Cari Blog Ini

Jumat, 16 Oktober 2020

Bangkok, di Malam Hari

 

Bangkok adalah salah satu tempat dimana pada saat siang berganti malam perlahan-lahan, anda tetap bisa melihat banyak hal asal anda tidak lelah. Tempat-tempat yang indah, istana-istana dan kuil-kuil, paling baik dikunjungi di siang hari, namun pada malam hari, wajah Bangkok sangat berbeda. Pesta, pasar malam, klub malam, panganan dan pertunjukan unik mulai hidup menggoda para pengunjung untuk menikmati malam di kota ini.

Berbelanja di jalanan pada siang hari sangat menggairahkan walaupun sinar matahari panas terik di kota ini, namun ketika hari menjadi sejuk di sore hari, pasar malam mulai buka seperti mekarnya kembang malam menawarkan begitu banyak jauh lebih banyak dari pada pasar di siang hari, pakaian, sepatu, kerajinan tangan, barang-barang bermerek tiruan, perhiasan, pakaian pantai, cendera mata dan tentu saja jajanan dan minuman. Di Lorong-lorong sempit yang diterang-benderangi lampu neon portable, anda bisa melihat barisan kedai-kedai yang berjejer di jalanan pasar malam itu. Barang-barang warna warni dipajang dengan menawan di kedai-kedai itu, dan penjaja yang bersemangat  meninggikan suara menawarkan dagangannya. Ketika membeli, jangan lupa menawar, biasanya anda bisa mendapatkan suatu barang antara 25% hingga 50% lebih murah dari penawaran pertama kali dari penjual. Jadi jangan ragu-ragu menawar dan membawa pulang cendera mata untuk kenang-kenangan dari sini.

Banyak pasar malam yang paling sibuk terletak di sepanjang daerah lampu merah yang populer, misalnya pasar malam Silom. Pasar malam ini terletak di tengah distrik Patpong, daerah lampu merah terkenal yang pernah dijadikan lokasi adegan filem Deer Hunter dan filem James Bond Goldfinger. Patpong adalah dua jalan kecil yang sejajar di antara jalan Silom dan Surawongse, yang ditempati strip bars remang-remang yang menawarkan adult shows dan pole dancing. Ketika sore berganti malam bar-bar tersebut mulai hidup dengan dimulainya musik gegap gempita. Anda bisa melihat melalui pintu terbuka gadis-gadis mulai berputar-putar di tiang-tiang panggung dan menari, di bawah redupnya lampu neon ungu. Suara-suara teriakan penjaja barang di jalan digantikan oleh bisikan-bisikan tukang catut menawarkan segala hal  mulai dari “ping pong show” hingga “pijat”.

Tidak diragukan lagi bahwa wajah Patpong memberi kontribusi akan nama “Kota Berdosa’ (“Sin City”) dari Bangkok. Pelacuran dapat terjadi di banyak tempat di Bangkok, panti pijat, restoran, sauna, go-go bar, karaoke atau bar lainnya. Nama-nama bar-bar di sini sangat menyolok, seperti Pussy Collection, Super Pussy, Pink Pussy… sulit untuk tak terlihat. Tampaknya tak ada lagi kehidupan malam yang semula di Patpong yang “sembunyi-sembunyi” atau “di bawah tanah”.  Go-go bars yang melatar-belakangi pasar malam itu bahkan sudah menjadi atraksi bagi para turis.

Lalu, apa yang terjadi dengan wajah Bangkok yang namanya berarti “Kota Para Malaikat” (“City of Angels”), dimana para bikhu dengan jubah oranye berkeliaran di jalanan di pagi subuh dengan mangkok di tangan, dimana ibu-ibu sejak lebih dari 2,500 tahun memasak makanan untuk diberikan kepada para bikhu, dimana ada ribuan kuil-kuil di dalam kota, dan dimana ada altar di setiap pojok kota itu guna menenangkan roh-roh halus?

Apakah Buddhisme Thailand mentolelir pelacuran yang tersebar luas itu dengan tidak memperbaiki sikap terhadap wanita yang dianggap lebih rendah dan bahkan berbahaya bagi lelaki, atau apakah agama ini memberi kontribusi terhadap pandangan bahwa wanita pada dasarnya tidak murni dan karnanya tidak pantas untuk mendapat pencerahan, dan dengan demikian terkurung di dalam posisi yang merendahkan diri mulai dari pekerja seks hingga biarawati sebagai jalan untuk mendapatkan berkah spriritual bagi dirinya dan keluarga?

Walaupun Buddhisme memegang peranan penting dalam membentuk hukum, kerangka kebudayaan dan kehidupan sosial di kerajaan Thailand, saya kira banyak factor-faktor yang memberi kontribusi atas meluasnya pelacuran, katakanlah Perang Dunia 2, Perang Vietnam, kemiskinan di wilayah ini dimana pekerja seks mendapatkan penghasilan 10 kali lebih banyak dari updah minimum, dan tak usah menyebutkan korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan Mafia yang juga terlibat dalam partai-partai politik.

Walaupun pelacuran di sini demikian meluas, sebenarnya hukum Thailand melarang pelacuran. Tapi karaoke, go-go bar dan panti pijat bisa didaftarkan seperti biasa, sebagai bisnis legal. Polisi biasanya memperlakukan pelacuran di tempat-tempat tersebut sebagai transaksi di antara pelacur dengan pelanggannya, yang dalam transaksi ini pemilik bisnis itu tidak terlibat. Jadi, dalam prakteknya hal ini di tolelir, kadang kala karena pejabat-pejabat lokal memiliki kepentingan finansial dalam usaha pelacuran ini. Beberapa pejabat-pejabat Thailand bisa menutup mata terhadap industri USD 6 miliard ini, yang melibatkan sekitar 2 juta wanita-wanita di Thailand.

 

TAMAT

Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution_in_Thailand
https://digitalcommons.fiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2474&context=etd









2 komentar: