Wah, aku beruntung bisa berjumpa dengan Chairil di Toko es krim Artic,
di Kramat Raya, Batavia. Ia sedang duduk di pojok di meja kursi rotan. Seperti
biasa ia tertekun membaca buku tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ketika aku tegur
ia mengangkat kepalanya dari buku dan tersenyum menyambutku. Ia seakan ingat
janjinya untuk aku wawancarai, tapi sangat sulit menemuinya selama ini. Mungkin
ia berusaha menghindar karena sebenarnya ia kurang suka keramaian publikasi. Jadi
aku beruntung memergokinya di pojok sini.
Tapi aduh, mukanya kucel, matanya merah seperti kurang tidur. Wajahnya
muram dan lesu.
“Tadi malam begadang ya Ril...?”
Aku menyapa.
“Ngga juga… biasa begini…” katanya basa basi dengan menerawang,
kemudian melirik ke pintu masuk ketika bel pintu itu berbunyi. Rupanya ada seorang
noni Indo yang masuk. Toko es krim ini memang banyak didatangi remaja-remaja
Indo dan Belanda, banyak yang baru pulang sekolah. Suasananya menjadi meriah.
Rupanya ini yang di cari ‘Si Binatang Jalang’, begitu ia menyebut dirinya
sendiri dalam pusinya yang terkenal, nongkrong di sini sambil cuci mata noni
noni putih bersih berambut kepirang-pirangan. SeBelum ada es krim di mejanya,
jadi aku menawarkan: “Ingin makan es krim apa… Ril? “
“Apa saja sih…” katanya.
“Oke… aku orderkan es krim mokka ya… yang ada biskuitnya…” kataku.
Tapi ia seperti tidak peduli. Ia memang tidak peduli apa yang dia makan,
ia hanya merokok terus. Tubuhnya kurus seperti tidak terurus. Wajahnya tirus
pucat, dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pakaiannya pun sekenanya,
bajunya luntur dan celananya lusuh. Benar-benar seperti “Binatang Jalang, yang
terbuang dari kumpulannya.”
Padahal setahu aku orang tuanya berada, bapaknya bupati Indragiri. Dan
ia anak tunggal, jadi bisa dibayangkan dimanjakan sejak kecil. Semuanya ada dan
tidak pernah terluntang lantung. Aku jadi ingin bertanya.
Aku: “ Saya boleh tanya kepada anda … Ril, masa kanak-kanak anda
tentunya serba berkecukupan dan menyenangkan… ya…?”
Chairil:
“ Lihatlah cinta jingga
luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun
sekitar gugur
rumah tersembunyi dalam
cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada
bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan,
kapal-kapalan di
zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan
ajaib
menggulingkan gundu,
memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan,
menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.”
Pada usia 19 tahun, setelah
perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia. Ia tinggal
di rumah pamannya, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia. Meskipun demikian
ia seperti orang yang hidupnya tidak teratur, pakaiannya kumuh, makannya tidak
teratur, kelayapan ke mana-mana dan sering numpang tidur di kamar
kawan-kawannya.
Pelayan menghidangkan dua es
krim mokka di meja kami. Chairil mengacuhkannya, ia menerawang saja, hingga es
krimnya mulai meleleh.
Aku bertanya: “Ada nostalgia di Toko ini… Ril…?”
Chairil:
“Antara bahagia sekarang dan
nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan
menjilati es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi
dengan susu plus coca cola
Isteriku dalam latihan: kita
hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada
goresan tinggal terasa
ketika kita bersepeda kuantar
kau pulang
Panas darahmu, sungguh lekas
kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit
lagi menjulang.”
Pilihanmu saban hari
menjemput, saban kali
bertukar;
Besok kita berselisih jalan,
tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan
sebentar.
Aku juga seperti kau, semua
lekas berlalu
Aku dan Tuti plus Greet plus
Amoi hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang
lekas jadi pudar.”
Beberapa waktu yang lalu, setelah
Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan, Belanda melakukan agresi militernya
untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Indonesia. Bersama tentara Sekutu
mereka berhasil menguasai wilayah Jawa Barat.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi. Akibatnya,
Tentara Republik Indonesia (TRI) banyak yang memilih mundur ke pedesaan dan
bergabung bersama rakyat setempat untuk membangun pertahanan menghadapi
serangan Belanda. Beberapa pasukan TRI bermarkas di Desa Rawagede dan dipimpin
oleh Kapten Lukas Kustarjo. Celakanya, markas pejuang di Desa Rawagede
diketahui oleh antek-antek Belanda.
Tanpa pikir panjang, tentara
militer Belanda segera mempersiapkan rencana penyerangan mendadak terhadap
Kapten Lukas dan prajuritnya. Belanda berusaha mencari keberadaan Kapten Lukas,
namun mereka tidak berhasil menangkapnya. Belanda lalu mengumpulkan penduduk
laki-laki berusia sekitar 14 tahun di lapangan. Satu per satu dari mereka
ditanyai perihal keberadaan Kapten Lukas, tetapi tidak ada satu pun yang
mengetahuinya. Jawaban mereka tentu tidak membuat Belanda langsung percaya
begitu saja. Para pemuda ini kemudian diperintahkan jongkok membelakangi
tentara Belanda dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala. Dalam sekejap, tubuh-tubuh
mulai berjatuhan setelah dieksekusi oleh Belanda.
Aku: “Anda menulis puisi
untuk mengenang para pemuda remaja yang baru-baru ini dibunuh Belanda di antara
Karawang dan Bekasi, bisa anda ceritakan kenangan itu…”
Chairil:
“Kami yang kini terbaring
antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka”
dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi
mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan
mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam
dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal
tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami
bisa
Tapi kerja belum selesai,
belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang
berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan
nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk
kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak
lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam
dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis
batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami.
yang tinggal tulang-tulang
diliputi debu
Beribu kami terbaring antara
Karawang-Bekasi.
TAMAT
Tulisan ini adalah wawancara
imajiner mengenang Chairil Anwar
Sumber:
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar
https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/12/195042579/peristiwa-pembantaian-rawagede-1947?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar