Cari Blog Ini

Jumat, 30 Juni 2023

Paris, dari Hotel de Ville ke Seine

 

Berjalan-jalan di Paris memang terasa suasana romantisnya, kita bisa berlenggang di jalanan berbatuan yang dikepit oleh bangunan-bangunan kuno. Bangunannya sengaja dilestarikan demikian, tidak dirombak untuk modernisasi. Renovasi Paris terakhir dilakukan dari tahun 1852 ke 1870 oleh Georges-Eugène Haussmann atas perintah Napoléon III. Haussmann telah memberi wajah Paris yang terlihat hari ini serta arsitekturnya. Dia menciptakan jalan raya yang sangat panjang dan lebar dengan kafe dan toko yang mempengaruhi banyak kehidupan warga Paris. Arsitektur bangunan Haussmann klasik tidak diperlakukan secara independen tetapi merupakan bagian dari seperempat, blok, dan dengan demikian gayanya harus koheren dan selaras dengan arsitektur bangunan lainnya. Lantai dasar memiliki dinding yang tebal. Lantai kedua menawarkan balkon yang indah dan lantai ketiga dan keempat dibangun dengan gaya yang sama, meskipun bingkai jendelanya memiliki batu yang kurang rumit. 

Setelah melenggok-lenggok di jalan berbatuan di Le Marais, sampailah kita di Hotel de Ville. Amboi hotel apa ini bak istana atau museum? Ternyata dalam bahasa Prancis 'hotel' bisa berarti rumah, gedung, tempat tinggal, sehingga tidak selalu berarti hotel sebagai tempat persewaan kamar untuk menginap bagi wisatawan. Saat ini, selain berfungsi sebagai kantor administrasi kota, Hotel de Ville juga merupakan tempat pameran seni dan budaya. Ada banyak pameran menarik di dalam gedung dan di lapangan di depan gedung ini.

Dari Hotel de Ville kita berjalan tak jauh hanya beberapa ratus meter ke arah Selatan sampailah ke sungai Seine. Kita bisa berjalan sepanjang sungai ini atau naik kapal feri untuk menjelajahi Paris. Ternyata Menara Eiffel juga berada di tepi sungai ini dan adalah salah satu perhentian kapal feri itu, namanya Port de la Bourdonnais. Dari sisi ini kita bisa melihat Menara Eiffel menjulang tinggi, dengan warna coklat khasnya yang disebut Coklat Menara Eiffel. 

Berjalan di sepanjang sungai Seine mengingatkan saya akan kata-kata dari pelukis Prancis tersohor Claude Monet: “Saya telah melukis Sungai Seine sepanjang hidup saya, di setiap jam, di setiap musim. Saya tidak pernah bosan: bagi saya Seine selalu baru.”  Namun sungai Seine yang di Paris tidak secantik lukisan-lukisan Monet yang dibuat di daerah pedalaman Prancis, seperti Argenteuil, Poissy dsb. Walaupun air sungai yang di Paris tidaklah biru seperti di lukisan, dan tidak ada tanaman-tanaman teratainya, ia mengalir tenang mengantar kita ke berbagai sejarah yang berada dekat dengannya, selain Menara Eiffel, juga Katedral Notre Dame, Museum Louvre, dan Musée d'Orsay.

 

TAMAT

 

 

Sumber:

https://www.french-property.com/regions/haussmann-buildings-architecture/#:~:text=The%20Parisian%20Haussmann%20buildings%20and%20architecture%20renovations%20were,to%20buildings%E2%80%99%20front%20facades%2C%20public%20parks%20and%20monuments.









Rabu, 21 Juni 2023

Wawancara dengan Li Bai

 

Photo: Wikimedia

Saya beranjak menuju gunung Huang Shan di propinsi Anhui, untuk menemui Li Bai, salah satu penyair Tiongkok yang paling ternama. Di latar belakangi gunung-gunung berkabut, ia menemui saya bersila di depan sebuah meja kecil di beranda sebuah warung. Tak ketinggalan secawan anggur disajikan bagi dia dan saya. Saya bilang ‘tak ketinggalan’ karena sudah menjadi tradisi di Tiongkok untuk menyajikan anggur atau minuman keras lainnya kepada tamu sebagai penghormatan. Selain itu Li Bai memiliki reputasi sebagai sang Penyair Mabuk, karena kegemarannya akan minuman keras sampai mabuk, namun mampu menulis puisi-puisi menarik dalam keadaan mabuk.

Tampaknya Li Bai ingin memencilkan diri di daerah sekitar sini, untuk menulis puisi-puisinya, dekat dengan rakyat biasa, setelah ‘dikucilkan’ dari Akademi Kerajaan oleh Kaisar Xuanzong di Chang’an (nama kuno kota Xi’an).  Ia dikucilkan karena intrik-intrik menteri-menteri yang iri kepada bakatnya menulis puisi-puisi yang indah. Dia berkelana dari gunung ke gunung, memperdalam Taoisme dan menulis banyak puisi-puisinya di situ.

Saya menemui Li Bai menjelang fajar di Bright Peak Summit gunung Huangshan untuk menikmati cahaya keemasan matahari yang menyeruduk perlahan-lahan dari balik gunung-gunung. Kami berdiam diri saja sementara Li Bai seperti menulis sebuah puisi, dia memang begitu, bisa secara spontan menulis puisi ketika terperangah akan sesuatu yang dijumpainya. Beberapa lama kemudian dia memperlihatkan puisinya:

“Tiga puluh enam puncak aneh, Dewa-dewa dengan topi simpul hitam.

Matahari pagi menyinari puncak-puncak pohon, Di sini, di dunia pegunungan langit ini.

Orang-orang Tiongkok, angkat wajahmu! Selama seribu tahun bangau datang dan pergi.

Jauh di sana diam-diam aku amati seorang pengumpul kayu bakar,

Mencabut batang kayu dari celah-celah batu.”

 

Saya menanggapinya:

“Gunung sering muncul dalam puisi anda, begitukan?”

 

Li Bai, tersenyum, mengutip pusinya yang lain:

“Anda bertanya apa alasan saya tinggal di gunung hijau,

Saya tersenyum, tetapi tidak menjawab, hati saya santai.

Bunga persik terbawa jauh oleh air yang mengalir,

Selain itu, saya memiliki surga dan bumi di dunia manusia.”

 

Saya berkata:

“Surga dan bumi di dunia manusia, wah …sungguh sangat kental dengan pemahaman Taoisme, yang memandang  Alam Semesta sebagai satu kesatuan organik yang saling berhubungan. Tidak ada yang ada secara terpisah dari yang lain.”

 

Li Bai:

Saya membaca 'Liu Jia' pada usia lima tahun, sebuah buku Tao kuno yang telah lenyap, dan mengikuti seratus sekolah pada usia sepuluh tahun. Pada usia lima belas tahun, saya dan Dongyanzi, seorang pertapa Tao, pergi ke gunung Minshan untuk tinggal di sana dalam pengasingan. Saya tinggal di sana selama beberapa tahun. Kami memelihara banyak burung eksotis di hutan tempat tinggal dan bekerja sebagai peternak hewan. Burung-burung cantik dan jinak ini, karena terbiasa kami beri  makan, sehingga  mereka datang secara teratur untuk meminta makanan.  Seolah-olah mereka dapat memahami bahasa orang, dengan panggilan, mereka terbang dari mana-mana lalu turun, bahkan dapat mematuk tangan orang. Dengan adanya gandum, mereka tidak takut sama sekali.

 

Saya berkata:

“Sebelum anda mengasingkan diri ke daerah ini, kabarnya anda pernah menjadi pejabat tinggi mengabdi kepada Kaisar Xuanzong di Chang’an. Bagaimanakah itu terjadi?”

Li Bai:

“Saya berkeliaran di sekitar Zhejiang dan Jiangsu dan akhirnya berteman dengan Wu Yun, seorang pendeta Tao terkenal, yang punya hubungan erat dengan Kaisar Xuanzong. Suatu hari Wu Yun dipanggil oleh Kaisar untuk menghadiri istana kekaisaran, dan ia memberi pujian besar tentang saya. Pujiannya membuat Kaisar Xuanzong memanggilku ke istana Chang'an. Tampaknya Kaisar, para bangsawan, dan orang biasa sama-sama terpesona oleh bakat dan perangaiku. Mulanya ia memberi saya jabatan sebagai penerjemah karena saya menguasai bahasa selain bahasa Tiongkok. Akhirnya Kaisar memberi saya jabatan di Akademi Hanlin, akademi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan keahlian ilmiah dan puisi bagi Kaisar”.

 

Saya berkata:

“Tentunya anda menulis puisi-puisi bagi Kaisar Xuanzong?”

 

Li Bai:

“Saya menulis beberapa puisi tentang Yang Guifei, permaisuri favorit Kaisar yang cantik dan terkasih.”


Saya berkata:

“Boleh saya mendengar salah satunya?”

 

Li Bai:

“Awan mengingatkan saya pada pakaiannya, bunga mengingatkan saya pada wajahnya,

Angin musim semi bertiup ke pegangan tangga, embunnya sangat subur.

Jika kita tidak bisa bertemu di atas Gunung Batu Giok,

Kemudian kita pasti akan bertemu satu sama lain di teras batu giok yang berjemur di bawah sinar bulan.”

 

Saya berkata:

“Hmmm… dengan menyebut Gunung Batu Giok, puisi ini menggambarkan bahwa sang permaisuri demikian menawan seperti dari peri dunia kayangan, dan kalian akan bertemu di dunia fana di bawah sinar rembulan…Kesan Taoismenya sangat terasa ya, alam kayangan dan bumi merupakan satu keutuhan yang indah dan harmonis.

Salah satu puisi lainnya yang anda tulis semenjak duduk di istana adalah mengenai mabuknya minum anggur. Suatu tema yang jarang diungkapkan sebagai puisi, karena dianggap tidak bernilai, tidak indah, dan terlalu ’fana’. Anda tampaknya sangat  mendalami rasa kemabukan mungkin karena memang anda terkenal gemar minum minuman keras sampai mabuk, dan anda bahkan  menulis puisi -puisi yang terbaik dalam keadaan mabuk. Salah satu puisi anda yang terkenal adalah “Minum sendirian di bawah Bulan”, yang sanggup menuangkan rasa kemabukan dan kesepian secara puitis dan romantis, yang digemari publik karena perasaan itu ‘membumi’ sesuai dengan kebiasaan sesungguhnya orang-orang Tiongkok dari segala kalangan suka mabuk-mabukan.”

 

Li Bai, menerawang ke langit lalu mengutip  “Minum sendirian di bawah Bulan”:

“Di antara bunga-bunga menunggu sebotol anggur.

Saya menuangkan minuman untuk diri saya sendiri, tidak ada orang yang saya cintai di dekat saya.

Mengangkat cangkir saya, saya mengundang bulan yang cerah

dan mengalih ke bayanganku. Kami sekarang bertiga.

 

Tapi bulan tidak mengerti minum,

dan bayanganku mengikuti tubuhku seperti budak.

Untuk sementara waktu, bulan dan bayangan akan menjadi teman saya,

sukacita  singgah yang harus berlangsung sepanjang musim semi.

 

Aku bernyanyi, dan bulan hanya goyah di langit;

Aku menari dan bayanganku berputar-putar seperti orang gila.

Saat masih jernih, kami bersenang-senang bersama!

Tapi tersandung mabuk, masing-masing terhuyung-huyung sendirian.

 

Terikat selamanya, tanpa henti kita berkeliaran:

bersatu kembali pada akhirnya di sungai bintang yang jauh.”

 

Saya berkata:

“Wow, sangat mengesankan perasaan kesepiannya yang dipadukan dengan tarian alam semesta. Puitis ,romantis dan sekali lagi sangat kental rasa Taoismenya.

Namun, dengan puisi-puisi yang anda tulis begitu indah mengapa anda sampai terpental dari Istana?”

 

Li Bai:

“Gara-gara si Gao Lishi pejabat kasim yang paling besar pengaruh politiknya di istana. Dia iri kepada saya dan bersama pejabat-pejabat dengki lainnya bersekongkol menyingkirkan saya dengan berbagai intrik. Mengenal kebiasaan saya akan minum sampai mabuk itu, pada suatu hari mereka memperangkap saya minum sampai mabuk. Lalu dalam keadaan mabuk saya dihadapkan ke Kaisar untuk dipermalukan. Kaisar marah lalu mengusir saya dari istana, sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan Chang’an…”

Saya berkata:

“Bagaimana perasaan anda meninggalkan Chang’an?”

 

Li Bai, mengutip puisinya ‘Kota Choan’ nama lain dari ‘Kota Chang’an’ atau Xi’an:

Burung phoenix sedang bermain di beranda mereka.

Burung phonix pergi, sungai mengalir sendirian.

Bunga dan rumput

Menutupi jalan yang gelap

                   di mana terletak rumah dinasti Go.

Kain cerah dan topi cerah Shin

Sekarang menjadi dasar bukit-bukit tua.

 

Tiga Gunung jatuh melalui surga yang jauh,

Pulau Bangau Putih

                   memisahkan kedua aliran itu.

Sekarang awan tinggi menutupi matahari

Dan saya tidak bisa melihat Choan dijauhan

Dan saya sedih.

 

 

TAMAT

 

Artikel ini adalah wawancara imajiner untuk mengenang Li Bai

 

Sumber:

https://www.bbc.co.uk/travel/article/20180201-chinas-spectacular-mountains-encased-in-ice

http://www.chinese-poems.com/lb.html

https://inf.news/en/culture/e8d711cc03d575390b3618b9193cdbd0.html

https://naiyee.org/2018/09/23/li-bai-drinking-alone-under-the-moon/

https://allpoetry.com/poem/13689358-The-City-of-Choan-by-Li-Po

https://en.wikipedia.org/wiki/Li_Bai