Di malam hari di Kabukicho berkelap-kelip
mengundang para pekerja kantor yang kelelahan untuk menikmati hiburan di sini. Ada
banyak kelab malam di daerah ini, bukan hanya untuk pria tapi banyak juga yang khusus
bagi wanita, dilayani oleh teman penghibur pria. Ada banyak pula apa yang
dinamai Love Hotel di sini, yang menyediakan kamar untun berkencan jam-jaman
maupun semalaman. Saya jadi teringat film ‘Kabukicho Love Hotel’ yang
menggambarkan suasana sebuah Love Hotel, menunjukkan kamar-kamarnya, pegawainya
dan tentu saja para tamunya yang berkencan dengan intim. Kita bisa melihat
berbagai jenis romansa dan kencan dari berbagai pasangan tamu dari berbagai
latar belakang, yang selingkuh, yang melacurkan diri, yang memeras, dan cinta
tidak menjadi tema utama di kamar-kamar hotel ini.
Kabukicho memanglah daerah lampu merah yang
ramai di Shinjuku, Tokyo. Di tahun 1940an direncanakan dibangun sebuah teater
kabuki di sini. Namun walaupun teater ini tidak terwujud sampai sekarang, nama
Kabukicho tetap melekat. Saat kita menyusuri jalan-jalan yang sempit yang
diterangi lampu-lampu neon dan reklame yang berkilauan , kita disambut para
pelayan dan calo yang menawarkan dagangan mereka. Suasana ini cukup lumrah di
Tokyo, tapi yang membuat unik di sini mereka juga menawarkan daging perempuan,
seks. Tapi tidak sevulgar Pat Pong di Bangkok, di mana perempuan-perempuan
berbikini menjajakan diri di kiri kanan jalan. Di sini para penjaja memberi
selebaran-selebaran yang menawarkan pijat dengan perempuan cantik,
makanan-makanan dan minuman unik, video game, pachinko dan toko-toko lainnya.
Kalau ada ingin mengabaikan tawaran-tawaran yang
bernafsu itu, anda bisa menyusuri gang-gang di Golden Gai yang dipadati bar dan
warung kecil yang kelihatan reot. Di
sini suasananya terasa lebih akrab karena padatnya pengunjung dan kecilnya
ruangan. Anda bisa memesan makanan dan minuman khas Jepang, setelah anda
menemukan tempat duduk di tengah kerumunan. Tapi jangan heran kalau bau asap berbagai
panggangan bercampur baur dengan asap rokok, namun para pengunjungnya yang semua
‘ceria’ menikmati suasana malam. Sering terdengar kata-kata kata ‘oishii’
(enak) atau ‘kanpai’ (cheers) yang
diucapkan dengan nada seperti berbicara dengan anak kecil atau anak anjing. Lebih-lebih
kalau yang berbicara perempuan, nadanya tinggi dan dengan suara hidung, seperti
dalam film animasi Jepang, begitu. Apalagi ketika melihat ia sesuatu yang imut-imut
entah itu boneka atau baju atau tas, mereka berseru ‘kawai…’ dengan nada
begitu. Seru deh.
Sebelum wawancara dengan Natsume, aku menyempatkan diri mengunjungi
kota Matsuyama. Kota ini menjadi setting dari novel Natsume yang berjudul
‘Botchan’. Ia pernah ditugaskan sebagai guru di Matsuyama, dan pastilah pengalaman
itu yang mengilhaminya menulis novel yang bercerita tentang seorang guru
matematika sekolah menengah yang ditugaskan mengajar di Matsuyama. Guru itu
bernama Botchan yang artinya ‘Tuan Muda’ dalam bahasa Jepang. Botchan memiliki
karakter yang tidak umum bagi seorang guru, yakni mulutnya sarkastis,
perkataannya tajam tanpa dipoles, yang tanpa sungkan-sungkan ditujukan baik
kepada murid-muridnya maupun rekan-rekan guru lainnya. Ia memaki-maki murid-muridnya
yang sering usil dan jahil kepadanya. Ia juga lantang dan tajam berbicara
kepada guru-guru lainnya yang tidak disukainya. Ia memberi julukan-julukan
kepada guru-guru yang tingkahnya aneh-aneh. Narasi yang segar dan komikal
membuat novel ini sangat digemari di Jepang dan menjadi bacaan wajib di
sekolah-sekolah. Agaknya, setiap pelajar di Jepang pernah membaca novel ini.
Kota Matsuyama ternyata tidaklah begitu ketinggalan jaman seperti yang
dibilang si Botchan. Tentunya kota ini tidak bisa dibandingkan dengan Tokyo, kota
besar tempat tinggal Botchan sebelum pindah ke Matsuyama. Di sini, aku juga
mencari dan menemukan pemandian air panas yang sering dikunjungi Botchan,
tempat pelariannya setiap sore hari sehabis mengajar di sekolah. Nama tempat
pemandian ini Dogo Onsen, sebuah pemandian umum yang cukup besar dan terkenal.
Bangunannya tiga lantai, terbuat dari kayu tertata dengan indah dan megah. Air
panas di kolam pemandiannya bersumber dari bumi mengandung banyak mineral. Sungguh melegakan rasanya berendam di kolam
air panas ini, melemaskan otot-otot dan sendi-sendi yang pegal. Aku bisa
membayangkan bagaimana Botchan menikmati hangatnya air dan merasa pulih kesegarannya
setelah berendam beberapa saat saja.
Maka, saat aku berjumpa dengan Natsume di rumahnya di Waseda-Minamicho,
Tokyo, aku memulai percakapan tentang Dogo Onsen ini.
Aku:
“Natsume-san, saya berkunjung ke Matsuyama sebelum saya kesini, sekedar
untuk mengenal kota ini yang menjadi kota tempat Bochan mengajar. Walaupun nama
kota itu tidak disebutkan di novel itu, beberapa pembaca dapat menerka, karena
anda sendiri pernah mengajar di Matsuyama. Di kota ini saya menemukan Dogo
onsen dan mencoba berendam di air panas pemandian ini. Konon, Dogo onsen inilah
pemandian yang sering dikunjungi Botchan di waktu senggangnya, berhubung penggambaran
pemandian di novel ini sesuai dengan bangunan Dogo onsen ini. Apa betul Dogo
onsen ini adalah tempat Botchan mandi setiap hari?”
Natsume:
“Ya, menurut Botchan, bangunannya tiga lantai, kolam mandinya terbuat
dari granit, berukuran sekitar 10 meter persegi. Biasanya ada tiga belas atau
empat belas orang di dalam kolam, tapi terkadang tidak ada. Kalau tidak ada
orang, Bochan mengambil kesempatan untuk berenang di kolam ini, walaupun kola
mini ini bukan kolam renang dan ada peringatan yang menuliskan: “Dilarang
berenang di dalam kolam.” Peringatan itu seakan ditulis khusus buat Botchan
yang sering mencuri-curi berenang di kolam itu waktu sepi. Sesuai kebiasaan
umum, kolam itu untuk tempat berendam menikmati hangatnya air, kolamnya terlalu
kecil untuk berenang.”
Aku:
“Kelihatannya ada muridnya yang mengetahui bahwa Botchan sering
berenang di kolam itu dan melaporkannya. Jadi, keesokan harinya Botchan
terkejut ketika masuk ke ruangan sekolah, di papan tulis ada tertulis:
“Dilarang berenang di dalam kolam.” Ha... ha... ha.... Saya teringat jaman
sekolah dulu, memang murid-murid kadang-kadang suka usil begitu...”
Natsume, juga tertawa:
“Ya murid-muridnya usil karena
Botchan itu guru muda yang baru mengajar di sekolah itu. Bayangkan, si Botchan
itu kalau pergi ke pemandian itu selalu membawa handuk yang sama berukuran
besar, ukuran Eropa. Handuk ini berwarna agak merah seperti warna air panas
yang mengandung mineral di pemandian Dogo
onsen itu. Handuk ini senantiasa digenggam tangannya kalau pergi ke pemandian
itu, baik saat berjalan maupun saat naik kereta api ke sana. Oleh karena itu,
para murid menjulukinya “Handuk Merah”. Ha...
ha... Sepertinya semua murid bersekongkol untuk menguntitnya ke mana saja untuk
mengamati apa yang dikerjakan guru muda ini... Ha..ha..”.
Aku, ikut tertawa:
“Tapi, si Botchan itu tidak kalah bandelnya, ia hadapi murid-muridnya
dengan umpatan-umpatan yang sarkastis dan meladeni keusilan murid-muridnya
dengan galak. Ia memberi hukuman yang setimpal kepada murid-muridnya. Para guru
banyak yang mencela tindakan Botchan kepada murid-muridnya, yang dianggap tidak
layak dilakukan seorang guru. Botchan pun tidak mau kalah, dan membantah mereka
dengan ungkapan-ungkapan yang makin sarkastis. Ia bahkan siap bertempur dengan
guru-guru yang tidak mencelanya. Guru-guru itu diolokinya dengan
julukan-julukan sesuai dengan tingkah laku aneh guru itu...”
Natsume:
“Ya, terutama si “Baju Merah”, kepala guru yang munafik dan manipulatif,
itu musuh besarnya. Ia diberi julukan begitu karena setiap hari ia memakai baju
berbulu merah, dan berbicara seperti wanita, ... ha... ha...”
Ya memang si “Baju Merah” itu tokoh yang sangat menyebalkan. Aku
mereka-reka apakah memang ada rekan guru Natsume di sekolah itu yang bertingkah
seperti si Baju Merah, yang mengilhami Natsume menulis karakter seperti ini. Seperti
halnya kota Matsuyama yang menjadi setting novel ini, dan tempat pemandian yang
penggambarannya sesuai dengan Dogo onsen, mungkin karakter-karakter dalam
cerita ini juga sesuai dengan orang-orang yang dikenalnya selama mengajar di
sekolah itu.
Kota Matsuyama, selain sebagai settingnya “Botchan”, adalah juga kota
di mana Natsume bertemu kembali dengan Shiki Masaoka, sahabat kentalnya sejak
di sekolah. Shiki Masaoka banyak menulis Haiku semenjak di sekolah waktu itu,
dan Natsuke terpengaruh menulis Haiku olehnya. Haiku adalah puisi pendek
terdiri dari 3 baris dan 17 silabel, yang populer di Jepang. Haiku yang pendek
ini menuangkan kesan yang dialami penulisnya dalam sekejap, yang spontan
dirasakan dalam suatu perjumpaan. Haiku bisa mengenai hal yang sederhana yang
dijumpai sehari-hari, hal-hal yang ringan dan lucu, namun bisa juga mendalam ungkapannya,
yang eksistensial, tentang cinta dan kematian. Sejak di situ, Natsume, bersama
Shiki, juga banyak menulis Haiku, baik mengenai perjumpaan yang sepele, yang
lucu, maupun yang mendalam.
Aku:
“Kabarnya di Matsuyama anda bertemu
teman akrab anda Shiki Masaoka, dan bersama-sama meluangkan waktu untuk menulis
Haiku di sana. Bagaimana anda bisa bersahabat dengan Shiki Masaoka, yang boleh
dibilang adalah salah satu Haiku Master di Jepang?”
Natsume:
“ Shiki Masaoka itu sahabat saya sejak di sekolah, dan dia sudah banyak
menulis Haiku di masa itu. Ia telah mengumpulkan puisi-puisinya dalam satu buku
yang dia beri judul “Nanakusashu”, yang juga merisi puisi-puisi bergaya tulisan
Tiongkok dan Haiku. Suatu hari ia mengedarkan buku itu di dalam kelas untuk
dikomentari teman-temannya. Saya membubuhkan komentar saya di akhir buku itu, serta melampirkan sembilan puisi-puisi yang
saya tunjukan kepadanya untuk. “
Aku:
“Seperti apa puisi yang anda tulis...?”
Natsume, mengutip salah satu puisinya yang dia tulis di buku itu:
“Hidup dalam ketiadaan agak bergaya,
Musim panas ini Anda memutuskan untuk menyewa kamar di House of the
Fragrant Moon di tepi sungai.
Sementara menghabiskan waktu menulis puisi yang menampilkan lanskap
pedesaan gandum hijau dan bunga rapeseed kuning,
Musim telah berganti, dan musim gugur dengan bunga merah lada air dan
bunga putih gulma mengambang telah tiba lagi.”
Aku: “Bagaimana pendapat Shiki...?”
Natsume:
“Ia menyukai puisi itu..., puisi itu mengingatkan pengalamannya saat
liburan musim panas di Mukojima. Ia menyewa kamar untuk menulis kumpulan puisi
“Nanakusashu” itu, lokasi itu menurutnya
adalah dunia tanpa arti, yang merupakan tempatnya mendapatkan inspirasi untuk
tulisan-tulisannya.
Tapi di kemudian hari saya menganggap puisi-puisi itu
kekanak-kanakan.... Saya merasa sungguh malu dan memintanya merobek puisi-puisi
itu... “
Aku: “Saya tidak merasa begitu...”
Natsume:
“Bagaimanapun, sejak itu kami menjadi sahabat yang akrab, nama pena
saya “Soseki” sebenarnya adalah salah satu nama pena Shiki, yang kemudian dihibahkannya
kepada saya. Dan sampai sekarang saya bernama Natsume Soseki...”
Aku: “Apakah ada artinya Soseki itu...?”
Natsume: “Soseki berasal dari ungkapan dari “Shinjo” di jaman Tang
dinasti di Tiongkok, yang artinya ‘Berkumur dengan Batu’ ...”.
Aku mengernyitkan kening: “Berkumur dengan Batu? Kok aneh?”
Natsume: “Ya, itu pengandaian bagi seorang yang kalah tapi tidak mau
mengakui kekalahannya, Bad Looser... ha...ha..”
Aku ikut tertawa: “Hmm... itulah nama pena yang dihibahkan Shiki, ya...
Jadi nama itu menertawakan diri kalian, ya....”
Natsume:
“Kami menjadi teman dekat dan sering berbagi Haiku dan tulisan puisi
Tiongkok dalam surat-surat kami. Shiki terkesan dengan puisi-puisi Tiongkok
yang saya tulis, dan saya terkesan dengan Haiku-Haiku yang dia tulis, jadi kami
saling bertukaran puisi untuk menuturkan pikiran dan perasaan kami. Ketika di
Matsuyama, kami semakin banyak menulis Haiku bersama-sama. Saat itu ia
sebenarnya datang ke kota ini untuk memulihkan penyakit tuberculosis yang
dideritanya, karena kota ini sebenarnya adalah kota kelahirannya. Di sana kami mencurahkan
waktu luang kami untuk Haiku, dan juga menulis puisi-puisi di pertemuan-pertemuan
dengan penyair-penyair dan murid-murid kami.”
Aku: “Wah... kalian sangat produktif ya menulis puisi...”
Natsume: “ Ya, Shiki sangat berbakat, tapi di kemudian hari ia mengakui
bahwa sebagai pelajar, ia murid yang kurang rajin...”
Aku: “Ya banyak orang-orang terkenal yang tidak rajin belajar,
nilai-nilai rapornya tidak cemerlang dan bahkan banyak yang gagal di
sekolah...”
Natsume:
"Ya, Shiki banyak mengalami hambatan ketika belajar di sekolah, bahkan di
tingkat akhir ia berniat mengundurkan diri dari Tokyo Imperial University
karena ia gagal di ujian akhir. Saya menerima surat darinya tentang niatnya
itu, saya menjadi sangat gusar dan langsung membalas suratnya berusaha
menenangkan pikirannya agar ia tidak salah jalan… di akhir surat itu saya membubuhkan
Haiku untuk menyejukkannya yang berbunyi: ‘ Burung cuckoo malam, jika engkau
menangis, menangislah kepada bulan purnama...’ … Untuk anda ketahui nama Shiki
berarti burung cuckoo...”
Aku berkata: “Lalu, apakah anda berhasil mengubah pikirannya ...?”
Natsume: “Sayangnya …., setahun kemudian dia benar-benar mengundurkan
diri dari Tokyo Imperial University....”
Di tengah percakapan kami, Kyoko, istri Natsume, masuk membawa nampan
berisi camilan yang diletakannya di atas meja di depan kami yang sedang duduk
bersila. Aku melihat panganan dengan warna warni menarik, ada kue mochi, kue
khas Jepang yang terbuat dari beras ketan. Ada tiga macam warna kue-kue itu,
putih, jingga dan coklat. Yang berwarna jingga ada rasa jeruknya, menyegarkan. Natsume
langsung mengambil kue mochi yang coklat dan memakannya dengan lahap. Kelihatannya
dia lapar juga saat itu. Kyoko mengatakan bahwa Natsume punya gangguan asam
lambung yang parah, sehingga di sering lapar seperti itu. Kyoko berbicara
sambil tersenyum lebar dengan ramah, namun giginya terlihat kurang teratur dan
kuning. Natsume sendiri pernah berkata tentang
istrinya ‘giginya tidak teratur dan berwarna kuning, tapi ia tidak peduli untuk
menyembunyikannya. Aku menghargai keterbukaannya’. Aku ingat itu adalah
kata-kata Natsume yang dicatat oleh Kyoko.
Natsume sendiri orangnya jangkung, dengan kumis yang cukup lebat,
matanya berwarna emas kecokelatan. Ada bekas luka cacar di wajah sebelah
kanannya, yang tertutupi rambut yang halus. Di potret-potret bekas luka ini
tidak pernah kelihatan, mungkin karena pemotretnya menghormatinya untuk tidak
menunjukkan sisi wajah itu.
Aku lalu mencoba mochi yang coklat, ternyata rasanya rasa kacang merah.
Kyoko lalu menghidangkan sepoci teh hijau yang umum diminum di Jepang. Rasa tehnya
yang agak pahit serasi dengan rasa mochi coklat ini. Sambil menikmati mochi dan
teh yang hangat itu, aku mengamati ruangan rumah ini. Rumah ini dindingnya,
lantainya semua terbuat dari kayu, khas rumah tradisional Jepang. Lantainya ditutupi
tatami, tikar tebal yang terbuat dari jerami. Dinding dan langit-langit semua
dari kayu. Sekat-sekat ruangan terbuat dari rangka kayu dan kedua sisinya ditutupi
dengan washi berwarna putih, sejenis kertas yang liat dan tahan lama. Kertas
washi itu tembus cahaya, membuat ruangan lebih terang, membuat siapa saja betah
duduk di sini. Walau duduk bersila cukup lama, aku tak merasa lelah.
Tiba-tiba dari balik sekat datang seekor kucing, yang tanpa basa basi
langsung duduk di pangkuan Natsume. Kucing itu sejenis kucing calico berukuran sedang,
dengan bulu seperti bulu kucing Persia berwarna abu-abu kekuningan dengan
bintik-bintik hitam legam. Kucing itu duduk dengan manja, dielus-elus tangan
Natsume. Langsung saja aku mengenali kucing ini sebagai si kucing dalam buku
“Saya seekor Kucing” karangan Natsume. Ya, naratornya si kucing ini, yang
sering ngoceh memberi komentar tentang tuannya, Mr. Sneaze, yang adalah guru
Bahasa Inggeris. Kebetulan atau tidak, si Natsume juga pernah menjadi guru
Bahasa Inggeris. Kucing itu juga bercerita bahwa tuannya mempunyai gangguan asam
lambung yang parah….
Aku lalu berkata:
“Kucing ini sangat mirip dengan kucing yang berperan dalam buku ‘Saya
seekor Kucing’, tentunya banyak cerita-cerita yang diocehkan si Kucing itu
berdasarkan pengalaman anda sesungguhnya…”
Natsume tersenyum saja….
Aku:
“Itu penyakit gangguan asam lambung yang diceritakan si Kucing tentang
tuannya, Mr.Sneaze, kelihatannya cukup
parah… Saya mendengar keluhan dari orang-orang yang mengalami penderitaan seperti
yang dialami Mr.Sneaze itu...”
Natsume:
“ Istrinya selalu menyuruhnya minum Taka-Diastase untuk penyakitnya,
tapi Mr.Sneaze itu tidak mau lagi meminumnya, karena tidak manjur. Istrinya
terus memaksanya minum obat itu, tapi Mr.Sneaze ngotot menolaknya, katanya
tidak berguna. Istrinya lalu menjadi heran karena dulunya Mr. Sneaze setiap
hari minum obat itu dan menganggapnya bekerja seperti mujizat. Namun istrinya
terus berceloteh bahwa diperlukan kesabaran untuk menyembuhkan penyakit itu,
kalau tidak sabar tidak akan sembuh. Gangguan
asam lambung itu memang lama penyembuhannya..., istrinya berkata begitu sambil
memandang pelayan rumah tangganya, seakan meminta persetujuan... dan pelayan itu
tentu setuju saja dengan perkataan istrinya....”
Aku:
“Pembaca buku ini dapat mengenali gaya cerita ‘Rakugo’, yang merupakan
pertunjukan monolog Jepang, yang diceritakan dengan lucu. Seperti stand-up
komedi di bar-bar, si Kucing itu bertutur secara demikian… ”
Natsume:
“Memang gangguan asam lambung yang saya derita menjadi cukup parah
sehingga saya harus dirawat di rumah sakit ketika sedang menulis ‘Pintu Gerbang’.
Kemudian saya mengungsi ke Shuzenji untuk penyembuhan. Saya menginap di ryokan Kikuya di tepi Sungai Katsuragawa,
di dekatnya juga ada onsen, tempat pemandian air panas. Saya merasa seperti pulang ke rumah setelah
perjalanan panjang. Tapi keadaan saya memburuk dan memuntahkan 800 gram darah, sehingga
saya mengalami rasa dekat kematian di saat
itu.”
Aku:
“Kebetulan saya juga membaca ‘Pintu
Gerbang’ , atau ‘Mon’ judul aslinya, yang anda tulis di masa gawat itu, saya
sangat terkesan dengan novel itu. Sangat menarik bagaimana anda menceritakan kehidupan
sehari-hari seorang bernama ‘Sosuke’, yang kebetulan juga mirip dengan nama
pena anda ‘Soseki’. Dalam cerita itu
Sosuke mengungsi ke sebuah kuil di Kamakura untuk mencari kedamaian
dengan mempelajari Zen dan latihan meditasinya. Dan setahu saya anda juga
pernah mempelajari Zen dan meditasinya di Kuil Enkaku-ji di Kamakura itu.”
Natsume:
”Tapi ternyata kehidupan yang penuh meditasi di kuil itu tidak sesuai bagi
Sosuke, ia selalu terlambat bangun untuk meditasi pagi, meditasi yang lama baginya
terlalu melelahkan dan makanan vegetarian yang disediakan terasa hambar.
Setelah sepuluh hari ia pulang ke rumah.”
Aku:
“Pintu Gerbang yang dimaksud dalam novel ini tampaknya adalah Pintu
Gerbang kuil ini, Pintu Gerbang menuju pencerahan yang ingin dicapai Sosuke...”
Natsume, mengutip ‘Pintu Gerbang’:
“Dia datang ke sini mengharapkan gerbang dibuka untuknya. Tetapi ketika
dia mengetuk, penjaga gerbang, di mana pun dia berdiri di belakang gerbang
tinggi, tidak menunjukkan wajahnya. Hanya suara tanpa tubuh yang bisa didengar:
‘Tidak ada gunanya mengetuk. Buka gerbang untuk diri Anda sendiri dan masuk.’
Tapi bagaimana, dia bertanya-tanya, dia bisa membuka palang gerbang
dari luar? Secara mental ia merancang skema yang melibatkan berbagai langkah
dan langkah. Tetapi ketika sampai pada hal itu, dia mendapati dirinya tidak
dapat mengumpulkan kekuatan untuk menerapkan rencananya. Dia berdiri di tempat
yang sama dia berdiri sebelumnya ketika mulai merenungkan masalahnya. Seperti
sebelumnya, dia mendapati dirinya terdampar, tanpa daya atau jalan keluar, di
depan gerbang yang tertutup. Dia telah hidup dari hari ke hari sesuai dengan kemampuan
pikiran. Sekarang dengan kecewa, dia bisa melihat bahwa kemampuan ini telah
menjadi kutukan. Pada satu ekstrem, dia iri pada pikiran sederhana yang keras
kepala dari orang-orang naif yang tidak pernah mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan lain. Dari sudut pandangan yang lain, ia memandang
dengan kagum disiplin diri spiritual dari orang-orang awam yang penuh
kepercayaan, baik pria maupun wanita, yang meninggalkan kebijaksanaan
konvensional dan menyingkirkan gangguan pemikiran analitis. Tampaknya bagi
Sōsuke bahwa sejak saat kelahirannya, sudah menjadi takdirnya untuk tetap
berdiri selamanya di luar gerbang. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan.
Namun jika benar bahwa, bagaimanapun, dia ditakdirkan tidak akan pernah untuk
melewati gerbang ini, ada sesuatu yang sangat tidak masuk akal tentang
tindakannya mendekati gerbang ini pertama kali. Dia menoleh ke belakang. Dia
melihat bahwa dia tidak memiliki keberanian untuk menelusuri kembali
langkahnya. Dia melihat ke depan. Jalan itu selamanya terhadang oleh gerbang
yang tertutup rapat. Dia adalah seseorang yang ditakdirkan untuk tidak melewati
gerbang ataupun seorang yang puas karena tidak pernah melewatinya. Dia adalah
salah satu dari jiwa-jiwa malang yang ditakdirkan untuk berdiri di bawah
bayang-bayang gerbang, membeku di jalurnya, sampai hari itu selesai.”
TAMAT
Artikel ini adalah wawancara imajiner
mengenang Natsume Soseki.
Dari balik jendela bus yang kami tumpangi kami bisa melihat pemandangan
pegunungan yang memesonakan. Saat ini baru mulainya musim panas, daun-daun dan
rumput hijau kelihatan muda dan segar, menghampar di pegunungan. Sang pemandu
wisata berkata bahwa di musim gugur pemandangannya lebih indah lagi, daun-daun
memerah dan menguning keemasan sebelum mereka gugur, memberi panorama yang mengagumkan
sepanjang perjalanan. Kami hanya bisa membayangkannya, dari foto-foto yang
pernah kami lihat, dengan impian agar suatu saat bisa menikmati pemandangan
aslinya di musim gugur. Tentunya musim gugur ini adalah musim wisata yang
paling sibuk, para wisatawan, dalam negeri maupun luar negeri, sudah jauh hari
sebelumnya merencanakan perjalanan mereka ke sini.
Kami berada dalam perjalanan dari Tokyo ke pegunungan Nikko. Nikko
adalah tempat bersejarah dengan pemandangan indah pegunungan di Utara Tokyo.
Keberadaan tempat-tempat bersejarah yang terletak di lereng pegunungan,
dilengkapi dengan pesona pedesaannya, mengilhami pepatah yang berbunyi: “
Jangan pernah berkata kekko sampai anda melihat Nikko”, artinya kalau anda ke
Jepang, jangan pernah puas sebelum anda melihat Nikko.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kuil Toshugu, sebuah kuil yang
dibangun untuk mengabadikan Tokugawa Ieyasu. Nama kuil mengacu pada Tosho
Daigongen, yang berarti 'Cahaya Dewa Agung dari Timur', nama kehormatan yang
diberikan kepada Tokugawa Ieyasu setelah kematiannya. Dia adalah pemimpin samurai besar yang
memimpin dan menyatukan Jepang pada abad ke-17. Ia mendirikan Keshogunan
Tokugawa yang memerintah selama lebih dari 250 tahun, menjadikannya tokoh
samurai terkemuka dalam sejarah Jepang. Seperti pemimpin Jepang lainnya, rohnya
dianggap suci dan kuil ini dibangun untuk menampung rohnya, menurut kepercayaan
Shinto. Oleh karena itu, kuil ini sarat akan nilai sejarah dan sangat sakral
karena kuil ini merupakan tempat pemakaman dan tempat tinggal roh Tokugawa
Ieyasu.
Dari pintu masuk ke kuil belakang, Toshogu dihubungkan melalui satu jalan
yang cukup lebar dan menanjak. Di ujung jalan, ada sebuah Gerbang besar, yang
disebut Torri (Ishidorii). Torri yang terbuat dari batu itu menandai pintu
masuk ke Kuil Toshogu, yang menurut kepercayaan Shinto melambangkan pintu masuk
ke tempat suci.
Biasanya, Kuil Shinto dibuat sederhana dengan mempertimbangkan
keharmonisan dengan alam sekitarnya, mengundang pengunjung memanjatkan doa-doa
dan persembahan di kuil ini. Tidak demikian halnya dengan Kuil Toshogu. Kuil
ini adalah perpaduan antara Kuil Shinto dan Kuil Buddha, membuat kuil ini
berdimensi megah. Kesederhanaan sama sekali tidak menjadi pertimbangan,
bangunan-bangunannya malah kaya dengan ornamen dengan berbagai warna, termasuk
hiasan daun-daunan emas, yang bisa membuat tercengang pengunjung yang
mengamatinya.
Saat berjalan-jalan di malam hari di Kabukicho,
kami melihat sebuah restoran yang sangat unik. Namanya Robot Restaurant, dengan
papan nama besar-besaran di bagian atas
restoran dengan bola-bola lampu yang berkilauan sehingga bisa terlihat dari
jauh. Siapa pun yang mengunjungi daerah ini tidak akan luput memperhatikan
restoran ini. Kami bertanya-tanya restoran macam apa itu, apakah kami akan
dilayani oleh robot atau semacamnya? Sebenarnya, tempat tersebut menawarkan
pertunjukan kabaret bertema Robot yang spektakuler, dan menyebutnya sebagai
restoran sebenarnya agak menyesatkan. Tempat ini adalah lebih menyajikan
pertunjukan daripada restoran. Mereka memang menyajikan makanan di sana, tapi
itu adalah jenis makanan yang disantap sambil menonton pertunjukan. Penataan
ruangannya seperti panggung arena yang dikelilingi tempat duduk penonton, tidak
seperti penataan meja makan pada umumnya di restoran.
Pertunjukannya mencengangkan, nyaring dan penuh
energi sejak awal. Penari, lampu laser, lampu sorot yang mempesona, bercampur
dinosaurus dan robot menari seirama dengan ketukan drum. Benar-benar
spektakuler. Gerakannya tampak tidak dikoreografikan, namun pertunjukannya
sebenarnya merupakan Gerakan-gerakan yang direncanakan dengan cermat dan
memerlukan persiapan berminggu-minggu. Para penari harus menguasai segalanya
mulai dari menari hingga bermain drum, pole dancing, dan mengendarai robot
untuk pertunjukannya. Begitulah yang dikatakan salah satu penari kepada kami
setelah pertunjukan.
Meskipun tampaknya tidak ada alur cerita dalam
pertunjukan berdurasi 90 menit tersebut, tampaknya ini adalah pertarungan
klasik antara pasukan robot. Penarinya berkisar dari kawaii (imut-imut) hingga
binatang mengerikan, karakter anime konyol hingga karakter fantasi Jepang kuno.
Ada musik rock yang menggelegar di ruangan itu, dengan prajurit putri berbikini
melawan robot transformator setinggi 3 meter. Mereka datang untuk menggoda anda
di setiap sudut dan di depan tempat duduk Anda. Ada juga hiu raksasa yang
menyerang robot kuda, panda Kung-Fu yang bergulat di Segway. Mereka membuat
kami tersenyum.
Selama 90 menit kami memasuki dunia yang
berbeda, monster dan karakter kawaii menjadi nyata, mainan robot menjadi besar,
ini adalah pertunjukan sekaligus pesta liar. Tempat ini adalah salah satu
tempat wisata terbaik di Tokyo, terletak di kawasan kehidupan malam Shinjuku. Robot
Restaurant mendapat reputasi baik tidak lama setelah dibuka pada tahun 2012,
namun sayangnya harus ditutup selama pandemi Covid 19 dan tetap ditutup
selamanya.