Sabtu, 14 Desember 2024

Wawancara dengan Chairil

 

Wah, aku beruntung bisa berjumpa dengan Chairil di Toko es krim Artic, di Kramat Raya, Batavia. Ia sedang duduk di pojok di meja kursi rotan. Seperti biasa ia tertekun membaca buku tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ketika aku tegur ia mengangkat kepalanya dari buku dan tersenyum menyambutku. Ia seakan ingat janjinya untuk aku wawancarai, tapi sangat sulit menemuinya selama ini. Mungkin ia berusaha menghindar karena sebenarnya ia kurang suka keramaian publikasi. Jadi aku beruntung memergokinya di pojok sini.

Tapi aduh, mukanya kucel, matanya merah seperti kurang tidur. Wajahnya muram dan lesu.

“Tadi malam begadang ya  Ril...?” Aku menyapa.

“Ngga juga… biasa begini…” katanya basa basi dengan menerawang, kemudian melirik ke pintu masuk ketika bel pintu itu berbunyi. Rupanya ada seorang noni Indo yang masuk. Toko es krim ini memang banyak didatangi remaja-remaja Indo dan Belanda, banyak yang baru pulang sekolah. Suasananya menjadi meriah. Rupanya ini yang di cari ‘Si Binatang Jalang’, begitu ia menyebut dirinya sendiri dalam pusinya yang terkenal, nongkrong di sini sambil cuci mata noni noni putih bersih berambut kepirang-pirangan. SeBelum ada es krim di mejanya, jadi aku menawarkan: “Ingin makan es krim apa… Ril? “

“Apa saja sih…” katanya.

“Oke… aku orderkan es krim mokka ya… yang ada biskuitnya…” kataku.

Tapi ia seperti tidak peduli. Ia memang tidak peduli apa yang dia makan, ia hanya merokok terus. Tubuhnya kurus seperti tidak terurus. Wajahnya tirus pucat, dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pakaiannya pun sekenanya, bajunya luntur dan celananya lusuh. Benar-benar seperti “Binatang Jalang, yang terbuang dari kumpulannya.”

Padahal setahu aku orang tuanya berada, bapaknya bupati Indragiri. Dan ia anak tunggal, jadi bisa dibayangkan dimanjakan sejak kecil. Semuanya ada dan tidak pernah terluntang lantung. Aku jadi ingin bertanya.

 

Aku: “ Saya boleh tanya kepada anda … Ril, masa kanak-kanak anda tentunya serba berkecukupan dan menyenangkan… ya…?”

 

Chairil:

“ Lihatlah cinta jingga luntur:

Dan aku yang pilih

tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur

rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi

pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang

Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di

zaman kanak,

Lihatlah cinta jingga luntur:

Kalau datang nanti topan ajaib

menggulingkan gundu, memutarkan gasing

memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan

aku sudah lebih dulu kaku.”

 

 

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia. Ia tinggal di rumah pamannya, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia. Meskipun demikian ia seperti orang yang hidupnya tidak teratur, pakaiannya kumuh, makannya tidak teratur, kelayapan ke mana-mana dan sering numpang tidur di kamar kawan-kawannya.

 

Pelayan menghidangkan dua es krim mokka di meja kami. Chairil mengacuhkannya, ia menerawang saja, hingga es krimnya mulai meleleh.

 

Aku bertanya: “Ada nostalgia di Toko ini… Ril…?”

Chairil:

“Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu plus coca cola

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

 

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

ketika kita bersepeda kuantar kau pulang

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.”

 

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali

bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

 

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti plus Greet plus Amoi hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.”

 

 

Beberapa waktu yang lalu, setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan, Belanda melakukan agresi militernya untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Indonesia. Bersama tentara Sekutu mereka berhasil menguasai wilayah Jawa Barat.  Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi. Akibatnya, Tentara Republik Indonesia (TRI) banyak yang memilih mundur ke pedesaan dan bergabung bersama rakyat setempat untuk membangun pertahanan menghadapi serangan Belanda. Beberapa pasukan TRI bermarkas di Desa Rawagede dan dipimpin oleh Kapten Lukas Kustarjo. Celakanya, markas pejuang di Desa Rawagede diketahui oleh antek-antek Belanda.

 

Tanpa pikir panjang, tentara militer Belanda segera mempersiapkan rencana penyerangan mendadak terhadap Kapten Lukas dan prajuritnya. Belanda berusaha mencari keberadaan Kapten Lukas, namun mereka tidak berhasil menangkapnya. Belanda lalu mengumpulkan penduduk laki-laki berusia sekitar 14 tahun di lapangan. Satu per satu dari mereka ditanyai perihal keberadaan Kapten Lukas, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Jawaban mereka tentu tidak membuat Belanda langsung percaya begitu saja. Para pemuda ini kemudian diperintahkan jongkok membelakangi tentara Belanda dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala. Dalam sekejap, tubuh-tubuh mulai berjatuhan setelah dieksekusi oleh Belanda.

 

 

Aku: “Anda menulis puisi untuk mengenang para pemuda remaja yang baru-baru ini dibunuh Belanda di antara Karawang dan Bekasi, bisa anda ceritakan kenangan itu…”

 

Chairil:

 

“Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

 

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

 

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

 

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

 

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

 

Kenang, kenanglah kami.

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

 

 

TAMAT

 

Tulisan ini adalah wawancara imajiner mengenang Chairil Anwar

 

Sumber:

 

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/12/195042579/peristiwa-pembantaian-rawagede-1947?page=all

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar