border local sebagai tanda keberungan, dan akhirnya dikirim ke kuil Nangakuji di Tsuruoka, dan kemudian dilestarikan sebagai relik. Seakan menambah bobot kebenaran legenda itu, memang ditemukan bahwa mummi Tetsumonkai tidak mempunyai testikel.

Aku berkata:
“Apakah benar kuil itu menyimpan testikel dari Tetsumonkai?”

Haruki:
“Benar, tapi tidak dipertunjukkan ke public. Golongan darah Tetsumonkai adalah grup B, demikian pula golongan darah yang ditemukan di testikel yang ditemukan di Nangakuji, menurut riset ilmiah masa lalu. Para akademisi saat itu menyimpulkan bahwa sangat besar kemungkinan bahwa testikel yang dikeringkan itu milik seorang yang bertahan akan siksa fisik yang ekstrim karena pelatihan meditasi sebelum dikuburkan pada usia 71.”

Aku berkata:
“Apakah mummi Sokushinbutsu sama dengan mummi di Mesir?”

Haruki:
“Tubuh para Firaun dibalsem di jaman dulu Mesir. Organ tubuh bagian dalam semuanya dikeluarkan dan diganti dengan tanaman yang berkhasiat. Tubuhnya jadinya hanyalah pembungkus daging kering dan tulang.
Sebaliknya, mummi Sokushinbutsu melestarikan organ tubuh bagian dalam karena proses pemummian berjalan ketika ia masih hidup dan organ tubuh bagian dalam dianggap pusat energi vital. Tubuh beberapa mummi di gunung Yudono, untuk melestarikannya dengan sempurna, kadang-kadang juga dilapisi dengan pernis kering. Sehingga pentingnya pemujaan akan Sokushinbutsu menyiratkan bahwa mummi itu bukan sekedar “sisa tubuh”, atau “cangkang kosong”, mummi tersebut dianimasikan, penuh vitalitas; yang berada di bumi dan juga di kelimpahan irwana.”

Haruki:
“Mummi Sokusinbutsu memberi jendela yang menarik ke dalam kebudayaan Jepang kuno melalui praktek-praktek belas kasih, kesulitan hidup, pengorbanan dan semangat religiositas yang intens untuk mendapatkan sukma Buddha dalam daging. Konsep Barat akan kematian fisik adalah suatu proses pemutusan kehidupan yang terjadi dengan cepat dan parah, sedangkan konsep Timur memandang kematian sebagai suatu proses yang bertahap.

Pemujaan Sokushinbutsu memelihara orang-orang suci hidup dan memberikan perspektif yang unik akan perjuangan manusia menggapai Nirwana, sebelum dan sesudah kematian.”


THE END

Wawancara ini adalah wawancara imajiner mengenai Sokushinbutsu

Sumber: