Cari Blog Ini

Sabtu, 29 Juni 2019

Wawancara dengan Giuseppe


Photo: Wikimedia
Aku beruntung “dianugrahi” wawancara dengan Giuseppe, dia terkenal sebagai seorang yang sangat tertutup, yang menganggap para wartawan, biografer, dan juga tetangganya di Busseto, sebagai orang-orang yang suka mencampuri urusan orang, yang terhadap rasa ingin tahu  mereka ia harus melindungi diri. Jadi, aku menerka bahwa aku dapat mewawancarai dia karena dia menganggap aku sebagai wartawan yang tidak terlalu terkenal, bukanlah seorang yang suka mengendus-endus dan bukan pula tipe tukang gosip, makanya dia kira aku tidaklah akan menimbulkan kesulitan baginya. Tapi, kupikir bagaimanapun aku musti hati-hati untuk tidak bertanya terlalu mendalam tentang ikhwal pribadinya.

Jadi sesuai perjanjian, aku bertemu dengannya sehabis pertunjukan opera Un Ballo in Maschera (Sebuah Pesta Dansa Bertopeng) di Bolshoi theatre di Moscow. Kami duduk disebuah café dekat Karl Marx square  di malam yang dingin di bulan April.

Aku membuka percakapan:
“Saya terheran-heran bahwa anda mau datang ke Moscow untuk menyaksikan salah satu opera anda, apa yang mendorong anda sekonyong-konyong datang ke sini?”

Giuseppe:
“Bolshoi theatre di Moscow memiliki sejarah yang panjang sebagai penyelenggara berbagai opera perdana yang bersejarah. Sayangnya kebakaran besar terjadi di tahun 1853 yang menghancurkan seluruh bangunan, teater itu harus ditutup selama tiga tahun untuk perbaikan, dan membuka pintunya lagi setelah renovasi pada saat yang tepat untuk upacara pengangkatan Tsar Alexander II.  Lalu teater ini kena bom di tahun 1941,  lalu direnovasi beberapa kali karena berbagai kerusakan. Rekonstruksi terakhir berlangsung selama 6 tahun dan di tahun 2011 teater yang telah diperbaiki itu membuka pintu kembali. Jadi saya gembira datang ke sini untuk menyaksikan Bolshoi yang baru yang menjadi ajang pertunjukan opera Un Ballo in Maschera.”

Aku berkata:
“Saya melihat bahwa Alessandra Premoli  dan Davide Livermore mengarahkan pertunjukan opera ini dengan sangat baik, dengan panggung yang diperkaya oleh layar digital yang impresif  oleh Gio Forma dan video desain oleh D-wok.  Tertampak burung-burung gagak yang berterbangan dan hinggap menunggu mangsa sebagai latar belakang digital yang didominasi hitam dan putih itu, yang menghantui para warga dengan ramalan buruk dari sang dukun Ulrica.

Pertunjukan malam ini membuka mata saya akan pengalaman baru. Hal itu membuat opera semakin menarik, yang dapat membawa penonton yang muda belia, member alternatif-alternatif  bagi seniman kreatif dan para teknisi, dan mungkin juga mengurangi biaya.”

Giuseppe:
“ Saya hanya bisa berharap lebih banyak. Layar digital itu bisa sangat indah, tapi bisa juga mengalihkan perhatian penonton.  Sebenarnya tergantung pada produksi macam apakah pertunjukan itu. Tentunya sangat cocok untuk pertunjukan tertentu tapi secara keseluruhan saya memilih pertunjukan opera yang tradisional. Tapi produksi- produksi modern tertentu bisa  mendapatkan manfaat dari  layar digital ini. Yang jelas tidak seorangpun bisa bilang layar digital itu selalu harus dipakai, atau jangan pernah dipakai.”

Aku berkata:
“Anda terkenal dengan kebesaran anda, mencari jalan untuk berbicara kepada penonton yang tak terbatas, dan metoda anda untuk meresapkan diri anda seluruhnya ke dalam karakter-karakter  lakon anda. Anda tidak pernah menggubah musik hanya demi music, setiap nada memiliki implikasi dramatis yang sesuai. Adegan-adegan yang paling luar biasa dalam karya anda adalah adegan di mana suara-suara yang bersatu bersama menjadi suatu paduan yang terpendam seperti suara-suara di akhir “Un Ballo”, yang terlambungkan oleh kebesaran spiritual seorang yang sedang sekarat.”

Giuseppe:
“Adegan itu terjadi ketika Riccardo mendekati ajalnya, ia mengaku kepada Renato: ‘Engkau harus mendengar saya, isterimu masih suci: dalam pelukan kematian, ketika Tuhan mendengar kata-kata aku, aku bersumpah tentang itu (Ella è pura: in braccio a morte Te lo giuro, Iddio m’ascolta)’.  Riccardo yang sedang sekarat itu mengakui, bahwa walaupun ia jatuh cinta kepada Amelia , isteri Renato, Amelia tidak pernah melanggar sumpah perkawinannya. Lalu ia memperlihatkan kepada Renato surat perintahnya agar kedua suami isteri itu dipindah ke Inggeris, sebagai tanda Riccardo mengampuni Renato dan para pemberontak. Para kerumunan meratapi kehilangan akan gubernur yang baik hati itu sementara Renato dirundung penyesalan.”

Aku berkata:
“Salah satu opera anda yang paling sukses adalah La Traviata, yang berarti “wanita yang terjatuh” atau “seorang yang salah jalan”  dan dalam konteksnya memberi konotasi hilangnya kemurnian seksual. Hal ini mewakili keadaan jamannya ketika hubungan seksual di luar perkwainan dianggap tak bermoral dan kumpul kebo menjadi bahan skandal.

Saat itu Paris, di dalam dunia orang kaya dan berkuasa aturan sosial mengikat semua orang untuk memiliki gaya hidup yang benar pada permukaan, namun di bawahnya terdapat dunia lain di mana para bangsawan bisa menikmati melimpahnya kekayaan mereka termasuk berteman dengan berbagai wanita,  para wanita penghibur yang diharapkan juga menemaninya pergi ke teater dan opera.”

Giuseppe:
“Cerita opera ini adalah sebuah subyek masa kini. Saya telah bertekad untuk menggunakan opera untuk meraih simpati bagi yang terbuang, jenis-jenis orang yang kita hindari ketika berpapasan di jalanan. Seperti kisah “The Lady of the Camellias” karya Alexandre Dumas yang novelnya dan dramanya menjadi dasar opera ini,  saya ingin memprotes eksploitasi wanita, dan membuatnya  dalam bingkai kontemporer.”

Aku berkata:
“Memang, di dalam La Traviata anda bukan hanya memanggungkan kisah yang penuh tangisan, tapi anda juga menempatkanya dalam musik kontemporer; waltz dan polka yang waktu itu merupakan music-musik yang mengiringi kenikmatan pelampiasan nafsu dari minuman keras dan sensualitas. Yang paling termasyur adalah Brindisi drinking song di babak pertama, Alfredo bernyanyi waltz “Libiamo” – “marilah mabuk”, pada dasarnya.  Lagu itu adalah sebuah duet yang terkenal dengan paduan suara, salah satu melodi opera yang paling terkenal dan pilihan popular bagi pertunjukan penyanyi-penyanyi tenor termasyur.

Giuseppe, menirukan Alfredo dalam Brindisi, the drinking song :

“Libiamo, libiamo ne’lieti calici                    Marilah minum dari cawan-cawan kegembiraan
che la belleza infiora.                                      dihiasi kecantikan,
E la fuggevol ora s’inebrii                              dan waktu yang berkilas hendaknya dihiasi
                a voluttà.                                                             dengan kenikmatan.”


Aku berkata:
“Dibutuhkan kepribadian yang sangat kokoh untuk hidup seperti yang anda jalani; untuk memelihara pada saat usia senja minat yang segar, tekad yang demikian kuat untuk mencapai hasil. Memproduksi opera berarti negosiasi dengan seorang impresario, mendapatkan hak cipta dan mengedit naskahnya, mencari dan memilih penyanyi-pnyanyi, menggubah musiknya, mengawasi latihan-latihan,  memimpin beberapa pertunjukannya, menangani para penerbit, dan banyak lagi.  Apakah yang mendorong anda untuk begitu bersemangat memproduksi opera-opera?

Giuseppe:
“Jawabannya sebagian mungkin dapat diketemukan di latar belakang saya yang sederhana, asuhan orang tua yang sederhana. Ayah saya mempunyai sebuah losmen kecil dan toko kelontong di desa Roncole. Dia tidaklah kaya, tapi mampu untuk memberikan putranya pendidikan musik yang komplit.  Ayah mengatur saya belajar musik ketika saya berumur empat tahun. Ketika berumur baru sebelas tahun, saya menggantikan kedudukan guru saya, dengan gaji tigapuluh enam franc per tahun! Saya memiliki seratus franc ketika saya pergi 6 tahun kemudian, tapi selama itu saya jalan kaki setiap hari Minggu dan liburan dari Busseto, berjarak 3 mil, untuk pendidikan umum saya.”

Aku berkata:
“Di Busseto waktu itu ada seorang musikus amatir, bernama Barezzi. Dia menerima anda  di rumahnya di gudang, dan membolehkan anda untuk latihan piano. Barezzi mempunyai putri yang juga main piano. Dapat ditebak dalam situasi ini anda saling jatuh cinta dan menikah di tahun 1835.”

Giuseppe:
“Waktu itu saya miskin sampai-sampai saya harus menggadaikan perhiasan isteri saya untuk sewa rumah.  Margherita melahirkan dua anak, Virginia dan Icilio. Keduanya meninggal ketika masih kanak-kanak ketika saya mengerjakan opera saya yang pertama Oberto pada umur 26 tahun.

Malam perdana yang dipanggungkan di La Scala Milan di November 1839, Oberto cukup sukses dan teater impresario Bartolomuo Merelli cukup berminat untuk menawarkan kontrak untuk dua opera lagi.”

 Aku berkata:
“Anda menjalani kehidupan dengan lebih banyak saat-saat tragedy dibandingkan dengan yang bisa dihadapi kebanyakan orang . Sebagai seroang pemuda anda kehilangan kedua anak anda pada usia balita, dan isteri anda meninggal tidak lama kemudian di tahun 1840 karena encaphilitis. Hal itu terjadi ketika anda baru saja menerima permintaan untuk menulis sebuah opera komik, Un giorno di regno (Raja dalam Sehari) dan anda meneruskannya ketika hati anda terluka. Opera itu gagal dan kami tidaklah heran mengapa opera itu gagal.

Dengan kehidupan pribadi anda berantakan dan karya professional anda terhalang karena duka cita, anda terpuruk duduk dengan kegusaran dan terdiam untuk setahun atau lebih, tidak bertemu dengan siapapun, seakan mendeklarasikan bahwa hidup tak berguna untuk dijalani.”

Giuseppe:
“Saat itu saya sendirian!  Sendirian yang tak tergantikan!.... Keluarga saya telah musnah!... Dan untuk memmenuhi janji yang telah saya buat, pada saat yang paling keruh dalam kehidupan saya, saya harus menulis Un giorno di regno  yang kemudian tidak disukai penonton…. Tersiksa dengan kesengsaraan keluarga saya, yang diperberat dengan kegagalan karya saya, saya yakin bahwa seni tidak akan membawa penghiburan, dan saya memutuskan untuk berhenti menulis music!.....”

Aku berkata:
“Lalu di suatu hari di musim dingin yang suram di tahun 1841 setelah pertemuan kebetulan dengan Bartolomeo Merelli, impresario dari La Scala, dia member ada sebuah manuskrip untuk Nabucco karya Temistocle Solera.”

Giuseppe:
“Saya bawa pulang manuskrip itu, dan melemparkannya ke atas meja dengan agak kasar…. Ketika jatuh, buku itu terbuka dengan sendirinya; tanpa saya sadari mata saya tersorot ke halaman yang terbuka dan sebuah kalimat tertentu: 'Va pensiero, sull' ali dorate' yang berarti ‘Pergilah, kenangan, dengan sayap keemasan’.
  
Saya membaca kalimat-kalimat berikutnya dan sangat terhanyut, apalagi karena tulisan itu seperti sebuah kutipan dari Alkitab, bacaan yang selalu menghibur saya. Saya membaca dengan antusias bagian demi bagian tulisan itu. Lalu, dengan tekad untuk tidak akan menulis opera lagi, saya memaksa diri untuk menutp manuskrip itu dan pergi tidur. Tapi tidak ada gunanya – saya tidak bisa menghapus Nabucco dari kepala saya. Tidak bisa tidur, saya bangun dan membaca manuskrip itu, bukan sekali, tapi dua atau tiga kali, sehingga di pagi hari, saya hampir hafal manuskrip Solera itu. Namun saya tetap menolak untuk menggubah musiknya dan mengembalikan manuskrip itu ke sang impresario di keesokan harinya. Tapi Merelli tidak mau menerima sebuah penolakan  dan langsung memasukan tulisan itu ke kantong saya kembali dan, bukan hanya mengusir saya dari kantornya, tapi membanting pintu di hadapan saya dan mengunci dirinya di dalam.
Lalu lambat laun saya bekerja menulis musiknya, syair ini hari ini, besoknya yang itu, di sini sebuah nada, di sana seluruh bagian, dan sedikit demi sedikit opera itu tertuliskan, dan di musim gugur tahun 1841 tulisan itu selesai.”

Aku berkata:
“Kemudian tidak perlu dibilang apa yang terjadi kemudian, malam perdana Nabucco pada tanggal 9 Maret sukses besar, dan karya ini menjadi karya abadi anda yang pertama. Bagi anda opera ini menjadi titik balik dari keputusasaan menuju “Viva Verdi, Viva Verdi…….”.

Seakan lirik dari 'Va pensiero, sull' ali dorate' yang diilhami Mazmur 137:

‘atau biarkan Tuhan mengilhami konsert
Yang mungkin dapat menanggung kesengsaraan kita.’ “


TAMAT
Ini adalah wawancara imajiner mengenang Giuseppe Verdi.