![]() |
Photo: Wikimedia |
“Akira-san”, aku berkata,” Saya harus mengakui bahwa filem
anda Throne of Blood dan Ran memperkenalkan saya kepada Shakespeare. Ceritanya sangat mencengangkan, tragis dan
gelap namun anda dengan handal menerjemahkannya ke dalam sinema, dalam hitam
putih dan berwarna. Di dalam Ran, yang merupakan adaptasi dari King Lear, dunia
yang gelap dan keji digambarkan dengan indah secara sinematis, yang menonjolkan
warna-warna kostum Jepang dan warna darah. Apakah ini kurang lebih cara anda
memandang dunia?”
Akira-san:
“ Tragedi adalah bagian dari kehidupan Jepang yang sering
dilanda gempa, tsunami dan perperangan. Gempa bumi Kanto adalah pengalaman yang
sangat mengerikan bagi saya, dan juga yang sangat penting. Dari padanya saya mempelajari
bukan saja kekuatan alam yang dahsyat, namun juga hal luar biasa yang mendasari
hati manusia. Dasar sungai Edogawa telah
melonjak dan memperlihatkan pula-pulau baru dari lumpur. Seluruh distrik itu
diliputi oleh debu yang menari dan berpusar yang dengan keabuannya memberi
matahari berkesan seperti masa gerhana. Orang-orang yang berdiri di kiri kanan
saya di tempat itu mencari segenap dunia bagaikan pelarian dari neraka, dan
segenap pemandangan terlihat aneh dan menakutkan. Saya berdiri memegang ke
salah satu pohon sakura yang tertanam di sepanjang sungai itu, dan masih
gemetar ketika saya memandang tempat itu dan berpikir, “Ini pastilah kiamatnya
dunia.”
Aku berkata:
“Di dalam Throne of Blood, yang merupakan adaptasi dari
Macbeth, ada adegan dengan tumpukan tengkorak manusia yang membentuk
gundukan-gundukan. Apakah seperti ini pemandangan setelah gempa Kanto berlalu?”
Akira-san:
“Ketika gempa bumi itu berlalu, kakak saya Heigo mengajak
saya melihat reruntuhan. Daratan yang terbakar terpampang sepanjang mata melihat
memiliki warna merah kecoklatan seperti gurun pasir merah. Kebakaran itu
membuat semua yang terbuat dari kayu berubah menjadi debu, yang sekarang terbang
ke atas dihembus angin. Di tengah hamparan kemerahan yang memuakkan ini tergeletak
segala macam mayat yang bisa terbayangkan. Ketika saya secara tidak sengaja
mengalihkan pandangan saya, Heigo menghentak saya. “Akira, lihat dengan seksama
sekarang.” Saya tidak bisa mengerti maksud kakak saya dan hanya bisa mendongkol
atas paksaannya untuk menatap pandangan yang mengerikan ini. Pemandangan yang
paling mengerikan adalah ketika kami berdiri di tepi sungai Sumidagawa yang
menjadi merah dan memandang kumpulan mayat yang terbenam ke pinggir sungai itu.
Saya merasa lutut saya lemas ketika saya mulai pingsan, namun kakak saya meraih
kerah saya dan menegakkan saya kembali.
Dia berkata lagi : “Lihat dengan seksama, Akira.” Saya menyerah dengan
menggertakkan gigi dan melihat.
Kemudian hari dia berkata: “Kalau engkau menutup mata
terhadap penglihatan yang menakutkan, engkau akhirnya akan menjadi takut. Kalau
engkau melihatnya secara langsung, tak ada yang ditakutkan.” Menoleh kembali ke perjalanan itu, saya
menyadari bahwa hal itu pasti menakutkan juga bagi kakak saya. Itu adalah
perjalanan untuk mengalahkan rasa takut.”
Aku berkata:
“Anda pernah bilang bahwa kakak anda Heigo banyak
mempengaruhi anda akan hasrat anda akan dunia sinema. Bagaiman dia mempengaruhi
anda?”
Akira-san:
“Heigo adalah seorang narator profesional untuk filem bisu.
Tugas narator bukan hanya menceritakan jalan cerita filem, mereka mempertegas
bagian yang emosionil dengan memperdengarkan suara dan efek suara dan
memberikan penjelasan yang menggugah akan kejadian dan gambaran di layar –
lebih menyerupai narator dari teater boneka Bunraku. Narator yang paling
populer adalah seorang bintang tersendiri, mengambil tugas di teater tertentu.
Di bawah pimpinan narator terkenal Tokugawa Musei, sebuah pergerakan yang sama
sekali baru berlangsung. Dia dan kelompoknya menekankan narasi dengan kualitas
tinggi dari filem-filem asing yang disutradarai dengan baik.
Dalam hal filem dan sastra saya banyak bergantung kepada
anjuran kakak saya. Dia ketagihan sastra Russia. Namun di saat yang sama dia
menulis dengan berbagai nama samaran untuk program-program filem. Khususnya dia
menulis tentang seni sinema filem asing, yang banyak dipromosikan setelah
Perang Dunia Pertama. Saya mengambil perhatian khusus akan filem-filem yang
dianjurkan kakak saya. Sejak sekolah dasar saya berjalan sampai sejauh Asakusa
untuk menonton filem yang dia bilang bagus.”
Aku berkata:
“Kemudian apa yang terjadi ketika sinema berganti dari filem
bisu ke filem bersuara?”
Akira-san:
“Ketika filem bisu ditinggalkan,
demikian juga kebutuhan akan para narator, dan penghidupan Heigo terpukul amat
sangat. Pada mulanya semua seperti berjalan dengan baik karena saat itu kakak
saya adalah narator utama di sebuah bioskop filem perdana, Taikatsukan di Asakusa,
di mana dia mempunyai penggemar tersendiri.
Lalu menjadi jelas bahwa semua filem asing semenjak saat itu
akan menjadi filem bersuara, dan teater-teater yang mempertunjukkannya
memutuskan secara menyeluruh bahwa mereka tidak membutuhkan para narator lagi.
Para narator diberhentikan secara masal, dan, mendengar hal itu, mereka mogok
kerja. Kakak saya, sebagai pemimpin pemogokan, menjalani masa yang sangat
sulit.”
Aku berkata:
“Seperti apa yang sudah terjadi, perubahan sinema tidak
terelakkan, dari bisu ke suara, dari hitam putih ke warna, dan dari seluloid ke
digital.”
Akira-san:
Di tengah segala itu, suatu hari saya dengar kakak saya
mencoba bunuh diri. Saya kira penyebabnya adalah pahitnya posisinya sebagai
pemimpin pemogokan para narator, yang telah gagal. Kakak saya sepertinya
menerima fakta bahwa para narator tidak akan lagi diperlukan ketika teknologi
perfileman bergerak ke arah bersuara. Ketika dia menyadari perjuangannya akan
kalah, fakta bahwa dia harus menerima penugasan sebagai pemimpin pemogokkan
pastilah tak terbayangkan sakitnya baginya.
Aku berkata:
“Bukankah dia pernah bilang ke ibu anda bahwa dia akan mati
sebelum mencapai umur tigapuluh tahun?”
Akira-san:
“Kakak saya selalu bilang begitu. Dia menganggap kalau
seseorang hidup melewati umur tiga puluh tahun, apa yang terjadi padanya
hanyalah menjadi lebih jelek dan jahat, karena itu dia tidak berniat begitu.
Saya menganggap enteng kata-kata kakak saya, tapi beberapa bulan setelah saya
menepis kerisauan ibu saya akan hal itu, kakak saya meninggal dunia. Seperti
yang dia janjikan, dia meninggal sebelum mencapai usia tiga puluh. Di usia dua
puluh tujuh dia bunuh diri.”
Aku berkata:
“Ada orang-orang yang
bilang bahwa anda seperti kakak anda. Namun dia adalah negatif dan anda
positif. Anda membuat filem bagus baik dalam hitam putih maupun filem berwarna,
anda sutradara filem Jepang pertama yang menerima penghargaan internasional.”
Alira-san:
“Pada masa itu filem-filem Jepang cenderung terasa hambar,
seperti teh hijau disiram di nasi. Saya melihat seorang wanita membaca buku
selama pertunjukan filem produk dalam negeri Jepang. Filem-filem Jepang
kehilangan masa belianya, kehilangan semangat dan aspirasi yang tinggi.
Filem-filem… seperti hasil karya seorang yang letih, tua, yang membuat
penilaian sempit, kering dari rasa, dan yang hatinya tersumbat.”
Aku berkata:
“Penghargaan internasional pertama yang
anda terima adalah Rashomon yang menerima Golden Lion di festival filem Venesia
di tahun 1951. Diperagakan di Jepang abad ke 11, suatu masa ketika api, gempa,
sampar, bandit dan perperangan. Suatu masa ketika pemerintah pusat dirongrong
oleh pertumbuhan pergerakan politik dan kekuatan militer. Ada pemberontakan, kebakaran, gempa, dan
tindak kriminal yang kejam di ibu kota. Saat itu adalah perioda yang tampaknya
tidak ada hukum, dan negara ini berada di tepi jurang kehancuran.
Filem itu dimulai di Gerbang Rashomon,
Gerbang Utama kota Kyoto. Gerbang itu dalam kondisi hancur, demikian pula
kotanya. Hujan dalam hitam putih mengucur deras ke Gerbang Rashomon memberi
kesan dunia yang buram. Gerbang yang hancur, dengan ukurannya yang kelihatannya
megah dan fundasinya yang kokoh yang telah menjadi reruntuhan. Pakaian
orang-orang di situ lusuh, gelap, kotor dan basah.”
Akira-san:
“Filem itu mendalami
hati manusia bagaikan pisau bedah dokter, memperlihatkan seadanya komplesitas yang
gelap dan liku-liku yang penuh keganjilan.
Denyutan hati nurani yang ganjil ini akan diperlihatkan dengan
menggunakan permainan cahaya dan bayangan yang dirancang dengan seksama. Cahaya
dan bayangan, mewakili bukan saja baik dan jahat, tapi juga rasionalitas dan
tindakan impulsif. Terutama bagian awal, yang membawa penonton melalui cahaya
dan bayangan dalam hutan ke dunia di mana hati manusia tersesat, benar-benar
pekerjaan kamera yang mengagumkan dari Miyagawa Kazuo.”
Aku berkata:
“ Jalan cerita dan
karakter-karakternya menarik, mencakupi berbagai jenis karakter yang memberi
kesaksian-kesaksian yang subyektif, alternatif, memihak diri sendiri dan bertentangan tentang suatu pembunuhan.
Melalui penggunaan yang cerdik dari kamera dan flashbacks, anda mengungkapkan
kompleksitas sifat manusia ketika empat orang menceritakan kesaksian yang
berbeda tentang pembunuhan seorang samurai dan pemerkosaan isterinya.”
Akira-san:
“Manusia tidak dapat jujur kepada dirinya sendiri tentang
dirinya sendiri. Mereka tidak dapat berbicara tentang dirinya sendiri tanpa
menghiasinya. Pergelaran ini memperlihatkan manusia seperti itu yang tidak bisa
hidup tanpa berbohong untuk membuat dirinya merasa lebih baik dari sebenarnya.
Karakter-karakter tersebut bahkan menipu diri mereka sendiri; mereka menolak
untuk menghadapi atau mengakui kebenaran karena mereka takut padanya. Pandangan
umum adalah bahwa semua lelaki dan wanita seperti itu, dan menjadi sifat
manusia untuk berbohong dan menghiasi realitas bahkan bagi dirinya sendiri.
Seperti yang dikatakan pendeta di filem itu, kalau manusia tidak saling
mempercayai, bumi ini lebih baik menjadi neraka.”
Aku berkata:
“Pada akhir filem itu ada adegan seorang bayi yang
ditelantarkan yang menangis sangat keras. Mulanya kita tidak dapat mengerti
bagaimana bayi ini datang ke Gerbang Rashomon, sekonyong-konyong saja. Kemudian
saya menemukan bacaan bahwa tempat itu selain tempat membuang mayat juga menjadi
tempat yang diketahui sebagai tempat meninggalkan bayi-bayi yang tak
dikehendaki. Kemudian saya dapat memahami adegan ini, bukanlah suatu adegan
yang bukan pada tempatnya seperti yang dikira sebagian penonton.”
Akira-san:
“Kita melihat bahwa si penebang pohon itu menerima bayi yang
ditelantarkan dan membawanya pulang untuk dipelihara, walaupun dia sendiri
sudah punya 6 orang anak. Hal ini melambangkan bahwa manusia memilih melakukan
hal-hal yang baik. Ini penting, karena
penebang pohon itu sepanjang adegan sampai saat itu hanyalah berdiam diri,
memilih untuk tidak terlibat dengan apa yang dilihatnya, “Aku tidak ingin
terlibat”, katanya. Dengan memilih untuk mengambil anak itu dia memberi harapan
kepada pendeta itu bahwa manusia adalah baik adanya dan bahwa dunia bukanlah
milik orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri.”
Ini adalah wawancara imajiner untuk mengenang Akira
Kurosawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar