![]() |
Photo: Wikimedia |
Pada hari itu, dengan kereta api lambat, aku
mengikuti jejak Vincent dari Paris ke Arles di Selatan Perancis, mencari
cahaya, warna dan kehangatan di Provence.
Perjalan itu adalah sebuah pesta buat mata,
melihat perkampungan indah, dan kota-kota, pemandangan penuh warna. Vincent
mencintai tempat ini, pemandangannya, cahayanya dan orang-orangnya.
Langkah pertama baginya adalah untuk menemukan
sebuah rumah dan lalu menyiapkan studio di situ. Ia menemukannya di sebuah rumah
kecil bewarna kuning di Place Lamatine nomor 2 untuk 15 francs per bulan.
Aku menemukan rumah kuning itu dengan daun jendela
hijau, yang dihuni Vincent dan Paul untuk membuat lukisan-lukisan mereka.
Ketika aku bertemu Vincent, ia kelihatan segar
dan berseri, tampaknya cahaya matahari sehat di Arles membuatnya demikian.
Aku:
“Kami melihat bahwa lukisan-lukisan anda
belakangan ini diliputi berbagai warna cerah, meriah, cukup berbeda dari warna
gelap suram lukisan-lukisan yang anda buat beberapa tahun yang lalu.”
Vincent:
“Ya betul, kesegaran udara di Arles sini
mempengaruhi bagaimana saya melihat kehidupan, orang-orang, alam, sinar
matahari, pemandangan yang indah, ladang gandum yang mengeriting, bunga
matahari yang bergetar, langit biru yang berombak, semua hal itu tertangkap
dalam lukisan-lukisan saya. Lihatlah rumah kuning saya, kamar tidur saya yang
biru hijau, langit biru, bunga matahari kuning keemasan, buah apel merah,
semuanya itu menarik buat saya.
Terima kasih ke Theo, adik saya, yang menyarankan
saya peindah ke Arles sini untuk mengerjakan lukisan-lukisan saya. Dia memberi
saran yang baik.”
Aku:
“Jadi anda sudah meninggalkan masa gelap suram di
Bornage ?”
Vincent:
“Walaupun
saya sudah meninggalkan Borinage, tempat itu istimewa bagi saya. Lukisan-lukisan
yang saya buat di sana gelap dan suram, tapi itu adalah refleksi sebenarnya
dari kehidupan pekerja tambang batubara. Warna gelap merefleksikan tambang
batubara, merefleksikan orang-orang miskin, yang menderita, yang lapar ,
perjuangan pekerja tambang sehari-hari. Mereka bejalan di kegelapan, di pusat
bumi, di tambang hitam batubara.
Tambang- tambang ini adalah pemandangan yang
menyolok mata, 300 meter dibawah muka tanah, kemana setiap hari
kelompok-kelompok pekerja turun kedalam, yang layak mengungkit rasa hormat dan
simpati kita. Pekerja tambang adalah tipe spesial Borinage, baginya sinar
matahari tidak ada, dan kecuali di hari Minggu ia tidak pernah melihat sinar
matahari.
Dia bekerja keras di dekat lampu yang cahayanya pucat
dan redup, di dalam terowongan sempit, badannya tertekuk dua lipat dan
kadang-kadang dia harus merangkak sepanjang terowongan itu; dia bekerja untuk
mendulang dari usus bumi zat mineral yang kita ketahui banyak kegunaannya; dia
bekerja di tengah ribuan bahaya yang selalu mengancam.
Suatu hari, para pekerja tambang pulang ke rumah
di sore hari sebelum gelap merupakan
satu-satunya pemandangan di tengah keputihan salju. Orang-orang ini kehitaman
saat muncul ke terang hari dari dalam tambang gelap, tampak seperti sapu-sapu cerobong
asap.
Tempat tinggal mereka biasanya kecil dan lebih
patut disebut pondok; tersebar sepanjang jalan-jalan yang terbenam, di hutan-hutan
dan di lereng bukit. Di sana-sini kita masih bisa melihat atap–atap ditutupi
lumut, dan kala petang hari ada cahaya bersahabat bersinar dari celah-celah
jendela-jendala berbingkai kecil itu.”
Aku:
“Saya
paham, salah satu lukisan anda yang paling menyolok adalah “Para Pemakan Kentang”.
Petani-petani makan di ruangan gelap dan suram, wajah dan tangan mereka gelap
dan kasar mengekspresikan sulitnya kehidupan mereka.”
Vincent:
“ Itu
adalah lukisan yang akan menarik di dalam emas- saya pasti itu. Tapi akan sama
menariknya jika dipajang dinding berkertas sewarna bayangan kelam dari jagung matang.
Saya mencoba mengemukakan ide bahwa orang-orang
yang makan kentang di dekat cahaya lampu telah menggali bumi dengan tangannya
sendiri, tangan yang sama yang mereka masukkan ke piring, yang menyarankan
pekerja kasar dan- makanan yang dihasilkan secara jujur.
Saya ingin menyarankan sebuah gambar kehidupan
yang sangat berbeda dengan kehidupan kita, orang-orang beradab. Jadi saya tidak
ingin orang-orang mengagumi atau menyetujui lukisan ini tanpa mengetahui
sebabnya.
Saya telah menyimpan benang kain selama musim dingin
dan mencari corak yang pasti – dan walaupun sekarang ia adalah kain yang
keliatannya kasar, benang-benangnya adalah benang-benah terpilih dengan
hati-hati menurut suatu aturan. Dan mungkin ia telah menjadi lukisan petani
yang orisinil. Saya tahu demikian adanya. Tapi bagi orang yang memilih melihat
para petaninya yang keliatan halus mulus, itu adalah yang paling sesuai bagi
dirinya sendiri.
Secara pribadi, saya yakin bahwa dalam jangka
panjang orang akan mendapat hasil yang lebih baik dengan melukiskan mereka
dengan kekasaran mereka, daripada mengemasinya dengan kemanisan masa kini.
Seorang gadis petani dengan baju biru bertambal dan berdebu dan korset yang
telah memudar dengan cuaca, angin dan panas matahari, kelihatan lebih menarik -
menurut saya – dari pada seorang wanita
yang rapi. Tapi kalau ia memakai pakaian
wanita yang rapi, maka keasliannya hilang. Seorang petani dengan pakaian
sekenanya bekerja di ladang, keliatan lebih baik dari pada ketika ia pergi ke
gereja di hari Minggu dengan pakaian rapi.
Demikian pula, menurut pendapat saya, adalah
tidak patut membuat lukisan kehidupan petani dengan polesan masa kini. Jika
lukisan petani berbau daging kering,
asap , uap kentang, baiklah- itu
bukannya tidak sehat – kalau kandang berbau sampah kotoran hewan – baiklah,
begitulah keadaan kandang hewan– kalau sebuah ladang bebau jagung matang atau
kentang atau pupuk kandang – itu sehat sesungguhnya, terutama buat orang kota.
Lukisan kehidupan petani mungkin dapat menolong mereka. Namun lukisan kehidupan
petani janganlah ditaburi pewangi.”
Aku:
“Sepasang
Sepatu adalah salah satu lukisan yang sangat impresif yang bahkan mencengangkan
Heidegger, seorang filsuf terkenal. Namun tanpa mennimbangkan interpretasi dari
Heidegger, lukisan itu benar-benar dapat menceritakan banyak kisah tentang
sepatu-sepatu kumal, yang diabaikan, lembab, kedinginan dan kesepian.”
Vincent:
Adalah baik untuk menyukai segala macam hal
sebanyak mungkin… saya melihat lukisan-lukisan atau gambar-gambar di
pondok-pondok yang paling miskin, di pojok-pojok yang paling kotor. Dan pikiran
saya secara spontan tertarik ke hal-hal
seperti ini.
Puisi mengelilingi kita di mana saja, tapi
menaruhnya di atas kertas, celakanya, tidak semudah seperti melihatnya. Saya
memimpikan lukisan saya, dan saya melukis impian saya. Menjadi spiritual adalah
menjadi hormat akan misteri agung kehidupan dan melihat jejak jejari sang
Mahakuasa dalam hal-hal yang sangat biasa.
Aku:
Marilah berbicara mengenai lukisan potret yang
anda buat. Di dalam lukisan-lukisan itu hampir semua orang tidak tersenyum.
Dokter anda tampak seperti sangat gundah, lukisan-lukisan potret diri anda juga tidak pernah tersenyum.
Vincent (masih tanpa senyum):
“Sepanjang sejarah seni, sangat jarang ditemukan
lukisan potret diri yang tersenyum, dan saya tidak ingin merubah tradisi ini.
Dr. Gatchet keliatan seperti itu karena saya pikir ia lebih penyakitan dari
saya, tapi saya menemukannya sebagai
teman sebenarnya , seperti seorang saudara, sehingga kita keliatan serupa
secara fisik dan mental.”
Aku:
“Namun, lukisan potret ibu anda tampak dengan
senyum bangga.”
Vincent:
“Saya membuat lukisan potret ibu saya untuk saya
sendiri, dari foto hitam putih. Saya tak menyukai foto tak berwarna itu, dan
mencoba melukisnya dengan warna harmonis, seperti kenangan saya . Dia
memperkenalkan saya ke dunia seni, ia sendiri seorang artis amatir.
Saya buat beberapa karya saya yang saya kira ibu
saya paling suka, tentang bunga-bunga dan
latar belakang pemandangan alam.”
Aku:
“Anda melukis beberapa “Bunga Matahari”, yang
sangat dikenal orang sebagai karya anda. Adik anda dan Paul menyukainya. Bunga-bunga
itu kelihatan kuno namun ceria, warna kuning cerahnya seakan menyebarkan
kebahagiaan.”
Vincent:
Itu adalah jenis lukisan yang karakter nya
berubah-ubah, dan menjadi semakin kaya semakin lama anda memandangnya. Sebagian
besar lukisan saya pada dasarnya hampir berupa jeritan kegelisahan, walapun dalam
kekunoannya bunga matahari dapat
melambangkan rasa syukur.
Aku:
“Bagaimana hubungan anda dengan Sien?”
Vincent:
“Saya bertemu dengannya di musim dingin, dia
sedang hamil, ditinggalkan lelaki yang
adalah ayah bayi yang dikandungnya. Seorang wanita hamil berjalan di tengah
jalan di musim dingin- ia harus mencari suatu penghasilan, dan anda tahu
bagaimana. Saya mengambilnya sebagai model lukisan saya dan bekerja dengannya
sepanjang musim dingin. Saya tak mampu
membayarnya sepenuhnya, tapi saya tetap membayarnya, jadi sejauh ini, syukur
Tuhan, saya dapat menyelamatkan dia dan anaknya dari kelaparan dan kedinginan
dengan membagi santapan saya dengannya. “
Aku:
“Mungkin, anda melihatnya sebagai Maria
Magdalena?”
Vincent:
“Saya benar-benar lengket dengannya dan dia lengket
dengan saya – ia adalah sobat loyal yang
membantu, yang pergi kemana saya pergi – dan yang lama-kelamaan tak tergantikan. Saya dan dia adalah dua
orang tak berbahagia yang menemani masing-masing dan berbagi beban, dan itu
adalah yang membuat ketidak-bahagiaan berganti menjadi kebahagiaan, dan yang tak-terpanggulkan
menjadi terpanggul.
Pada mulanya saya berniat untuk memberinya
dukungan parktis, namun juga membantu saya lekas berdiri. Tapi lambat laun kami berubah – kami menjadi
saling mebutuhkan, sehingga dia dan saya tak terpisahkan – kehidupan kami
semakin menyatu, lalu menjadi cinta.”
Aku:
“Dalam “Kepedihan”, tampaknya anda melukis Sien dengan penampilan
alami tanpa riasan.”
Vincent:
“Dia agak bopeng, jadi tidak lagi cantik, namun
lekuk tubuhnya sederhana dan bukannya tak lembut. Dan ia berguna bagi saya ya karna
ia tidak cantik lagi, tidak muda lagi, tidak lagi centil, dan tidak lagi bodoh.
Perasaan diantara Sien dan saya adalah nyata, bukanlah mimpi, adalah nyata.
Saya pikir itu adalah rahmat besar bahwa pikiran dan energy saya menjurus ke satu
tujuan dan memiliki arah yang pasti.”
Aku:
“Bagaimana proses kelahirkan bayinya?”
Vincent:
“Sien menjalani persalinan yang sangat sulit,
namun syukur Tuhan ia selamat dan juga dengan bayi laki-laki yang mungil. Ibunya
dan anak perempuan kecilnya dengan saya pergi bersama – anda dapat bayangkan bagaimana
gelisahnya kami, tanpa mengetahui apa yang akan kami dengar ketika kami bertanya kepada
petugas rumah sakit tentang keadaannya. Dan bertapa bahagianya kami ketika
mendengar: “ Diurus tadi malam… tapi anda jangan bicara terlalu lama
dengannya….” Saya tak mudah melupakan
bahwa “anda jangan bicara terlalu lama dengannya”; karena itu berarti “ anda
masih bisa bicara dengannya,” ketika hal itu bisa dengan mudah bisa menjadi ,
“anda tidak pernah bisa bicara dengannya lagi.”
Saya sangat bahagia melihatnya, berbaring dekat
jendela yang menghadap taman dengan cahaya matahari dan kehijauan, sedikit mengantuk karena
kelelahan antara tidur dan bangun, lalu ia mendongkakkan kepala dan melihat
kami semua. Ia mendongkakkan kepala dengan sangat gembira setelah melihat kami
12 jam setelah kelahiran itu.”
Aku:
“Jadi selain dia, apakah anda banyak punya
pacar-pacar lainnya?”
Vincent:
“Dengar, saya memang bukanlah orang baik dimata seorang
pendeta. Saya sangat tahu, sejujurnya, pelacur-pelacur adalah tidak baik, tapi
saya merasakan sesuatu yang manusiawi dalam mereka yang mencegah keengganan
saya untuk bergaul dengan mereka; saya tidak melihat suatu kesalahan besar
dalam mereka. Kalau masyarakat kita
murni dan beradab, benar, mereka adalah penggoda nafsu; tapi sekarang, menurut
pendapat saya, orang-orang lebih sering menganggap mereka seperti biarawati-biarawati pengasih.”
Aku:
“Lalu ada seorang pacar anda, yang anda kasi potongan
kuping anda, masyalah, apa sebenarnya yang anda perbuat?”
Vincent:
“Saya
pikir saya kehilangan akal setelah berkelahi dengan Paul, sesungguhnya saya
tidak bisa ingat.
Saya mengambil silet dan memotong sebagian kuping
kiri saya. Polisi menemukan darah di seluruh rumah, dengan karpet belumur darah
di studio dan jejak tangan berdarah sepanjang dinding menuju ke atas. Mereka
bilang saya mengambil kuping itu dan membungkusnya dengan kertas koran. Dengan
topi menutupi luka saya, saya dengan kuping di tangan, pergi menuju suatu
“maison de tolerance”, sebuah bordil dekat rumah.
Disitu saya mencari seorang perempuan yang lalu saya
beri kuping itu. Saya tidak ingat apa yang saya bilang, namun dia berkata bahwa
saya bilang :”Jagalah barang ini dengan hati-hati.”
Setelah saya sembuh, saya datang mengunjunginya.
Saya diberi tahu bahwa hal seperti itulah bukanlah suatu yang janggal di sana.
Dia terkejut karena hal itu lalu pingsan, tapi kemudian sudah tenang kembali.”
Aku:
“Apakah anda tidak khawatir bahwa lukisan-lukisan
anda tidak laku dijual?”
Vincent:
“Begini, masalahnya adalah bahwa kemungkinan
bekerja tergantung dari penjualannya, karena ada ongkos pengeluaran – semakin banyak
seseorang bekerja, ongkosnya semakin banyak juga (walaupun tidak selalu
demikian halnya). Ketika seseorang tidak bisa menjual barangnya dan tidak punya
penghasilan lain, tidaklah mungkin baginya untuk maju.
Saya berterima-kasih kepada Theo, adik saya, yang
menunjang hidup dan pekerjaan saya. Saya banyak berhutang kepadanya,
namun, kalau ini berlangsung terus akan
memperburuk keadaan saya.
Orang-orang terpandang di sini yang saya tidak
kenal sama sekali sering bertanya kepada saya sekurangnya tiga kali seminggu,
“Mengapa kamu tidak bisa menjual lukisan-lukisanmu?”
Mungkin lukisan-lukisan saya tidak akan pernah
terjual seumur hidupku, mungkin kalau mereka mengerti mereka bisa menghargainya
lebih baik.”
Aku:
“Terima kasih banyak Vincent untuk interviewnya,
semoga berhasil dengan pekerjaanmu dan semoga sehat selalu.”
Vincent (dengan jabatan tangan):
“Adieu. “
Ini adalah wawancara imajiner mengenang: Vincent van Gogh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar