Photo: pinktentacle.com |
Namun, ketika saya sampai
di episode 9 dan 10 dari Season 11 drama ini, saya terkesiap menontonnya,
karena ceritanya didasari tradisi yang sangat aneh dan mengherankan. Saya tak
bisa membayangkan seseorang melakukan tindakan ini di dunia nyata. Namun,
mengenal bahwa drama serial ini sering memasukkan tradisi Jepang dalam ceritanya,
tindakan ini pastilah nyata, bukan fiksi.
Tindakan kejahatannya
terjadi di sebuah daerah pegunungan yang terpencil yang diselimuti hutan yang
lebat, sebuah tempat yang terasa sangat teduh dan damai hingga sulit
membayangkan sebuah kejahatan bisa terjadi di sini. Kejahatan itu terjadi
terdorong oleh sebuah praktek dari abad ke 11 yang disebut Sokushinbutsu,
sebuah tindakan memumikan diri oleh seorang biksu agar menjadi “seorang Buddha
dalam badan ini”. Di dalam praktek Sokushinbutsu sang biksu dengan sengaja
mematikan diri agar melestarikan badannya menjadi mummi, dengan kehendak
mencari nirwana.
Saya sangat penasaran
untuk mengetahui apakah yang melandasi tradisi religious ini, bagaimana sampai
bisa terjadi begini? Jadi saya menghubungi Haruki, seorang biksu yang saya
kenal, yang berdiam di Kuil Churenji di
Dewa Sanzan, distrik Yamagata. Saya mengambil perjalanan 4 jam dengan
Shinkansen dan kereta api express dari Tokyo ke stasiun terdekat di Tsuruoka. Perjalanannya
melalui daerah yang paling teduh di Jepang, melihat daerah pedalaman,
pegunungan, ditandai dengan kuil-kuil yang tersembunyi di hutan lebat. Setelah
sampai di Tsuroka saya mengambil bus ke Kuil Churenji untuk menemui Haruki,
namun karena kuil itu tidak terbuka bagi publik hari itu, kami pergi ke sebuah
warung teh di dekat situ untuk bercakap-cakap.
Aku membuka percakapan:
“Tempat yang sangat teduh di
distrik Yamagata ini dikatakan sebagai salah satu tempat yang paling indah untuk
berjalan-jalan di Jepang. Saya beruntung bisa melihat keindahan tempat ini yang
dikelilingi pegunungan diselimuti pohon-pohon cedar yang tinggi-tinggi membentuk
hutan yang lebat, yang membuat kita merasa pohon-pohon itu menjangkau ke atas
untuk memberi penampungan dan perlindungan terhadap badai. Pegunungan yang menjulang
tinggi dianggap musuh dan daerah angker bagi manusia untuk menjelajahinya, sementara
hutan memberi kita rasa damai yang luar biasa.
Jadi, saya kira kita bisa
mengerti bahwa di jaman dulu agama Shinto kuno (Koshinto) menyembah alam, yang
dikenal sebagai animisme di dunia Barat. Keindahan dan keteduhan tempat ini
sangatlah luar biasa hingga mereka menganggap setiap elemen alam ini adalah
ilahi. Gunung, lautan dan sungai semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’
dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara.
Angin dan halilintar juga adalah ‘kami’. Singkatnya Koshinto berpegangan bahwa
tidak ada di dunia atau di kosmos yang tidak memiliki energi ilahi; ‘kami’
berada di mana saja.
Gunung Yudono di mana Kuil
Churenji berada, juga dianggap sebagai
salah satu gunung yang dikeramatkan diantara 3 gunung-gunung Dewa Sanza.
Bisakah anda memberi sedikit gambaran.”
Haruki:
“Gunung-gunung memiliki
peranan penting di dalam agama di Jepang sejak jaman dulu kala. Gunung yang
tinggi dianggap angker dan berbahaya, namun mereka disembah sebagai sumber dari
sungai yang memberi kehidupan yang menyuburkan sawah dan desa-desa di bawah.
Menjulang ke langit dan seringkali tertutup oleh awan, gunung-gunung seperti
itu dianggap sebagai surga dan diperlalukan dengan kekaguman dan hormat. Tanpa
harus menjadi Shinto, semua manusia dapat memiliki kesan seperti ini tentang
gunung-gunung.
Gunung Yudono adalah salah
satu pusat dari penyembahan gunung di Dewa sanzan (“tiga gunung Dewa”) di distrik
Yamagata. Ketiga gunung itu adalah Haguro-san, Gas-san dan Yudono-san;
Haguro-san mewakili kelahiran, Gas-san mewakili kematian dan Yudono-san
mewakili kelahiran kembali, gunung-gunung itu biasanya dikunjungi sesuai urutan
itu.
Dewa Sanzan adalah pusat
dari Shugendo, suatu agama berdasarkan penyembahan gunung, campuran antara
Buddhis dan tradisi Shinto. Para penganut Shugendo, melakukan tindakan
pengorbanan diri sebagai jalan untuk mentransedensikan dunia jasmaniah.”
Aku berkata:
“ Lalu bagaimana jadinya penyembahan gunung menjadi pusat dari Sokushinbutsu, sebuah praktek memummikan diri seorang biksu?”
“ Lalu bagaimana jadinya penyembahan gunung menjadi pusat dari Sokushinbutsu, sebuah praktek memummikan diri seorang biksu?”
Haruki:
“Sokushinbutsu adalah
salah satu praktek bertapa yang berat dari Shugendo, biksu-biksu berusaha
memelihara badan mereka menjadi mummi melalui diet yang ekstrem dan meditasi.
Para biksu percaya bahwa pencerahan dapat dicapai di dunia kini, dan mereka
percaya bahwa dengan meninggalkan suatu jejak Buddha di dunia ini dalam wujud
Sokushinbutsu, mereka dapat memberi keselamatan kepada penduduk di sini, bahkan
setelah kematian sang biksu.”
Aku berkata:
“Bagaimana mereka
melakukan mummifikasi diri itu?”
Haruki:
“Ritus mummifikasi diri
ini sangat panjang dan sangat menyakitkan. Hal ini bukanlah pengorbanan yang
sederhana dan biksu itu menghabiskan hidupnya setelah proses panjang penistaan
yang tahap akhirnya berlangsung sekitar 1000 hari. Makanan para biksu terbatas
pada apa yang bisa ditemukan di gunung, sepert kacang-kacangan, tunas tanaman,
buah berrie, kulit pohon dan jarum pinus. Bentuk makanan ini disebut
mokujikigyo, yang secara harafiah berarti “latihan memakan pohon”. Ketika sang
biksu tidak mencari makanan ia menghabiskan waktunya bertapa di gunung. Makanan
ini dimaksudkan untuk menguatkan mental, dan dari segi biologis diet yang berat
dimaksudkan untuk menghilangkan lemak, otot dan kelembaban. Efek yang diharakan
adalah mencegah pembusukan jasad setelah kematian. Sang biksu juga meminum the
beracun dari kulit pohon (toxicodendron verniculum) yang diharapkan akan mempercepat kematian dan
membuat badan menjadi lebih tidak ramah terhadap bakteri dan parasite yang akan
membusukkan jasad setelah kematian. Kulit pohon itu memiliki kadar racun yang
sama tingginya seperti di tanaman poison ivy.
Setelah itu, sang biksu
akan berhenti makan semuanya, minum sedit air asin selama 100 hari. Pada akhir
periode ini, sang biksu dianggap imannya siap untuk masuk ke ‘nyujo’ atau diam
dalam meditasi. Ketika sang biksu merasa
ajalnya mendekat, murid-muridnya akan menurunkannya ke dalam kotak pinus di bawah
lubang sedalam 3 meter berdinding batuan, liang kubur yang ukurannya hanya
cukup untuk sang biksu duduk dalam posisi lotus, posisi bertapa. Ruangan yang
kosong diisi dengan arang untuk menyerap kelembaban.
Setelah liang kubur itu
ditutup, dua pipa bambu akan ditanamkan dari atas untuk menyalurkan air minum dan menyalurkan udara untuk
ventilasi. Lonceng- lonceng diikat ke ujung bambu itu untuk sang biksu memberi
isyarat bahwa ia masih hidup. Ketika bunyi lonceng tidak lagi terdengar, pipa
bambu tersebut akan dicabut dan lubangnya ditutup.
Selama tiga tahun dan tiga
bulan, jenazah
sang biksu didiamkan di lubang bawah tanah itu. Kemudian pada akhirnya, jenazahnya
akan diangkat ke atas. Kalau tidak ditemukan pembusukan, jasad itu ditetapkan
sebagai Sokushinbutsu yang sebenarnya dan disemayamkan di altar di kuil.”
Aku berkata:
“Apakah proses ini tidak
dianggap sebagai bunuh diri?”
Haruki:
“Walapun pada permukaannya
tampak seperti bunuh diri, penganut Buddhis menganggapnya sebagai “peninggalan
badan”. Setelah memadamkan hawa nafsu dalam dirinya, sang biksu dapat masuk ke
nirwana tanpa halangan melalui proses kematian. Kematian itu adalah pengorbanan
dirinya didorong oleh rasa cinta kasih untuk kebaikan semua mahluk hidup,
misalnya ketika pandemik ganas mewabah. Namun bagaimanapun praktek ini dilarang
oleh Restorasi Meiji, ketika Shinto dipisahkan dari Buddhisme dan ditetapkan
sebagai agama resmi Jepang.”
Aku berkata:
“Bagaimana praktek
Sokushinbutsu berawal?”
Haruki:
“Praktek ini muncul di
Tiongkok diabad ke 4 dan di Jepang di awal abad ke 9. Menurut legenda Jepang,
biksu Kukai, yang juga dikenal sebagai
Kobo Daishi setelah kematiannya, memasuki meditasi yang mendalam, atau ‘samadi’
di akhir hidupnya sampai kematiannya, di gunung Koya di Selatan Osaka. Biksu
Kukai adalah pendiri Shingon, sekte marjinal Buddhisme. Tujuh puluh tahun
setelah kematiannya seorang petinggi biksu berdasarkan perintah kerajaan pergi
ke atas gunung Koya untuk membuka kuburannya dan menemukan bahwa tubuhnya masih
utuh. Menurut legenda Kukai saat itu belumlah mati melainkan masuk ke dalam
meditasi kekal dan masih hidup di gunung Koya, menunggu penampakan Maitreya,
Buddha masa depan.”
Aku berkata:
“Lalu dimanakah tubuh Kobo
Daishi disimpan? Apakah terbuka bagi publik?”
Haruki:
“Mausoleum dari Kobo
Daishi terletak di gunung Koya dan adalah tempat yang paling suci di gunung
itu. Pintu mausoleum tidak pernah dibuka kecuali setiap 50 tahun oleh uskup
agung gunung Koya untuk memotong kuku dan rambutnya dan menukar pakaiannya yang
kemudian dipakai untuk membuat amulet bagi pengikutnya. Kobo Daishi dianggap
sedang bertapa di mausoleumnya, tapi jasadnya sama sekali tidak diperlihatkan.
Jasadnya haruslah dianggap sebagai peninggalan yang mewakili “Esensi Buddha”
yang murni yang menjadi peninggalan suci serupa stupa.”
Aku berkata:
“Tapi di kuil Churenji
pengunjung dapat melihat jasad Tetsumonkai, walaupun dilarang pengambil foto.”
Haruki:
“Ya, jasad terkenal
Tetsumonkai dipertunjukkan di kuil ini duduk di altar khusus. Telapak tangannya menghadap ke
atas, ia diperagakan untuk bermeditasi terus menerus, sesuai dengan kehendaknya
ketika ia memasuki ajal 2 abad yang lalu. Jasadnya dengan tengkorak yang seakan
menyeringai diberi jubah oranye, syal berwarna ungu dan kecoklatan dan topi
keemasan, bak seorang petinggi biksu. Ia memberi bukti akan seseorang yang
berhasil dalam usahanya menjadi mummi yang dihormati.”
Aku berkata:
“Siapakah Tetsumonkai
itu?”
Haruki:
“Tetsumonkai adalah yang
paling terkenal di antara Sokushinbutsu. Dilahirkan sebagai Sunada Tetsu di
tahun 1759, dia adalah pegawai sungai yang menggali sumur-sumur dan mengirim
kayu dengan sampan, dan dikenal dengan temperamennya yang bagai badai. Suatu
hari, menurut salah satu legenda, ia menikam kaki salah seorang petugas yang
mengawasi konstruksi sungai karena ia naik pitam akan keangkuhannya. Cerita
lainnya menggambarkan ia membunuh seorang samurai ketika berkelahi
memperebutkan seorang pelacur favorit. Bagaimanapun, Tetsu melarikan diri dari
pengejaran dan bergabung dengan sekolah biarawan di Churenji di umur 20 tahunan
akhir menuju kehidupan prihatin dan kemudian ia diberi nama Tetsumonkai.
Selama hidupnya sebagai
biksu, catatan menunjukkan bahwa Tetsumonkai banyak melakukan perjalanan dan dihormati
sebagai orang suci yang dikaitkan dengan berbagai legenda. Suatu saat ketika
mengunjungi Edo, ia menyaksikan mewabahnya penyakit mata yang menimbulkan
penderitaan luar biasa. Ia lalu mencolok matanya sendiri dan mencabutnya dan
mempersembahkannya ke sungai Sumida sebagai doa bagi penyembuhan. Riset
selanjutnya menunjukkan bahwa memang mata kirinya tidak ada di mummi nya, yang
dengan suatu hal mengkonfirmasikan cerita tersebut.
Karya misionaris
Tetsumonkai berpusat di daerah Shonai, namun monument-monumennya menunjukkan bahwa karyanya
menyebar dari daerah kanto hingga Hokkaido. Dia dikenang mengumpulkan 10,000
pekerja voluntir untuk membangun jalan baru melalui sebuah gunung yang
menghubungkan pelabuhan Kamo ke Tsuroka, untuk perdagangan. Ia meninggalkan
dampak abadi bagi banyak orang saat itu. Hingga kini, ada festival-festival
berdasaran ajaran Tetsumonkai.
Namun, mungkin legenda
yang paling menarik adalah kisah lain yang berkaitan dengan mutilasi diri. Pada
suatu saat, dikatakan bahwa Tetsumonkai dikunjungi seorang pelacur, mungkin
pelacur yang sama yang ia perebutkan dengan sang samurai. Wanita itu berusaha
meyakinkan Tetsumonkai untuk kempali ke kota bersamanya, tapi ia menolak. Untuk
membuktikan keinsafannya dan dedikasi akan hidup dalam pengorbanan, dia
menghilang dan lalu kembali dengan bungkusan kecil buat wanita itu. Di dalam
nya adalah testikelnya yang penuh darah. Dia telah memotongnya.
Diceritakan bahwa
testikelnya kemudian dianggap para pelacur di sebuah border local sebagai tanda
keberungan, dan akhirnya dikirim ke kuil Nangakuji di Tsuruoka, dan kemudian
dilestarikan sebagai relik. Seakan
menambah bobot kebenaran legenda itu, memang ditemukan bahwa mummi Tetsumonkai
tidak mempunyai testikel.
Aku
berkata:
“Apakah
benar kuil itu menyimpan testikel dari Tetsumonkai?”
Haruki:
“Benar,
tapi tidak dipertunjukkan ke public. Golongan darah Tetsumonkai adalah grup B,
demikian pula golongan darah yang ditemukan di testikel yang ditemukan di
Nangakuji, menurut riset ilmiah masa lalu. Para akademisi saat itu menyimpulkan
bahwa sangat besar kemungkinan bahwa testikel yang dikeringkan itu milik
seorang yang bertahan akan siksa fisik yang ekstrim karena pelatihan meditasi
sebelum dikuburkan pada usia 71.”
Aku
berkata:
“Apakah
mummi Sokushinbutsu sama dengan mummi di Mesir?”
Haruki:
“Tubuh
para Firaun dibalsem di jaman dulu Mesir. Organ tubuh bagian dalam semuanya
dikeluarkan dan diganti dengan tanaman yang berkhasiat. Tubuhnya jadinya
hanyalah pembungkus daging kering dan tulang.
Sebaliknya,
mummi Sokushinbutsu melestarikan organ tubuh bagian dalam karena proses
pemummian berjalan ketika ia masih hidup dan organ tubuh bagian dalam dianggap
pusat energi vital. Tubuh beberapa mummi di gunung Yudono, untuk
melestarikannya dengan sempurna, kadang-kadang juga dilapisi dengan pernis
kering. Sehingga pentingnya pemujaan akan Sokushinbutsu menyiratkan bahwa mummi
itu bukan sekedar “sisa tubuh”, atau “cangkang kosong”, mummi tersebut
dianimasikan, penuh vitalitas; yang berada di bumi dan juga di kelimpahan
irwana.”
Haruki:
“Mummi
Sokusinbutsu memberi jendela yang menarik ke dalam kebudayaan Jepang kuno
melalui praktek-praktek belas kasih, kesulitan hidup, pengorbanan dan semangat
religiositas yang intens untuk mendapatkan sukma Buddha dalam daging. Konsep
Barat akan kematian fisik adalah suatu proses pemutusan kehidupan yang terjadi
dengan cepat dan parah, sedangkan konsep Timur memandang kematian sebagai suatu
proses yang bertahap.
Pemujaan
Sokushinbutsu
memelihara orang-orang suci hidup dan memberikan perspektif yang unik akan
perjuangan manusia menggapai Nirwana, sebelum dan sesudah kematian.”
THE END
Wawancara ini adalah wawancara imajiner mengenai Sokushinbutsu
Wawancara ini adalah wawancara imajiner mengenai Sokushinbutsu
Sumber:
Tulisan yang bagus mampu menambah referensi, Yamagata adalah tempat yang sama dengan pelatihan Shugendo
BalasHapusYa, ini tradisi Shinto Budha yang unik sekali...
Hapus