Di hari kedua hari bebas kami dari kantor,
saya dan kolega-kolega pergi ke Bastille dan bagian-bagian lain dari Marais.
Kami pikir
kami akan melihat penjara Bastille yang bersejarah yang diserbu ketika revolusi
Perancis di tanggal 14 Juli 1789, tapi tidak ada penjara itu. Penjara itu sudah
dihancurkan dan di tempatnya ditegakkan monumen yang melambangkan perdamaian
dan tetap berdiri hingga sekarang. Nama monumen itu adalah Colonne de Juillet,
atau Tiang Juli. Tingginya 47 meter dan terbentuk dari 21 coran tembaga yang
duduk di atas dasar marmer putih dengan ornamen ukiran, dirancang oleh arsitek
Jean-Antoine Alavoine atas perintah Raja Louis Philippe.
Lapangan itu sekarang dikenal sebagai Place de
la Bastille dan merupakan monumen sejarah resmi Perancis. Di sebelah Selatan
lapangan ini terdapat bangunan melengkung yang besar dan berkilau, bangunan itu
adalah Opera Bastille. Bangunan itu dibangun oleh arsitek Carlo Ott, dan
diresmikan oleh Presiden Mitterand untuk perayaan 200 tahun Revolusi Perancis
pada malam tanggal 14 Juli 1989, Hari Bastille.
Selama bertahun-tahun distrik ini menjadi
salah satu tempat yang terkenal di Paris. Kehidupan malam di sini cukup
terkenal, ada banyak bar-bar dan nightclubs yang berjejer di antara Rue de
Lappe, the Rue de la Roquette dan Faubourg Saint-Antoine.
Berjalan di sebelah kiri dari Boulevard
Beaumarchias, meninggalkan Place de la Bastille, pada jalan ke dua kami datang
ke Rue du Pas de la Mule. Setelah belok kiri, dalam beberapa langkah kami
melihat gedung berbata merah yang membentuk Place des Vosges. Mansion ini,
dibangun di awal 1600-an, adalah sebuah kompleks yang terdiri dari 36 rumah
dengan arkade
yang terletak di sekelilingnya. Ada taman di tengah Place des Vosges yang
dinamai Lapangan Louis XIII. Sering kali rumput di sini bisa dipakai untuk
berleha-leha.
Berjalan di arkade dengan tiang-tiang dan
lengkungan langit-langit dari Place des Vosges, serasa seakan kami baru saja
memasuki abad ke 17. Terus ke
depan, melalui café dan art galeri, di sudut arkade ini,
adalah rumah no 6, sebuah mansion yang pernah menjadi tempat tinggal Victor Hugo. Sekarang
mansion ini menjadi museum yang buka setiap hari, kecuali Senin dan hari libur.
Hari itu Oriana keluar dari kamarnya
mengenakan setelan celana berwarna violet, menyapa saya dan duduk di kursi di
muka jendela, menopangkan salah satu kakinya di paha kaki lainnya. Di tangan
kanannya dia mengapit sebatang rokok Virginia Slims dan menghembusnya terus menerus. Walaupun dia kecil,
mungkin 1.55 meter dan berat sekitar 45 kg, postur tubuhnya memberi kesan
seorang wanita yang penuh percaya diri, meyakinkan dan tegas.
Wawancara-wawancaranya dengan tokoh-tokoh terkenal dunia mengkonfirmasi hal ini
semua. Ini adalah wanita yang berani bertanya kepada tokoh-tokoh politik
pertanyaan-pertanyaan yang brutal di dalam wawancaranya. Ini adalah wanita yang
berani membuka cadarnya ketika mewawancarai Khomeini, berani menanyai Nguyen
Van Thieu “Sebagaimana korupkah anda?”, dan berani menuduh Yasir Arafat “Anda
sama sekali tidak menginginkan perdamaian yang diharapkan semua orang.”
Bukunya yang paling terkenal “Wawancara dengan
Sejarah” mengumpulkan wawancara-wawancara dengan 14 tokoh politik, dengan
sampul yang mengutip majalah Rolling Stone “pewawancara politik yang terbesar
di masa modern.” Saat saya kuliah saya membaca beberapa wawancara yang
membuatnya terkenal, dengan Henry Kissinger, Khomeini, dan saya terpesona. Baru
belakangan ini saya menemukan buku ini dan lebih terpesona lagi dengan
wawancara-wawancara degan tokoh-tokoh yang kurang populer Shah Iran, King
Hussein, Jenderal Giap dan bahkan dengan tokoh yang hampir tak terkenal
Alexandros Panagoulis. Sebelum membacanya, saya tidak menyangka betapa
menariknya wawancara-wawancara itu, yang memberi pandangan segar dan membuka
jendela-jendela terhadap kepribadian tokoh-tokoh politik itu.
Jadi, saya datang ke apartemennya di Florence
melalui jembatan Ponte Vecchio yang terkenal itu dan duduk dengan wanita lincah
ini untuk berbincang tentang buku ini. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya
dengan suara yang dalam, beraksen Italia, dan dengan banyak pergerakan
lengannya. Meskipun terkenal sebagai wanita temperamental, bagi saya nampaknya
dia wanita yang penuh perhatian dan baik hati.
Lalu saya menembakkan pertanyaan pertama:
“Pada
umumnya, jurnalisme menekankan obyektivitas dalam penulisan agar memberi
gambaran akan masalah dan kejadian-kejadian secara netral dan tidak bias, tanpa
mempertimbangkan
pandangan dan kepercayaan pribadi sang jurnalis. Sementara anda terkenal secara
di seluruh dunia dengan pendekatan anda yang penuh penghayatan dan
konfrontatif. Anda menjadi selebriti karena wawancara anda yang interogatif,
pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan yang membuat Shah Iran membagikan
pandangan religiusnya, membuat Jenderal Giap mengungkapkan rencana permainan
militernya untuk mengalahkan Amerika di Vietnam, dan kadangkala membuat
Nguyen Van Thieu berair-mata.”
Oriana:
“Saya tidak merasa untuk menjadi, atau tidak
akan pernah berhasil untuk merasa seperti, sebuah perekam dingin dari apa yang
saya lihat dan dengar. Dalam setiap pengalaman profesional, saya meninggalkan
seberkas hati dan jiwa saya: dan saya ikut serta dalam hal yang saya lihat dan
dengar seakan-akan saya berkepentingan secara pribadi akan hal itu dan
merupakan suatu hal yang saya harus menentukan pendirian saya. Jadi saya
tidaklah datang ke empat belas orang ini dengan sikap ambil jarak seorang
anatomis atau seorang wartawan yang berhati dingin. Saya datang dengan seribu
rasa marah, seribu pertanyaan yang mendera mereka juga mendera saya, dan dengan
harapan untuk mengerti bagaimana, sebagai seorang berkuasa atau penentangnya,
orang-orang itu menentukan masa depan kita.”
Aku berkata:
“Di dalam wawancara dengan Shah Iran anda
memang menderanya, seperti tinju, anda melemparkan pukulan-pukulan ke dia, dia
bertahan dan bahkan membalas dengan uppercut ke anda.”
Oriana:
“ Dia adalah seorang yang memiliki karakter
yang konflik-konflik yang paling bertentangan bergabung untuk menghadiahkan
sakit hati anda dengan misteri. Dia percaya akan mimpi-mimpi kenabian, dalam
penglihatan-penglihatan, dalam mistis kekanak-kanakan, dan lalu membahas minyak
bumi seakan seorang ahli, yang memang dia ahlinya. Dia memerintah bak monarki
absolut, dan lalu bercerita tentang rakyatnya dalam nada seorang yang percaya
kepada mereka dan mencintai mereka, dengan memimpin Revolusi Putih yang memberi
kesan seakan-akan berusaha untuk memerangi buta huruf dan sistem feodal. Dia menganggap
wanita hanya sebagai hiasan-hiasan yang anggun yang tak dapat berpikir seperti
lelaki, dan lalu berusaha memberi wanita-wanita kebersamaan sepenuhnya akan hak
dan tugas. Memang, di dalam masyarakat dimana wanita masih memakai cadar, dia
bahkan memerintahkan gadis-gadis untuk melaksanakan dinas militer.”
Aku berkata:
“Apakah anda bertanya apakah dia seorang
diktator?
Oriana:
“Dia bilang dia tidak akan menyangkalnya,
karena dalam satu segi dia adalah diktator. Lalu: ‘Tapi lihatlah, untuk
melaksanakan reformasi, seseorang tak bisa menghindar untuk menjadi otoriter.
Terutama jika reformasi itu dilaksanakan di sebuah negara seperti Iran, dimana
hanya dua puluh lima persen penduduknya dapat membaca dan menulis. Jangan lupa
bahwa buta huruf disini sangat drastis – dibutuhkan setidaknya sepuluh tahun untuk
membasminya.
Percayalah kalau tiga perempat penduduk suatu
negeri tidak dapat membaca dan menulis, anda hanya bisa menjalankan reformasi
dengan sikap yang sangat otoriter- kalau tidak anda tidak kemana-mana. Kalau
saya tidak bersikap keras, saya bahkan tidak akan bisa menjalankan reformasi
agraria, hal itu akan menemui jalan buntu. Kalau hal itu terjadi, kelompok
ekstrim kiri akan melindas kelompok ekstrim kanan dalam beberapa jam, dan bukan
hanya Revolusi Putih yang akan terhentikan. Saya harus melakukan apa yang saya
lakukan. Misalnya, memerintahkan tentara saya menembak siapa saja yang menentang distribusi tanah.”
Aku berkata:
“Anda bilang di buku ini bahwa sikapnya dingin
selama wawancara, kaku, bibirnya tertutup bak pintu yang terkunci, matanya
dingin bak angin musim dingin, menatap anda dengan kaku dan kejauhan. Namun dia
sangat berbeda ketika dia bicara tentang minyak bumi. Dia bersinar, bergetar,
fokus, dia menjadi orang lain.”
Oriana:
“Dia merasa mengetahui segala hal yang dapat
diketahui tentang minyak bumi, segalanya. Dia bilang: “Hal ini memang keahlian
saya. Dan saya memberitahu anda sebagai seorang ahli bahwa harga minyak bumi
haruslah naik. Tidak ada solusi lain. Tapi itu adalah solusi yang orang Barat membawanya
pada diri sendiri. Atau, bisa dibilang, sebuah solusi yang dibawa oleh
masyarakat industrial anda yang terlalu beradab. Anda telah menaikkan harga
gandum tiga ratus persen, dan sama halnya dengan gula dan semen. Anda telah menaikkan harga petrochemicals
selangit. Anda membeli munyak mentah dari kami dan menjualnya kembali, setelah
disuling menjadi petrochemicals, serratus kali harga yang anda bayar. Anda
membuat kami membayar berlebihan untuk segalanya, sangat berlebih, dan adalah
adil jika dari sekarang anda harus membayar lebih untuk minyak bumi.
Katakanlah…. sepuluh kali lipat.
Saya tidak bisa melupakan dia tiba-tiba
mengangkat jari telunjuknya dengan pandangan mata penuh kebencian, untuk
mengesankan saya bahwa harga minyak bumi akan naik, naik, sepuluh kali lipat.
Saya merasa mual berhadapan dengan pandangannya dan telunjuknya….”
Aku berkata:
“Banyak tokoh politik yang anda wawancarai didalam buku ini
memiliki pandangan yang sosialis, Golda Meir, Willy Brandt, Indira Gandhi, Pietro Nenni
hingga Helder Camara. Namun sosialisme memiliki banyak warna, dari yang lunak hingga liberal. Apakah anda
sosialis Oriana?”
Oriana:
“Tidak, saya bukan sosialis. Sosialisme yang
diterapkan sekarang tidaklah berhasil. Kapitalisme juga tidak berhasil. Lebih
baik saya mengutip apa yang di katakan Indira Gandhi dalam wawancara:
‘Saya tidak melihat dunia sebagai sesuatu yang
terbagi antara kanan dan kiri. Walaupun kita menggunakannya, walaupun saya
menggunakannya, istilah-istilah ini sudah kehilangan arti. Saya tidak berminat
dalam satu label atau yang lainnya ---- Saya hanya berminat untuk mencapai
jalan keluar dalam suatu permasalahan, untuk mencapai tujuan saya. Saya
mempunyai beberapa tujuan. Tujuannya sama dengan tujuan ayah saya: memberi
rakyat standar hidup yang lebih tinggi, membasmi kanker kemiskinan,
menghilangkan konsekuensi ketertinggalan ekonomis. Saya ingin berhasil. Dan
saya ingin berhasil dengan sebaiknya, tanpa memperdulikan apakah orang akan
mengatakan tindakan saya bersikap ke pihak kiri atau kanan.
Sama halnya ketika
kami menasionalisasi bank-bank. Saya tidaklah menyetujui nasionalisasi hanya
demi retorik nasionalisasi saja, atau karena saya melihat bahwa nasionalisasi
menyembuhkan segala ketidakadilan. Saya menyetujui nasionalisasi jika
diperlukan. Kami menyadari bahwa bank-bank belum membawa perbaikan, dananya
masih mengalir ke industrialis kaya atau kroni para pemilik bank. Dan kamipun
menasionalisasikan bank-bank tersebut tanpa memperdulikan apakah langkah ini
sebuah tindakan sosialis ataukah antisosialis, ini hanya sebuah keperluan.
Siapapun yang menasisonalisasikan sesuatu hanya untuk dianggap sebagai berpihak
ke kiri bagi saya adalah orang dungu.
Kata sosialisme
sekarang memiliki banyak arti dan interpretasi. Orang Russia menamakan mereka
sosialis, orang Swedia menamakan mereka sosialis. Dan jangan lupa di Jerman
juga ada sosialis nasional. Bagi saya sosialisme berarti keadilan. Artinya
berusaha untuk bekerja dalam masyarakat yang lebih egalitarian.”
Aku berkata:
“Salah satu wawancara anda yang luar biasa
adalah dengan Jenderal Giap, jenderal Vietnam Utara ketika perang Vietnam. Dia
terkenal akan kekejamannya, tentara Perancis jatuh ke perangkapnya yang penuh
dengan tawon berbisa, sumur jebakannya penuh dengan ular, atau mereka diledakkan
oleh bom yang tersembunyi di mayat-mayat yang ditinggalkan di pinggir jalan,
dan di tahun 1954 dia mengalahkan Perancis di Dien Bien Phu. Dia juga ditakuti
tentara
Amerika, dan atas keberaniannya Ho Chi Minh biasanya memanggilnya Kui atau ‘Setan’.
Ketika anda berjumpa dengan dia, apakah anda
menemukannya sebagai seseorang yang menakutkan?”
Oriana:
“Saya pertama-tama terkejut betapa pendeknya
dia, kurang dari 1.5 meter, dengan badan yang gemuk. Mukanya bengkak dan
diliputi pembuluh-darah pembuluh-darah kecil biru yang membuatnya kelihatan
ungu. Tidak, wajah itu tidaklah sangat menarik. Mungkin karena warna ungu itu,
mungkin karena garis-garis yang tak menentu, membuat anda sukar untuk tetap
menatapnya, dimana yang anda temukan jarang menarik. Mulut yang besar penuh
dengan gigi-gigi kecil, hidung pesek yang membesar karena dua lubang hidung
yang besar, keningnya yang berhenti ditengah kepalanya dengan sejumput rambut hitam…”
Aku berkata:
“Apakah dia memamerkan strategi perangnya?
Oriana:
“Dia bilang tentara Amerika meremehkan semangat orang-orang yang
mengetahui bagaimana berperang untuk tujuan yang perlu, untuk menyelamatkan
negaranya dari serangan asing. Perang Vietnam tidaklah tergantung angka-angka
dan tentara
yang dipersenjatai dengan baik, semua hal itu tidaklah menyelesaikan
permasalahan. Ketika seluruh rakyat memberontak, tidak ada lagi yang anda dapat
perbuat, dan tidak ada kekayaan manapun di dunia yang dapat mengalahkannya.
Musuh mereka bukanlah serdadu yang baik, karena mereka tidak yakin akan apa
yang mereka lakukan dan karena itu kekurangan semangat bertempur.
Oh, ini bukanlah peperangan yang anda bisa
selesaikan dalam beberapa tahun. Dalam peperangan dengan Amerika Serikat, anda
butuh waktu, waktu…. Tentara Amerika akan terkalahkan dengan waktu, dengan
menjadi Lelah. Dan untuk membuat mereka Lelah, kami harus terus bertempur,
berlangsung…. Untuk waktu yang lama: sepuluh, limabelas, duapuluh, limapuluh tahun.
Sampai kami mencapai kemenangan, seperti yang dikatakan presiden kami Ho Chi
Minh. Benar! Bahkan duapuluh bahkan limapuluh tahun! Kami tidak tergesa-gesa, kami tidak takut.”
Aku berkata:
“Wawancara anda dengan Jenderal Giap mendapat
perhatian Henry Kissinger, yang lalu mengundang anda untuk mewawancarainya.
Sangat jarang dia memberi wawancara pribadi, biasanya dia bicara di konferensi
pers yang diatur oleh pemerintah. Apa yang dia bilang tentang wawancara dengan
Giap?”
Oriana:
“Dia tidak bicara tentang Jenderal Giap,
sebaliknya dia bertanya kepada saya tentang Giap, Thieu dan jenderal-jenderal
Vietnam lainnya. Dia bahkan bertanya kepada saya: ‘Menurut anda apa yang akan
terjadi di Vietnam dengan genjatan senjata?’ Tentang Vietnam dia tak bisa
bercerita banyak, dan saya kagum ketika dia bilang: bahwa apakah perang ini
akan berhenti atau berlanjut tidaklah tergantung padanya, dan dia tak memiliki
kemewahan untuk mengorbankan segalanya dengan sebuah perkataan yang tak perlu.
Dia bilang: ‘Jangan menanyakan saya hal itu. Saya harus berpegang kepada apa
yang saya katakana kepada publik sepuluh hari lalu…. Saya tidak bisa, saya
tidak bisa menganggap sebuah hipotesa yang saya pikir tak akan terjadi, sebuah
hipotesa yang tidak harus terjadi. Apa yang saya bisa katakana adalah bahwa
kita berjuang untuk perdamaian, dan kita bagaimanapun akan mendapatkannya,
dalam waktu yang sesingkat mungkin setelah pertemuan saya dengan Le Duc Tho
lain kali.”
Aku berkata:
“Apakah Henry Kissinger bilang bahwa perang
Vietnam adalah perang yang tidak ada gunanya?”
Oriana:
“Dia bilang dia setuju: ‘Tapi jangan lupa
bahwa alasan mengapa kita berperang adalah untuk menjaga agar Vietnam Selatan
jangan dicaplok oleh Vietnam Utara, perang ini diperuntukkan agar Selatan tetaplah
Selatan. Tentu saja maksud saya bahwa ini satu-satunya alasan…. Ada alasan
lain…. Tapi hari ini saya tidaklah dalam posisi untuk menilai apakah perang
Vietnam itu perlu atau tidak, apakah perang itu berguna atau tidak berguna.
Setidaknya, peran saya, perankita, adalah
untuk mengurangi terus menerus keterlibatan Amerika dalam peperangan ini, dan
kemudian menghentikannya. Dan harus dihentikan menurut prinsip-prinsip
tertentu.
Akhirnya, sejarah akan berkata siapa yang lebih
banyak bertindak: orang-orang yang terus menerus mengkritik dan tidak lain dari
itu, atau kita yang berusaha mengurangi peperangan dan mengakhirinya. Benar,
keputusannya tergantung sejarah.”
Aku berkata:
“Sekarang, bagian terakhir buku anda adalah
wawancara dengan Alexandros Panagoulis, politikus Yunani dan penyair, yang aktif
ikut serta melawan junta militer Yunani, yang juga dikenal dengan Regim para
Kolonel. Dia menjadi terkenal atas percobaan pembunuhan diktator Georgios
Papadopoulos pada 13 August 1968, tapi juga atas siksaan yang diterimanya
selama di penjara.
Membaca wawancara ini, pembaca tak dapat
terhindar dari pengamatan bahwa anda sangat mengaguminya, bahkan dengan penuh asmara.”
Oriana:
“Malam itu di Athena, dua hari saja setelah
amnesti politik umum melepaskan Alexandros Panagoulis dari penjara, saya
menjumpainya untuk wawancara dan jatuh cinta kepadanya.”
Aku berkata:
“Panagoulis adalah orang yang nyata: Seorang
pahlawan yang dijatuhi hukuman mati atas percobaan pembunuhan seorang diktator.
Dia hanya menyesali bahwa dia gagal. Apakah anda melihatnya sebagai seorang
pahlawan?”
Oriana:
“Dia bilang: ‘Saya bukanlah seorang pahlawan
dan saya saya tidak merasa sebagai sebuah simbol….. Saya sangat takut
mengecewakan anda semua yang melihat begitu banyak tentang saya! Oh, kalau saja
anda bisa berhasil melihat saya hanya seorang manusia!”
Aku berkata:
“Dan lalu anda bertanya: ‘Alekos, apa artinya
menjadi seorang manusia?”
Oriana:
“Dia bilang: ‘Itu berarti untuk memiliki
keberanian, untuk memiliki kehormatan. Itu berarti mencintai tanpa membuat
cinta suatu jangkar. Itu berarti berjuang dan untuk menang… Dan bagi anda,
apakah seorang manusia?’
Saya menjawabnya : ‘Saya akan bilang bahwa seorang
manusia adalah anda, Alekos.”
Demikianlah berakhirnya wawancara ini. Arrivederci Oriana….
TAMAT
Ini adalah wawancara
imaginer mengenang Oriana Fallaci.