Selasa, 31 Desember 2024

Tokyo, di Robot Restaurant

 

Saat berjalan-jalan di malam hari di Kabukicho, kami melihat sebuah restoran yang sangat unik. Namanya Robot Restaurant, dengan papan nama  besar-besaran di bagian atas restoran dengan bola-bola lampu yang berkilauan sehingga bisa terlihat dari jauh. Siapa pun yang mengunjungi daerah ini tidak akan luput memperhatikan restoran ini. Kami bertanya-tanya restoran macam apa itu, apakah kami akan dilayani oleh robot atau semacamnya? Sebenarnya, tempat tersebut menawarkan pertunjukan kabaret bertema Robot yang spektakuler, dan menyebutnya sebagai restoran sebenarnya agak menyesatkan. Tempat ini adalah lebih menyajikan pertunjukan daripada restoran. Mereka memang menyajikan makanan di sana, tapi itu adalah jenis makanan yang disantap sambil menonton pertunjukan. Penataan ruangannya seperti panggung arena yang dikelilingi tempat duduk penonton, tidak seperti penataan meja makan pada umumnya di restoran.

Pertunjukannya mencengangkan, nyaring dan penuh energi sejak awal. Penari, lampu laser, lampu sorot yang mempesona, bercampur dinosaurus dan robot menari seirama dengan ketukan drum. Benar-benar spektakuler. Gerakannya tampak tidak dikoreografikan, namun pertunjukannya sebenarnya merupakan Gerakan-gerakan yang direncanakan dengan cermat dan memerlukan persiapan berminggu-minggu. Para penari harus menguasai segalanya mulai dari menari hingga bermain drum, pole dancing, dan mengendarai robot untuk pertunjukannya. Begitulah yang dikatakan salah satu penari kepada kami setelah pertunjukan.

Meskipun tampaknya tidak ada alur cerita dalam pertunjukan berdurasi 90 menit tersebut, tampaknya ini adalah pertarungan klasik antara pasukan robot. Penarinya berkisar dari kawaii (imut-imut) hingga binatang mengerikan, karakter anime konyol hingga karakter fantasi Jepang kuno. Ada musik rock yang menggelegar di ruangan itu, dengan prajurit putri berbikini melawan robot transformator setinggi 3 meter. Mereka datang untuk menggoda anda di setiap sudut dan di depan tempat duduk Anda. Ada juga hiu raksasa yang menyerang robot kuda, panda Kung-Fu yang bergulat di Segway. Mereka membuat kami tersenyum.

Selama 90 menit kami memasuki dunia yang berbeda, monster dan karakter kawaii menjadi nyata, mainan robot menjadi besar, ini adalah pertunjukan sekaligus pesta liar. Tempat ini adalah salah satu tempat wisata terbaik di Tokyo, terletak di kawasan kehidupan malam Shinjuku. Robot Restaurant mendapat reputasi baik tidak lama setelah dibuka pada tahun 2012, namun sayangnya harus ditutup selama pandemi Covid 19 dan tetap ditutup selamanya.

 

TAMAT




Sabtu, 14 Desember 2024

Wawancara dengan Chairil

 

Wah, aku beruntung bisa berjumpa dengan Chairil di Toko es krim Artic, di Kramat Raya, Batavia. Ia sedang duduk di pojok di meja kursi rotan. Seperti biasa ia tertekun membaca buku tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ketika aku tegur ia mengangkat kepalanya dari buku dan tersenyum menyambutku. Ia seakan ingat janjinya untuk aku wawancarai, tapi sangat sulit menemuinya selama ini. Mungkin ia berusaha menghindar karena sebenarnya ia kurang suka keramaian publikasi. Jadi aku beruntung memergokinya di pojok sini.

Tapi aduh, mukanya kucel, matanya merah seperti kurang tidur. Wajahnya muram dan lesu.

“Tadi malam begadang ya  Ril...?” Aku menyapa.

“Ngga juga… biasa begini…” katanya basa basi dengan menerawang, kemudian melirik ke pintu masuk ketika bel pintu itu berbunyi. Rupanya ada seorang noni Indo yang masuk. Toko es krim ini memang banyak didatangi remaja-remaja Indo dan Belanda, banyak yang baru pulang sekolah. Suasananya menjadi meriah. Rupanya ini yang di cari ‘Si Binatang Jalang’, begitu ia menyebut dirinya sendiri dalam pusinya yang terkenal, nongkrong di sini sambil cuci mata noni noni putih bersih berambut kepirang-pirangan. SeBelum ada es krim di mejanya, jadi aku menawarkan: “Ingin makan es krim apa… Ril? “

“Apa saja sih…” katanya.

“Oke… aku orderkan es krim mokka ya… yang ada biskuitnya…” kataku.

Tapi ia seperti tidak peduli. Ia memang tidak peduli apa yang dia makan, ia hanya merokok terus. Tubuhnya kurus seperti tidak terurus. Wajahnya tirus pucat, dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pakaiannya pun sekenanya, bajunya luntur dan celananya lusuh. Benar-benar seperti “Binatang Jalang, yang terbuang dari kumpulannya.”

Padahal setahu aku orang tuanya berada, bapaknya bupati Indragiri. Dan ia anak tunggal, jadi bisa dibayangkan dimanjakan sejak kecil. Semuanya ada dan tidak pernah terluntang lantung. Aku jadi ingin bertanya.

 

Aku: “ Saya boleh tanya kepada anda … Ril, masa kanak-kanak anda tentunya serba berkecukupan dan menyenangkan… ya…?”

 

Chairil:

“ Lihatlah cinta jingga luntur:

Dan aku yang pilih

tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur

rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi

pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang

Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di

zaman kanak,

Lihatlah cinta jingga luntur:

Kalau datang nanti topan ajaib

menggulingkan gundu, memutarkan gasing

memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan

aku sudah lebih dulu kaku.”

 

 

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia. Ia tinggal di rumah pamannya, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia. Meskipun demikian ia seperti orang yang hidupnya tidak teratur, pakaiannya kumuh, makannya tidak teratur, kelayapan ke mana-mana dan sering numpang tidur di kamar kawan-kawannya.

 

Pelayan menghidangkan dua es krim mokka di meja kami. Chairil mengacuhkannya, ia menerawang saja, hingga es krimnya mulai meleleh.

 

Aku bertanya: “Ada nostalgia di Toko ini… Ril…?”

Chairil:

“Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu plus coca cola

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

 

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

ketika kita bersepeda kuantar kau pulang

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.”

 

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali

bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

 

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti plus Greet plus Amoi hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.”

 

 

Beberapa waktu yang lalu, setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan, Belanda melakukan agresi militernya untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Indonesia. Bersama tentara Sekutu mereka berhasil menguasai wilayah Jawa Barat.  Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi. Akibatnya, Tentara Republik Indonesia (TRI) banyak yang memilih mundur ke pedesaan dan bergabung bersama rakyat setempat untuk membangun pertahanan menghadapi serangan Belanda. Beberapa pasukan TRI bermarkas di Desa Rawagede dan dipimpin oleh Kapten Lukas Kustarjo. Celakanya, markas pejuang di Desa Rawagede diketahui oleh antek-antek Belanda.

 

Tanpa pikir panjang, tentara militer Belanda segera mempersiapkan rencana penyerangan mendadak terhadap Kapten Lukas dan prajuritnya. Belanda berusaha mencari keberadaan Kapten Lukas, namun mereka tidak berhasil menangkapnya. Belanda lalu mengumpulkan penduduk laki-laki berusia sekitar 14 tahun di lapangan. Satu per satu dari mereka ditanyai perihal keberadaan Kapten Lukas, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Jawaban mereka tentu tidak membuat Belanda langsung percaya begitu saja. Para pemuda ini kemudian diperintahkan jongkok membelakangi tentara Belanda dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala. Dalam sekejap, tubuh-tubuh mulai berjatuhan setelah dieksekusi oleh Belanda.

 

 

Aku: “Anda menulis puisi untuk mengenang para pemuda remaja yang baru-baru ini dibunuh Belanda di antara Karawang dan Bekasi, bisa anda ceritakan kenangan itu…”

 

Chairil:

 

“Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

 

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

 

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

 

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

 

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

 

Kenang, kenanglah kami.

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

 

 

TAMAT

 

Tulisan ini adalah wawancara imajiner mengenang Chairil Anwar

 

Sumber:

 

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/12/195042579/peristiwa-pembantaian-rawagede-1947?page=all

 






Sabtu, 16 November 2024

Tokyo, di Shinjuku Garden

 

Saat itu musim dingin ketika saya berjalan dari stasiun Metro Shinjuku ke Taman Nasional Shinjuku Gyeon. Tentu saja banyak orang lebih suka mengunjungi taman ini di musim semi untuk melihat bunga sakura mekar, atau melihat warna di musim gugur, namun di musim dingin taman memiliki warnanya sendiri. Bukan warna putih salju, tetapi warna tanaman yang ditundukkan oleh musim dingin. Berbagai warna hijau yang tidak sehijau di musim panas bercampur dengan warna pohon maple yang tersisa.

Shinjuku Gyoen, terletak beberapa ratus meter dari detak jantung Shinjuku, adalah kombinasi dari taman gaya Barat, yakni taman Prancis dan taman Inggris, dengan taman tradisional Jepang. Keindahan taman gaya Jepang terletak pada keindahannya yang asimetris, tidak seperti keindahan simetris taman gaya Barat. Selain itu, hampir semua elemen di taman Jepang menunjukkan simbolisme yang berakar dalam pada Shinto, yang mempertimbangkan ikatan erat antara alam, manusia, dan dewa. Arti kata Shinto itu sendiri adalah "jalan Kami (dewa)". Para dewa hidup di dunia yang sama dengan manusia, di alam. Oleh karena itu, alam sebagai rumah para dewa, adalah suci dan disembah dengan kagum. Shinto menganggap setiap elemen alam sebagai ilahi, dan bahwa para dewa hadir di mana-mana.

Shinjuku Gyoen dibangun di lokasi rumah pribadi milik Lord Naito, seorang penguasa feodal era Edo pada abad ke-16. Kemudian taman ini diubah menjadi kebun botani sebelum diubah menjadi Taman Kekaisaran bagi Kaisar Meiji pada tahun 1906. Setelah Perang Dunia Kedua taman ini ditetapkan sebagai taman nasional dan dibuka untuk umum. Taman ini memiliki kolam besar dengan pulau dan jembatan, dengan gaya taman Jepang. Sekitar 10.000 pohon tumbuh di taman ini, pohon tulip, cedar, cemara, yang memberikan suasana khusyuk pada taman. Namun, gedung-gedung pencakar langit di latar belakang menyadarkan kita bahwa tempat ini berada di Tokyo modern.

Film anime Makoto Shinkai di tahun 2013, The Garden of Words, mengambil lokasi di Shinjuku Gyoen. Film ini bercerita tentang seorang anak laki-laki SMA berusia 15 tahun dan seorang wanita berusia 27 tahun yang bertemu secara konsisten pada hari hujan di taman ini. Alasan Shinkai membuat film ini adalah hubungannya dengan Gempa Bumi dan Tsunami Jepang Timur tahun 2011, yang membuatnya mempertanyakan keindahan alam yang kita lihat sehari-hari dengan pengetahuan bahwa suatu hari nanti pemandangan ini bisa berubah menjadi tiada dan bisa lenyap dalam satu hari karena bencana seperti itu. Dia ingin merekam semua pemandangan yang dia sukai secara pribadi dan yang orang-orang mungkin bisa merasakannya, dalam filem anime ini.

TAMAT

Sumber:

https://www.patternz.jp/japanese-garden-history-design-elements/ 

https://www.japan.travel/en/spot/1659/








Minggu, 21 Juli 2024

Wawancara dengan Nikolai



 

Tepuk tangan gemuruh dari penonton ketika tirai merah darah diturunkan mengakhiri pementasan drama komedi ‘Inspektur Pemerintah’ malam itu. Pementasan ini mengisahkan betapa galaunya pak Gubernur dan para pejabat lainnya ketika mengetahui akan ada pemeriksaan oleh Inspektur Pemerintah yang datang secara inkognito ke daerah mereka. Mereka kalang kabut berusaha menutup-nutupi segala kebobrokan daerah ini yang disusupi korupsi dimana-mana, yang digambarkan dengan kocak dan penuh dengan satire. Para penonton yang memenuhi Gedung Akimov Comedy Theater menyambut dengan senyuman dan tawa. Sudah selayaknya sambutan penonton demikian, konon Tsar Nicholas I pun terkekeh-kekeh menyaksikan pertunjukan perdana drama komedi ini dan memberi tepuk tangan yang meriah pada akhir pertunjukan. Padahal, drama ini merupakan kritik humoris terhadap kebobrokan birokrat di bawah pemerintahan Tsar itu.

Sebelum tepuk tangan mereda aku menyelusup keluar, karena aku ada janji bertemu dengan seseorang yang amat penting. Betapa tidak, aku janjian ketemu dengan Nikolai, penulis drama itu! Jadi aku bergegas di jalan Nevsky Prospekt, jalan terkenal di St Petersburg ini, di malam yang dingin. Kami janjian ketemu di Literary Café, itu café yang banyak dikunjungi para aristokrat, penyair dan artis-artis lainnya. Penyair Russia yang terkenal Alexander Pushkin juga sering nongkrong di sini. Ketika aku tiba, Nikolai sudah duduk menunggu di pojok ruangan yang berdinding kayu serba coklat tua.  Lampu-lampu gantung membuat suasana café ini sendu dan tenang. Kursi-kursinya yang juga bercorak kotak-kotak coklat tua membuat nuansa ruangan ini benar-benar aristokratis.

Nikolai berdiri dan menyalami aku dengan ramah. Ternyata ia berbadan kecil, dengan kaki yang kependekan buat badannya. Mukanya yang agak imut-imut ditempeli serpihan rambut panjang yang menjurai dari dahi sampai ke samping wajahnya menutupi telinganya. Hidungnya kelihatan terlalu mancung untuk mukanya. Ia mengenakan pakaian seadanya, tidak memamerkan ketenarannya. Dengan secercah senyuman ia mempersilahkan aku duduk.

Aku membuka percakapan:

“Nikolai, aku baru saja habis nonton ‘Inspektur Pemerintah’ di Gedung Akimov…, saya tercengang bahwa pertunjukan yang menghebohkan seperti itu diizinkan oleh Tsar, yang menerapkan sensor yang ketat atas semua karya-karya di Rusia… Para penonton pun menyambut dengan tawa tergelak-gelak melihat tingkah laku sang gubernur dan pejabat pemerintahannya yang korup, yang risau akan pemeriksaan oleh sang Inspektur Pemerintah, yang akan datang secara menyamar. Sang gubernur dan pejabat pemerintahan pada kalang kabut berusaha menutupi kebobrokan dan korupsi mereka dengan segala cara. Mereka bahkan menyogok orang yang mereka kira adalah Inspektur Pemerintah yang menyamar.… Belum pernah ada pertunjukan seperti ini yang digelarkan sebelumnya, ini sungguh suatu gerakan baru bagi seni drama di Rusia…”

 

Nikolai:

“Namun, ada juga rona dan teriakan yang dilontarkan oleh pers dan pejabat yang tersinggung…”

 

Aku:

“Tidak mengherankan, drama ini berani menyerang fundasi birokrasi pemerintahan dii Russia.  Ia mengejek secara langsung semua pejabat, dan memaparkan korupsi di antara pejabat-pejabat tinggi. Ia melemparkan ejekan secara langsung ke semua pejabat pemerintah daerah Rusia, dan, secara tidak langsung, menunjuk pada sistem korupsi yang menjalar di antara para pejabat-pejabat paling tinggi.”

 

Nikolai:

“Dalam drama ini, saya memutuskan untuk mengumpulkan semua kebobrokan di Rusia yang saya ketahui dalam satu tumpukan, semua ketidakadilan yang dipraktikkan di tempat-tempat itu dan terlebih-lebih di dalam hubungan manusia yang menuntut keadilan, dan untuk tertawa terbahak-bahak atas semuanya. Tapi itu, seperti diketahui, menghasilkan ledakan  kemeriahan. Melalui tawa saya, yang belum pernah datang kepada saya dengan kekuatan seperti itu, pembaca merasakan kesedihan yang mendalam. Saya sendiri merasa bahwa tawa saya tidak lagi sama seperti sebelumnya, bahwa dalam tulisan-tulisan saya, saya tidak bisa lagi sama seperti di masa lalu, dan bahwa kebutuhan untuk mengalihkan diri saya dengan adegan-adegan polos dan ceroboh telah berakhir seiring dengan masa muda saya.”

Aku:

“Kabarnya Aleksandr Pushkin, penyair Rusia yang tersohor itu, adalah salah satu pengagum pertama anda… bagaimana hubungan anda dengan Pushkin?”

 

Nikolai:

“Hubungan kami sangat dekat, Pushkin menganggap saya muridnya, dan saya menghormati Pushkin dan menganggapnya sebagai mentor saya. Saya sangat menghormati citra rasa dan kritikan yang ia berikan kepada saya. Dan ‘Inspektur Pemerintah’ itu temanya disarankan oleh dia….”

 

Aku:

“Mengapa anda menulis komedi satire seperti ini?”

 

Nikolai:

“Sebenarnya, situasi kocak tersembunyi di mana-mana, hanya di tengah-tengah keberadaan kita, kita tidak menyadarinya; tetapi jika sang seniman membawanya ke dalam karya seninya, katakanlah di atas panggung, kita akan tertawa terbahak-bahak dan hanya heran kita tidak menyadarinya sebelumnya.”

 

Aku, tersenyum:

“Ya , saya teringat ketika sang gubernur dalam lakon ini teringat akan sesuatu kecerobohannya: ‘Ya Tuhan, aku lupa kalau ada sekitar empat puluh gerobak sampah yang dibuang ke pagar itu. Sungguh kota yang keji dan kotor! Sebuah monumen, atau bahkan hanya pagar, didirikan, dan seketika mereka mengumpulkan banyak tanah, entah di mana, dan membuangnya di sana.’  Tentu hal ini akan menjadi masalah jika teramati oleh sang Inspektur Pemerintah, yang membuat mereka kalang kabut…”

 

Nikolai:

“Ketika segala kebobrokannya terungkap, Gubernur itu sangat risau akan reputasinya, dan mengeluh:

 ‘Kini bel keretanya bergerincing di sepanjang jalan. Dia menerbitkan cerita itu ke seluruh dunia. Kita tidak hanya akan dijadikan bahan tertawaan, tetapi beberapa orang yang menulis, beberapa orang yang suka menuangkan tinta akan membuat kita menjadi banyolan. Ada sengatan yang mengerikan. Penulis itu tidak akan menapiskan pangkat atau kedudukan apa pun. Dan semua orang akan tersenyum dan bertepuk tangan. Apa yang kalian tertawakan? Kalian menertawakan dirimu sendiri, oh kamu!’ katanya sambil menghentakkan kakinya.”

 

Aku:

“Namun, tentang karya-karya komikal anda, Pushkin pernah bilang: ‘Di balik tawa kita bisa merasakan air mata sedih.’…. Hal ini terasa sekali dalam sebuah cerpen yang anda tulis berjudul ‘Jubah’ …. berkenaan dengan seorang juru tulis rendah hati yang sederhana. Sedemikian kecil penghasilannya, sehingga jubah yang dimilikinya hanya satu dan sudah terlalu lama dipakai dan penuh tambal sulam. Dengan berbagai penghematan dan pengorbanannya, yang anda ceritakan secara komikal, juru tulis itu akhirnya memiliki sebuah jubah baru yang bagus, yang dipuja-pujanya setiap saat. Namun suatu hari ia dirampok dan jubah yang dipakainya itu direbut oleh perampok… Sungguh mengenaskan, …. walaupun kisahnya diceritakan secara komikal …..”.

 

Nikolai:

“Ya, juru tulis itu bekerja di sebuah departemen, pangkatnya tidak terlalu tinggi—badannya pendek, ada bekas-bekas jerawat di mukanya, berambut merah, dan rabun, keningnya botak, dan pipinya berkerut, dan berkulit cerah.

Nama keluarganya adalah Bashmatchkin. Nama ini rupanya berasal dari "bashmak" (sepatu); namun kapan, pada jam berapa, dan dengan cara apa, tidak diketahui. Ayah dan kakeknya, dan semua keluarga Bashmatchkin, selalu memakai sepatu bot, yang haknya diganti baru hanya dalam dua atau tiga kali setahun. “

 

Aku:

“Nama lengkapnya Akakiy Bashmatchkin, dan diceritakan bahwa dia sangat berdedikasi dalam pekerjaannya sebagai jurus tulis…”

 

Nikolai:

“Akan sulit untuk menemukan orang lain yang hidup sepenuhnya untuk tugasnya. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa Akakiy bekerja dengan semangat: tidak, dia bekerja dengan cinta. Dalam menyalin naskah, ia menemukan pekerjaan yang bervariasi dan menyenangkan. Kenikmatan tertulis di wajahnya: beberapa surat bahkan menjadi favoritnya; dan ketika dia menemukannya, dia tersenyum, mengedipkan mata, dan menggerakkan bibirnya, hingga seolah-olah setiap huruf dapat terbaca di wajahnya, saat penanya menelusurinya. Jika gajinya sebanding dengan semangatnya, mungkin dia akan diangkat menjadi anggota dewan negara. Tapi dia bekerja, seperti yang dikatakan rekan-rekannya, seperti kuda di penggilingan.”

 

Aku:

“Hmm, saya teringat bahwa anda juga pernah bekerja sebagai juru tulis, penyalin naskah, …di mana anda pernah bekerja seperti itu…?”

 

Nikolai:

“Ketika saya lepas sekolah di umur sembilan belas saya pergi ke sini, ke St. Petersburg, dan mendapatkan posisi juru tulis menyalin naskah-naskah di kantor pemerintahan. Tidak lama saya di situ, tapi cukup lama untuk mengetahui beberapa jenis birokrasi ….”

 

Aku:

“ Jadi pengalaman-pengalaman itulah yang memberi bahan tulisan-tulisan anda, mengenai seluk-beluk birokrasi di pemerintahan, dengan segala kebobrokannya…”

 

Nikolai:

“Tapi, yah, walaupun Tsar Nicholas I terkekeh-kekeh selama pertunjukan ‘Inspektur Pemerintah’, pertunjukan ini telah memperolok semua orang.  Mereka mengatakan, mungkin benar, bahwa mereka sendirilah yang menjadi sasaran sindiran pertunjukan ini. Tentu saja pejabat resmi Rusia tidak menyukai inovasi dalam seni drama ini, dan kemarahan memuncak di antara mereka dan para pendukungnya. Bulgarin memimpin serangan itu. Segala sesuatu yang biasanya dikatakan menentang perubahan baru dalam sastra atau seni juga dikatakan untuk menentang pertunjukan ini. Mereka bilang :’Itu tidak asli. Itu mustahil, mustahil, kasar, vulgar; tidak memiliki plot. Ini menjadi sebuah anekdot basi yang diketahui semua orang. Itu adalah lelucon. Karakternya hanyalah karikatur belaka. Lalu : ‘Kota macam apa yang tidak memiliki satu jiwa pun yang jujur?’

Kegaduhan yang terjadi dalam masyarakat yang sopan-santun begitu hebat sehingga saya merasa harus meninggalkan Rusia menuju Eropa, dan tinggal di Roma.

 

Aku: “Apakah anda betah di Roma?”

 

Nikolai:

“Saya mengagumi Roma, saya mempelajari kesenian dan sastra Italia dan menjadi tertarik dengan opera. Pelukis religius Aleksandr Ivanov menjadi teman karib saya di sana, dan juga saya menemui beberapa bangsawan Rusia yang berkunjung kesana, termasuk putri Zinaida Volkonsky, sering kami bertemu.“

 

Aku: “Anda banyak menulis di Roma?”

 

Nikolai: “Ya, cerpen ‘Jubah’ saya tulis di Roma. Juga sebagian besar dari ‘Jiwa-Jiwa Mati’ saya tulis di sana.”

 

Aku:

“Oh, novel Jiwa-Jiwa Mati, masterpiece anda…. Tadinya, saya mengira bahwa judul Jiwa-Jiwa Mati ini adalah sebuah kiasan, mengenai Jiwa-Jiwa yang tidak peduli, atau semacam itu…, tapi ternyata lain sekali maksudnya. Novel ini bercerita tentang Chichikov, yang anda usung sebagai pahlawan , seorang penipu ulung yang, setelah beberapa kali mengalami nasib buruk, ingin menjadi kaya dengan cepat. Di antara tipu dayanya dia mendapat akal untuk membeli budak-budak yang telah mati, di mana kematian mereka belum secara resmi tercatat dalam sensus resmi. Jadi, secara resminya mereka masih hidup. Sehingga, dia mendapat akal untuk membeli budak-budak mati, seakan-akan mereka masih hidup itu, dengan harga murah dari tuan tanah pemilik budak-budak itu. Dengan demikian Chichikov memiliki bukti bahwa ia seorang kaya yang memiliki banyak budak-budak, yang bisa dipakai untuk mendapat pinjaman modal dari bank. Jadi, surat tanda pemilikan budak-budak itu dapat digadaikannya ke suatu bank untuk meminjam banyak uang untuk modal usaha pertaniannya. Ini suatu hal yang sangat unik, yang kami tidak pernah mendengarnya, dan bahkan sama sekali tak terpikirkan… bagaimana anda mendapat bahan cerita seperti ini..?”

 

Nikolai:

“Tema novel ini saya dapat dari Pushkin juga, yang berdasarkan kejadian sesungguhnya…”

 

Aku:

“Tapi, si Chichikov itu, yang anda usung sebagai pahlawan cerita ini, adalah penipu ulung, ia seorang bajingan…”

 

Nikolai:

“Bukan tergantung pada saya untuk mengambil karakter yang berbudi luhur untuk menjadi pahlawan saya: dan saya akan memberitahu anda mengapa. Hal ini karena sudah saatnya mengistirahatkan individu yang ‘miskin, tapi berbudi luhur’; Hal ini karena ungkapan ‘manusia yang bernilai’ telah menjadi kata-kata sanjungan; karena ‘manusia yang bernilai’ ini telah berubah menjadi seekor kuda, dan semua penulis menungganginya dan mencambuknya, di setiap masa,

hal ini disebabkan karena “manusia yang bernilai” telah dibuat kelaparan hingga tidak tersisa sedikit pun kebajikannya, dan yang tersisa dari tubuhnya hanyalah tulang rusuk dan kulit; hal ini karena ‘manusia yang bernilai’ selamanya diselundupkan ke dalam suatu kejadian; Hal ini disebabkan karena “manusia yang bernilai” telah lama kehilangan rasa hormat dari semua orang. Karena alasan-alasan inilah saya menegaskan kembali bahwa inilah saat yang tepat untuk memasung seorang bajingan pada tiangnya. Mari kita pasung bajingan itu.”

 

Aku:

“Saya teringat nasihat ayah Chichikov kepadanya ketika ia masih kecil, yang senantiasa diingatnya  : ‘Dengarlah nak, kerjakanlah pelajaranmu dengan baik, jangan bermalas-malasan atau bersikap bodoh, dan yang terpenting, pastikan kamu menyenangkan gurumu. Selama kamu mengikuti aturan-aturan ini, kamu akan mengalami kemajuan, dan melampaui teman-temanmu, bahkan jika Tuhan tidak memberi kepandaian, dan kamu akan gagal dalam studimu. Juga, jangan bergaul terlalu banyak dengan teman-temanmu, karena mereka tidak akan ada gunanya bagimu; Tetapi jika kamu berteman, maka bertemanlah dengan orang-orang yang lebih kaya di antara mereka, karena suatu hari nanti mereka mungkin berguna bagimu. Selain itu, jangan pernah menghibur atau mentraktir siapa pun, tetapi pastikan setiap orang menghibur dan mentraktir kamu. Terakhir, dan yang terpenting, simpan dan simpan setiap uang kopek kamu. Menghemat uang adalah hal terpenting dalam hidup. Seorang teman atau sahabat selalu mengecewakan kamu, dan menjadi orang pertama yang meninggalkan kamu di saat sulit; namun uang kopek tidak akan pernah mengecewakan kamu, apa pun penderitaan Anda. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak dapat dilakukan, tidak dapat dicapai, dengan bantuan uang.’

 

Nikolai:

“Lebih dari sekali, saat berjalan-jalan ini, pahlawan kita merenungkan gagasan tentang dirinya menjadi tuan tanah — tidak sekarang, tentu saja, tetapi kemudian, ketika tujuan utamanya seharusnya tercapai, dan dia telah mendapatkan ke tangannya sarana yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang tenang dari pemilik perkebunan. Ya, dan pada saat-saat ini akan termasuk dalam bangunan istananya sosok seorang gadis muda, segar, berwajah putih dari pedagang atau kelas masyarakat kaya lainnya, seorang wanita yang bisa bermain dan bernyanyi. Dia juga memimpikan keturunan kecil yang harus mengabadikan nama Chichikov; mungkin seorang anak laki-laki kecil yang suka bermain-main dan seorang putri muda yang cantik, atau mungkin, dua anak laki-laki dan dua atau tiga anak perempuan; sehingga semua orang harus tahu bahwa dia benar-benar hidup dan memiliki keberadaannya, bahwa dia tidak hanya menjelajahi dunia seperti hantu atau bayangan; sehingga baginya dan negaranya tidak boleh dipermalukan. Dan dari situ dia akan terus membayangkan bahwa gelar yang ditambahkan ke pangkatnya tidak akan menjadi hal yang buruk — gelar Penasihat Negara, misalnya, yang layak mendapatkan semua kehormatan dan rasa hormat. Ah, adalah hal yang umum bagi seorang pria yang sedang berjalan-jalan sendirian sehingga melepaskan diri dari realitas menjengkelkan saat ini sehingga ia mampu menggerakkan dan membangkitkan gairah dan memprovokasi imajinasinya pada konsepsi hal-hal yang ia tahu tidak akan pernah benar-benar terjadi!”

 

TAMAT

Tulisan ini adalah wawancara imajiner mengenang Nikolai Gogol.

 

Sumber:

The Inspector General by Nikolai Gogol.

The Overcoat by Nikolai Gogol.

The Dead Souls by Nikolai Gogol.










Jumat, 14 Juni 2024

Moscow, di Bolshoi Theatre

 

Bolshoi dalam bahasa Rusia berarti 'megah', dan kemegahan teater Bolshoi dapat kita tangkap dari jauh dari Teatralnaya Ploschad (Theater Square). Apollo Quadriga yang terkenal, atau kereta para dewa, menghiasi puncak teater. Apollo digambarkan mengendarai keretanya melintasi langit, dengan empat kuda, mengantarkan siang hari dan membubarkan malam. Tampak muka neoklasik dengan pilar putih gedung ini muncul di uang kertas 100 rubel Rusia dan menjadikannya salah satu landmark ikonik Moscow dan Rusia. 

Interiornya bahkan lebih megah, setelah enam tahun renovasi ekstensif sekitar 700 juta dolar AS mengembalikannya ke dekorasi kekaisaran asli, Bolshoi dibuka kembali pada 2011 dengan panggung aula bersejarah yang dihiasi dengan dekorasi merah dan emas yang mewah, dengan lampu gantung besar. Kembalinya Bolshoi ke kejayaan mencakup interior yang pernah dilapisi dengan kayu pinus langka dan disepuh dengan tangan dengan emas asli untuk akustik terbaik. Panggung teater juga mendapatkan efek pantulan suara¸ yang dirancang khusus untuk panggung opera dan balet. 

Rumah megah balet dan opera Bolshoi yang terkenal secara internasional dibangun pada tahun 1824 oleh Osip Bove, atas izin Permaisuri Catherine yang Agung untuk dijadikan teater umum. Selama hampir tiga dekade terakhir, Bolshoi dipimpin oleh Yuri Grigorovich, seorang direktur artistik yang dikenal dengan koreografi klasiknya yang ulung. Di bawah masa Grigorovich, dan dimeriahkan oleh kehadiran serangkaian penari yang sangat berbakat, Bolshoi dikenal sebagai salah satu perusahaan balet terbesar di dunia. 

Teater Bolshoi menjadi terkenal di seluruh dunia karena penari balet yang brilian seperti Maya Plisetskaya, Vladimir Vasiliev, Galina Ulanova, Maris Liepa. Mereka membangun reputasi teater dan mendongkrak karir mereka menuju kesuksesan internasional. 

Dan daftar reputasinya terus berlanjut, balet Swan Lake karya Tchaikovsky ditayangkan perdana di teater ini pada tahun 1877. Pertunjukan terkenal lainnya termasuk The Sleeping Beauty dan The Nutcracker karya Tchaikovsky, Giselle karya Adolphe Adam, Romeo and Juliet karya Prokofiev, dan Spartacus karya Khachaturian. 

Lalu opera-operanya, teater Bolshoi berspesialisasi dalam opera klasik Rusia seperti Boris Godunov karya Mussorgsky, A Life for the Tsar karya Glinka, dan The Tsar's Bride karya Rimsky-Korsakov, serta opera-opera Tchaikovsky. Banyak opera karya komponis barat juga dipentaskan, terutama karya komponis Italia seperti Rossini, Verdi, dan Puccini. Sampai pertengahan 1990-an, sebagian besar opera asing dinyanyikan dalam bahasa Rusia, tetapi bahasa Italia dan bahasa lainnya lebih sering terdengar di panggung Bolshoi dalam beberapa tahun terakhir. 

Alangkah ‘Bolshoi’ nya….!

 

TAMAT

 

 

Sumber:

https://www.uvisitrussia.com/theaters/big_bolshoi/

https://en.wikipedia.org/wiki/Bolshoi_Theatre





Selasa, 30 April 2024

Moscow, di Katedral St. Basil

 

Di Selatan Red Square berdiri sebuah katedral warna-warni dengan kubah berbentuk bawang, ini adalah pertama kalinya saya melihat katedral seperti itu. Batu bata merah dengan ornamen batu putih bercampur dengan pola melingkar-lingkar yang semarak dalam warna hijau, biru dan merah pada kubah. Pada pandangan pertama, orang mungkin mengira itu sebagai istana Cinderella di Disneyland. 

Tapi itu bukan fantasi Disneyland, ini adalah gereja yang sarat dengan sejarah dan pengabdian, ini adalah Katedral St. Basil. Dibangun pada abad ke-16 atas perintah Tsar Rusia Ivan IV untuk memenuhi sumpahnya untuk membangun sebuah gereja atas penaklukannya akan Kazan. Dia bermaksud membangun gereja dalam skala yang mencerminkan pentingnya kemenangannya atas Kazan, yang tidak hanya berhasil melumpuhkan Kazan yang merepotkan, tetapi juga membuka area yang luas untuk kolonisasi dan perdagangan. 

Katedral ini bukanlah satu ruang yang besar, ia terdiri dari 11 gereja kecil, salah satunya dibangun di atas makam St Basil. Gereja-gereja tersebut terhubung dengan labirin koridor sempit dengan atap melengkung, didekorasi dengan indah dengan pola bunga berwarna-warni yang melambangkan taman surgawi. Setiap gereja tampak seperti vas bunga, ruangan sempit dengan langit-langit tinggi. Mungkin bentuk ini membuat akustiknya luar biasa, kita bisa mendengar dengan jelas himne dan nyanyian yang dinyanyikan di ruangan lain, suara mereka sangat ilahi. 

Katedral St. Basil begitu mengesankan sehingga legenda mengatakan bahwa Tsar Ivan IV membutakan para arsitek katedral sehingga desain struktur ini tidak dapat dicontoh di bangunan lain mana pun. Meskipun ini tidak dapat diverifikasi, hal itu sejalan dengan apa yang diketahui tentang kepribadian Ivan IV yang kompleks dan temperamennya yang keras, perlakuan kasarnya terhadap bangsawan Rusia, rakyatnya, dan pelayannya. Ada catatan tentang gangguan mentalnya, dengan satu kejadian tragis, dia secara tidak sengaja membunuh putranya sendiri saat bertengkar. Karena kekejaman dan temperamennya itu, ia juga dikenal sebagai Ivan the Terrible. 

Kemasyuran katedral yang dibangun untuk mengenang kemenangan Tsar Ivan IV di Kazan telah dirundung bayangan Basil, seseorang yang dikenal sebagai pengemis, "Bodoh bagi Kristus", suara nubuat hati nurani yang berpakaian compang-camping, yang dikuburkan di bawah Katedral. Basil dan Tzar ini memiliki hubungan yang rumit. Tsar Ivan IV yang kuat dan kejam tidak berani menginjak-injak pengemis yang menghalangi jalannya, seluruh penduduk Moskow bergantung pada setiap kata dan tindakan pengemis itu, memujanya sebagai seorang nabi. Tsar Ivan IV pernah menghujani Basil dengan hadiah, ingin menguji apakah Basil tergoda oleh kekayaan. Basil menerima hadiah itu tetapi segera memberikan semuanya kepada orang yang membutuhkan pertama yang dia temui. Ketika Basil meninggal pada tahun 1557, Tsar Ivan IV sendiri termasuk di antara pengusung jenazah untuk membawa jenazahnya ke tempat peristirahatannya: yang sekarang dikenal sebagai Katedral St. Basil.

 

TAMAT

 SUMBER:

https://nationsmedia.org/basil-the-holy-fool/

https://www.masterclass.com/articles/st-basils-cathedral-architecture-and-history#what-is-st-basils-cathedral

 








Sabtu, 02 Maret 2024

Moskow, di Lapangan Merah

 

Bagi kita yang mengetahui Lapangan Merah di Moskow dari parade Tentara Merah di alun-alun untuk memperingati Revolusi Oktober, tidak dapat dipungkiri bahwa gambaran kita tentang Lapangan Merah adalah gambaran Tentara Merah, komunisme, dan darah. Jadi, jika kita datang ke sana kita akan melihat alun-alun dingin dengan monumen Lenin, atau Stalin atau Marx, serta poster dan spanduk propaganda komunis berwarna merah, semacam itu. Betapa salahnya kita. 

Jika kita datang dari stasiun metro Ploshchad Revolyutsii menuju Lapangan Merah kita masuk melalui gerbang depan kota dari sisi jalan Tverskaya dan Lapangan Manezhnaya. Ini adalah Kilometer Nol Moskow, memiliki dinding berwarna bata merah dengan lapisan putih dan dua lengkungan. Pada bagian dalam gapura terdapat ikon yang menggambarkan kebangkitan Kristus, oleh karena itu gapura tersebut dinamakan Gerbang Kebangkitan. Ironisnya gerbang tersebut telah dibongkar dan dibangun kembali beberapa kali, pertama kali muncul pada tahun 1534 dan dibangun kembali pada tahun 1680, dirobohkan oleh Stalin untuk dijadikan tempat upacara Soviet berskala besar di alun-alun tersebut. Gerbang itu sekali lagi dipasang antara tahun 1994 dan 1995. 

Lebih jauh lagi, kita bisa melihat department store besar di Arsitektur Rusia akhir abad ke-19. Ini adalah Department Store GUM (Glawny Uniwersalny Magasin), yang menempati sebagian besar sisi Timur Lapangan Merah yang diapit oleh jalan Nikolskaya dan Ilyinka. Ini adalah yang terbesar di Rusia, menjual barang-barang mewah dengan dinding berbentuk rumit, dengan banyak dekorasi, komposisi, serta jendela dan atap kaca yang indah. Namun perlu kita ketahui bahwa Lapangan Merah awalnya merupakan sebuah perkampungan kumuh, sebuah kota kumuh dengan gubuk-gubuk kayu yang berkumpul di bawah tembok Kremlin yang menjadi tempat berkumpulnya para penjaja, penjahat, dan pemabuk yang statusnya membuat mereka berada di luar batas resmi kota abad pertengahan. Daerah ini dibersihkan atas perintah Ivan III pada akhir tahun 1400-an, namun tetap menjadi wilayah gerombolan, tempat eksekusi publik, dan kerusuhan massa, hingga beberapa waktu kemudian. Saat ini GUM berdiri terang di sisi Lapangan Merah, menampilkan dirinya kepada penduduk setempat dan pengunjung sebagai pusat perbelanjaan mulia yang ditandai dengan butik-butik dengan kisaran harga atas. 

Di depan GUM Shopping Mall berdiri sebuah katedral dengan berbagai kubah berwarna-warni berbentuk bawang, itulah katedral St Basil, bangunan ikonik Rusia, dan mungkin itulah gambaran pertama yang terlintas di benak orang ketika berkunjung ke Rusia. Ketenaran katedral ini mungkin disebabkan oleh desainnya yang khas dan eksentrik, 10 kubah berbentuk bawang dengan perpaduan warna yang cerah. 

Di tengah alun-alun kita bisa melihat bangunan piramida bertingkat, yaitu Mausoleum Lenin. Terbuat dari bahan granit dan labradorit, menunjukkan karakter mausoleum sebagai tempat pemakaman monumental yang dirancang oleh arsitek ternama Alexei Shchusev. Di dalam mausoleum, jenazah Vladimir Lenin yang dibalsem secara mewah disemayamkan di dalam sarkofagus kaca berlapis baja. Hingga saat ini, makam tersebut dibuka untuk pengunjung pada hari-hari tertentu. 

Lapangan Merah ('Krasnaya Ploschad' dalam bahasa Rusia), memang didominasi oleh warna merah bata pada bangunan-bangunan di alun-alun tersebut, sehingga mungkin itulah sebabnya banyak dari kita yang mengaitkan nama Lapangan Merah dengan warna bangunan-bangunan di sana. Banyak orang juga yang percaya bahwa Lapangan Merah dinamakan demikian karena komunisme dan Rusia diasosiasikan dengan warna merah, bahkan lebih jauh lagi diasosiasikan dengan darah (tumpah). Namun, sebenarnya kata Krasnaya dalam bahasa Rusia kuno berarti cantik, namun kini di zaman modern artinya ‘merah’. Oleh karena itu, anggapan umum bahwa 'Merah' di Lapangan Merah mengacu pada warna merah bata pada bangunan, Komunisme, atau bahkan pertumpahan darah - tidak dapat dipahami.

 Lapangan Merah memang merupakan alun-alun yang indah, dengan gereja-gereja indah yang menaungi Monumen Lenin, dan GUM Department Store mewah yang dikelola swasta yang menaungi cara hidup sosialis negara tersebut. Dan sangat disayangkan bahwa gambaran alun-alun ini disalahartikan oleh parade militer Tentara Merah yang disiarkan di televisi di seluruh dunia. 

 TAMAT


Sumber: https://www.local-life.com/moscow/articles/red-square