Cari Blog Ini

Sabtu, 12 Juni 2021

Wawancara dengan Bapak Deng

 

Foto: Wikimedia

Ketika saya mengunjungi Huangshan di provinsi Anhui, pengantar saya menunjukkan tempat di mana Bapak Deng sering duduk dimasa lenggangnya untuk menikmati pemandangan pegunungan yang menakjubkan, terapung di atas awan-awan. Tempat ini tampaknya tempat favorit Bapak Deng dan dia memilih daerah pegunungan ini untuk menyampaikan ‘Pidato Huang Shan’ untuk mempromosikan tempat ini sebagai tempat utama untuk merevitalisasi kan industri pariwisata, dan untuk menyampaikan arah pariwisata Tiongkok dimasa depan. Beberapa tahun kemudian, pasar pariwisata Tiongkok ditransformasikan menjadi salah satu pasar pariwisata yang paling disimak dunia, jumlah lawatan domestik mencapai 6 milyar di tahun 2019, yang menunjukkan kenaikan eksponensial dibandingkan jumlah lawatan di Tiongkok sepuluh tahun sebelumnya. 

Dikenal sebagai “Bapak Reformasi” Tiongkok, Bapak Deng di tahun 1978 mengumumkan kebijaksanaan baru, “Kebijaksanaan Pintu Terbuka”, untuk membuka pintu bagi semua bisnis asing yang ingin mengelola bisnis di Tiongkok. Kebijaksanaan “reformasi dan keterbukaan” (gaige kaifang) memberi landasan bagi transisi yang sukses dari ekonomi terencana menuju ekonomi pasar, yang mencapai tingkat pertumbuhan tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan 9,7 persen menarik ratusan juta orang Tiongkok keluar dari kemiskinan. Kebijaksanaan reform dan keterbukaan juga menggiring menuju perubahan mendasar dari norma-norma Mao Zedong, mengganti kolektivisme dengan kesesuaian dengan kinerja individual dan keberagaman. 

Cukup sudahlah berbicara tentang dia, saya sangat ingin mewawancarainya dan membuat permohonan kepada kantor CPC (Communist Party of China) di Beijing. Mengetahui ketatnya birokrasi kantor di sini saya tak begitu berharap segera mendapat persetujuan dan bahkan mungkin tidak akan pernah disetujui, saya hanya mencoba keberuntungan saya. Saya tahu tidak banyak wartawan asing yang mendapat kesempatan mewawancarainya secara pribadi, Mike Wallace, Oriana Fallaci, Ezra Vogel misalnya, siapa lagi? 

Lalu setelah 4 bulan, saya menemukan amplop merah di kotak pos apartemen saya, surat itu adalah dari kantor CPC menyatakan kebersediaan bertemu Bapak Deng bulan depan. Wow benarkah ini? Saya berhasil! Ini adalah wawancara pertama saya dengan toko politik, dan dari Tiongkok! 

Jadi di hari Sabtu, di kantor CPC di Chang’an Avenue di Beijing, saya berjumpa seorang kecil mengenakan jubah Mao abu-abu, kaos kaki putih dan sepatu Neiliansheng hitam. Saya tidak mengira bahwa dia adalah Bapak Deng, dia tampak sangat rendah hati bagi seorang pemimpin besar. Pastinya, dia tidak seperti yang suatu saat diucapkan Henry Kissinger, “orang kecil yang jahat”. 

 

Saya berkata:

“Selamat siang Bapak Deng, anda dikenal sebagai pemimpin de facto Tiongkok, dalam hal walapun anda bukan ketua CPC dan bukan pula Presiden Tiongkok, namun anda adalah pembuat kebijaksanaan utama dan pembaru Tiongkok selama puluhan tahun yang membawa pembangunan besar-besaran Tiongkok. Anda adalah anggota Standing Committee of the Political Bureau dan ketua CCP’s Central Military Commission, namun nampaknya anda menghindar untuk menjadi pemimpin tertinggi Tiongkok.” 

 

Bapak Deng:

“Begini, kita musti ingat bahwa Ketua Mao sebagian besar hidupnya, ia membuat kebaikan bagi Tiongkok. Banyak kali ia menyatukan Tiongkok, dan menyelamatkan partai dan negara dari berbagai krisis. Pemikiran Mao Zedong memimpin kita menuju kemenangan dalam revolusi dan hal ini akan terus menjadi milik yang berharga negeri kami, dan kami akan terus mengingatnya sebagai pendiri partai dan negeri kami.

Karena kepemimpinannya ia diperlakukan seperti seorang kaisar yang mengingatkan akan masa kerajaan negeri ini di masa lalu. Rakyatnya membentuk kultus individu Mao Zedong, yang dipelopori oleh pendukung-pendukung fanatik, media masa, propaganda dan buku-buku yang mengangkat statusnya menjadi pemimpin pemberani yang bercela. Seluruh rakyat mengikuti cara berpakaiannya yang sederhana, menghafal ucapan-ucapannya dari Buku Merah kecil dan hidup dibawah pandangan potret-potretnya yang menyolok.

Ia lalu menjadi otoriter dan memimpin negeri ini secara patriarkal, aturan satu-orang, yang merupakan ciri-ciri feodal. Ia lalu enggan mendengar pendapat pejabat lainnya, tidak mendengar pendapat-pendapat yang berbeda. Kita tidak bisa bilang bahwa semua kritikan itu benar, namun ia juga tidak siap mendengarkan pendapat-pendapat yang benar yang bukan saja dari saya tapi juga anggota partai lainnya. Pada saat itu, ia makin menjauh dari keterkaitan dengan realitas. Misalnya, ia tidak secara konsisten melaksanakan demokrasi terpusat dan garis massa, dan ia gagal melembagakan hal-hal itu selama hidupnya. Demokrasi terpusat terganggu dan demikian pula kepemimpinan kolektif.

Saya menentang gagasan kepemimpinan seumur hidup, kultus individu, dan kepemimpinan satu-orang dan hendak menghindari munculnya orang kuat seperti Mao. Saya mendukung ideologi pragmatisme dan menekankan di atas segalanya perlunya reformasi mendasar terhadap partai, terutama dengan menghidupkan kembali musyawarah dalam tubuh partai dan proses pengambilan keputusan, yang dikenal sebagai kepemimpinan kolektif.”

 

Saya berkata:

“Dunia mengamati kemajuan pesat yang dicapai Tiongkok dalam pembangunan ekonomi di puluhan tahun yang lalu, tapi banyak pemikir Barat berpendapat bahwa reformasi Tiongkok dan kebijaksanaan buka pintu hanya mencapai keberhasilan besar dalam modernisasi ekonomi, dengan tanpa kemajuan yang berarti dalam demokratisasi politik. Beberapa di antara mereka bahkan lebih jauh menyatakan bahwa penyebab keberhasilan modernisasi ekonomi Tiongkok tepatnya adalah karena Tiongkok tidak memiliki reformasi demokrasi sejalan dengan reformasi ekonomi.”

 

Bapak Deng:

“Dalam abad ini Tiongkok adalah tanah bagi raja-raja perang, serangan tentara-tentara, banjir, bencana kelaparan dan revolusi. Sepuluh jutaan orang mati karena kekejaman, atau celakanya karena kelaparan.

Saya bilang kepada Presiden Bush di tahun 1989 bahwa jika seluruh satu milyar rakyat kami menjalani pemilu dengan banyak partai, kami tentulah akan mengalami perang sipil besar-besaran. Hal yang lebih utama dari semua persoalan di Tiongkok adalah stabilitas, jadi untuk mencegah kekacauan dan kekejaman kami menentang pluralisme politik.

Namun, seperti yang saya utarakan kepada Oriana Fallaci dari Washington Post, saya bisa bilang bahwa setelah digulingkannya Kelompok Geng Empat kami sangat menekankan pemajuan demokrasi sosialis. Tanpa menanggalkan, tentunya, kediktatoran proletariat. Demokrasi dan kediktatoran proletariat adalah dua aspek dari satu antitesa, dan saya sebaiknya menambahkan bahwa  demokrasi proletar jauh lebih baik dari demokrasi kapitalis.”


Saya berkata:

“Saya menerka bahwa maksud anda dengan demokrasi proletar adalah konsep utama demokrasi yang dijunjung elite Tiongkok yang mencoba menggabungkan demokrasi dengan otoritas, kediktatoran dan sentralisme.”

 

Bapak Deng:

“Esensi dan inti demokrasi sosialis adalah rakyat adalah tuan dari negeri ini, dan adalah sistem dengan kerja sama banyak pihak dan konsultasi politik di bawah kepemimpinan CCP. Kami menjalankan demokrasi terpusat, yang merupakan integrasi berdasarkan demokrasi, dengan demokrasi di bawah arahan sentrailsme. Demokrasi terpusat adalah bagian integral dari sistem sosialis. Di bawah sistem ini, kepentingan pribadi harus tunduk kepada kepentingan kolektif, kepentingan dari bagian keseluruhan, dan kebutuhan jangka panjang yang mendesak.”

 

Saya berkata:

“John Naisbitt, peneliti Amerika yang tersohor tentang ilmu-ilmu masa depan, meramalkan bahwa ‘demokrasi vertikal’ baru, yang menggabungkan partisipasi massa dari bawah ke atas dengan perintah pusat dari atas ke bawah, muncul di Tiongkok, dan nampaknya akan menjadi alternatif dari ‘demokrasi horisontal’ gaya Barat. Kita dapat mengamati bahwa ‘demokrasi vertikal’ ini bekerja dengan baik untuk mencapai pembangunan ekonomi dengan cepat di Tiongkok. Dunia kagum akan reformasi ekonomi yang menyolok di bawah kepemimpinan anda, namun dari mata pengamat Barat reformasi politik berjalan lamban. Meskipun ada muncul secara acak beberapa kebebasan bersuara, seperti di perioda ‘Tembok Demokrasi’ di ujung tahun tujuhpuluhan, kebebasan politik hampir tidak berkembang sama sekali.”

 

Bapak Deng:

“Saya sangat memahami masalah ini. Kalau kami gagal melakukan reformasi politik, kami tidak akan dapat melestarikan keberhasilan yang kami buat dalam reformasi ekonomi. Tanpa reformasi politik, reformasi ekonomi tak dapat berhasil…… Jadi dalam analisa akhir, keberhasilan dari semua reformasi yang lain tergantung kepada reformasi politik. Kami memperbolehkan reformasi politik, tapi dengan syarat bahwa tiga elemen demokrasi sosialis Tiongkok dijunjung: pertama, kebutuhan rakyat di atas  pemerintah, yang merupakan prinsip utama demokrasi; kedua, kepemimpinan CCP dan sentralisme, yang perlu bagi demokrasi; dan ketiga, koletivisme, yang juga merupakan prinsip penting untuk memecahkan masalah konflik dari berbagai kepentingan di dunia nyata.”

 

Saya berkata:

“Saya pikir, sementara ada persetujuan umum bahwa demokrasi secara harafiah berarti ‘pengaturan oleh rakyat’ konsep Partai Komunis tentang ‘rakyat’ berbeda dengan konsep Barat. Konsep Barat yang liberal mengenai ‘rakyat’ adalah semua-termasuk, yang mengacu kepada semua anggota masyarakat dan memandang masyarakat sebagai agregat individu-individu dengan kemajemukan berbagai kelompok sosial dan kepentingan. Sebagai pembanding, dalam pandangan Partai Komunis, ‘rakyat’ adalah sebuah konsep kolektivisme. Penekanannya berada pada pencapaian kepentingan kolektif, dan bukannya berdasarkan, atau bahkan mengakui, kemandirian individual dan ekspresi kepentingan individual.”


Bapak Deng:

“ Yang dibutuhkan Tiongkok adalah demokrasi sosialis, karena ini adalah demokrasi rakyat, dan bukannya demokrasi borjuis, demokrasi individual. Kami menjalankan demokrasi terpusat, yang merupakan integrasi berdasarkan demokrasi, dengan demokrasi di bawah arahan sentralisme. Demokrasi sentralisme adalah bagian integral dari sistem sosialis. Di bawah sistem ini, kebutuhan pribadi harus tunduk kepada kebutuhan kolektiv, yakni kebutuhan bagian dari keseluruhan. Tujuan dari demokrasi sosialis, bukanlah untuk mengakui individualisme atau pluralisme, melainkan untuk mempersatukan rakyat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan bersama.”

 

Saya berkata:

“Menurut media Barat, anda memerintahkan tindakan militer melalui hukum darurat untuk menindas gerakan demonstrasi yang muncul di Tiananmen Square di tahun 1989, meskipun beberapa pemimpin menolak tindakan militer itu. Tindakan ini menimbulkan banjir darah dan dalam 48 jam Tiananmen Square ditertibkan. Menurut laporan intelijen sekitar 1000 orang mati dan beberapa lusin tentara dan polisi terbunuh oleh para demonstran. Apakah anda memerintahkan tindakan berdarah ini, ataukah ini adalah suatu kesalahan militer, Bapak Deng?”

 

Bapak Deng:

“Saya menghargai tentara sebagai ‘benteng pertahanan besi bagi negara’ dan menekankan bahwa Tiongkok akan melanjutkan kebijaksanaan mendasar bagi reformasi ekonomi dan keterbukaan kepada dunia luar. Kejadian ini mendorong kami untuk memikirkan masa depan dan masa lalu dengan kepala dingin. Hal ini akan memungkinkan kami untuk melaksanakan tujuan kami dengan lebih stabil, lebih baik dan bahkan lebih cepat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan kami lebih cepat.

Kami tak dapat mentolelir kekacauan. Kami akan menetapkan hukum darurat lagi jika kekacauan-kekacauan terjadi lagi. Tujuan kami adalah menjaga kestabilan sehingga kami dapat melanjutkan pembangunan, dan logika kami sederhana saja: dengan begitu banyak manusia dan begitu sedikit sumber daya, Tiongkok tidak dapat mencapai apapun tanpa keamanan dan kesatuan politik dan kestabilan tatanan sosial.

Kami tidak dapat menangani kekacauan ketika kami sibuk membangun. Kalau hari ini kami ada demonstrasi besar dan keesokan harinya kami mendengar banyak pendapat-pendapat diberitakan dan coretan-coretan dinding, kami tidak akan punya energi lagi untuk menyelesaikan apapun. Karena itulah kami berkeras untuk membersihkan lapangan itu.”

 

Aku berkata:

“Ada kejadian dramatis ketika tindakan militer di Tiananmen Square yang menarik perhatian seluruh dunia. Media masa Barat menamakan nya insiden ‘The Tank Man’ (Manusia Tank), seorang lelaki membawa kantong belanjaan di potret dan direkam video berdiri di depan sejejeran Tank militer meninggalkan Tiananmen Square melalui Chang’an Avenue. Ketika pengemudi tank mencoba mengalihkan perjalanan , ‘Manusia Tank’ ini juga bergerak menghadang jalan tank itu. Dia berbuat begitu terus berdiri menentang di muka tank-tank itu selama beberapa waktu, lalu naik ke atas tank membuka pintu tank terdepan untuk berbicara dengan tentara di dalamnya. Setelah kembali ke posisinya di muka tank-tank itu, orang ini ditarik oleh sekelompok orang. Nasib ‘Manusia Tank’ ini setelah demonstrasi tidak diketahui, dan bagi dunia ‘Manusia Tank’ itu tetap tanpa wajah dan tanpa nama.

Bolehkah saya bertanya Bapak Deng, siapakah lelaki yang menghentikan tank-tank itu, dan bagaimana nasibnya?”

 

Bapak Deng duduk tak bergerak di kursinya yang terlalu besar, kakinya hampir tak menyentuh lantai. Tiba-tiba seorang petugas menghampirinya dan berbisik sesuatu di telinganya, Bapak Deng mengangguk dan kemudian  menyatakan bahwa ia ada rapat lain di agendanya dan harus pergi sekarang. Dengan demikian wawancara berakhir….

 

TAMAT

Artikel ini adalah wawancara imajiner mengenang Deng Xiaoping

 

Sources:

https://chinachannel.org/2019/02/07/reform-opening/

https://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0040/299857/Regional-Outlook-Paper-41-Zhou-web.pdf

https://www.nytimes.com/1997/02/20/world/deng-xiaog-a-political-wizard-who-put-china-on-the-capitalist-road.html



https://www.vox.com/2014/6/2/5772016/this-1989-speech-is-one-of-the-most-important-in-chinas-history-and




Tidak ada komentar:

Posting Komentar